RUU SDA Dapat Memicu Penurunan Investasi Air Perpipaan
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang saat ini tengah digodok, diprediksi berpotensi menimbulkan penurunan investasi (under-investments) air perpipaan.
Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG) Mova Al’afghani mengatakan, draf RUU SDA mencampuradukan pengaturan air untuk publik dengan air untuk industri.
"Hal inilah yang dapat memicu penurunan investasi dan perhatian terhadap air perpipaan. Pencampuradukan tersebut terlihat pada pengaturan air untuk publik atau kebutuhan air untuk rumah tangga dengan industri yang terlihat pada pasal 51," ungkap Mova dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Jumat (29/6/2018).
Nova menyebutkan, pasal 51 mengatakan bahwa produk berupa air minum meliputi antara lain air minum yang diselenggarakan melalui sistem penyediaan air minum (SPAM) dan air minum dalam kemasan (AMDK).
Artinya, kata Mova, pelayanan air untuk masyarakat dan air minum dalam kemasan adalah sama. Padahal sejatinya, SPAM dan AMDK memiliki perbedaan yang sangat mencolok.
"SPAM harus berorientasi pada keterpenuhan hak air rakyat oleh negara, sementara AMDK adalah produk industri. Oleh karena itu regulasinya tidak dapat disamakan," ujar Mova.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2005 yang tertuang dalam 6 prinsip MK menyebutkan bahwa pelayanan air untuk kebutuhan sehari-hari di Indonesia, yaitu mencakup air minum dan air bagi pertanian rakyat tidak berorientasi pada keuntungan. Selama ini pelayanan air ini diterjemahkan ke dalam Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Menurut Mova, pendekatan regulasi pelayanan air harus berbeda dengan pendekatan regulasi bagi AMDK. Karena industri pelayanan air merupakan industri monopoli alamiah, dimana biasanya hanya ada 1 penjual dalam 1 kota. Sedangkan AMDK adalah industri fast-mooving consumer goods, yang saat ini jumlahnya sangat banyak.
Produk AMDK adalah produk yang bersifat pilihan bagi konsumen. Tidak ada kewajiban masyarakat harus mengonsumsi merek tertentu, bahkan tidak ada pula keharusan masyarakat harus mengonsumsi AMDK. Sesuai dengan mekanisme pasar, AMDK merupakan industri yang kompetitif sehingga standar kualitas dan harga ditentukan oleh perusahaan AMDK itu sendiri. Apabila AMDK disamakan dengan pelayanan air, maka pemenuhan kebutuhan air untuk publik jelas terancam.
"Dengan menyatukan pengaturannya pelayanan air dengan AMDK dalam RUU SDA, pemerintah justru melembagakan kebergantungan masyarakat terhadap AMDK dan mengerdilkan air perpipaan (SPAM)," tegas Mova.
Mova khawatir, pengaturan tersebut justru membuat pemerintah abai terhadap pemenuhan kebutuhan air masyarakat. "SPAM bisa jadi lebih fokus pada bisnis AMDK ketimbang memenuhi kebutuhan raktyat atas air. Konsekuensinya adalah akan terjadi penurunan investasi (under-investments) untuk pembangunan infrastruktur air perpipaan, yang mana seharusnya menjadi prioritas pelayanan air untuk rakyat," kata Mova yang periode 2009-2011 lalu terlibat dalam perumusan Hak Asasi Manusia atas Air dalam Geneva Process.
Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG) Mova Al’afghani mengatakan, draf RUU SDA mencampuradukan pengaturan air untuk publik dengan air untuk industri.
"Hal inilah yang dapat memicu penurunan investasi dan perhatian terhadap air perpipaan. Pencampuradukan tersebut terlihat pada pengaturan air untuk publik atau kebutuhan air untuk rumah tangga dengan industri yang terlihat pada pasal 51," ungkap Mova dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Jumat (29/6/2018).
Nova menyebutkan, pasal 51 mengatakan bahwa produk berupa air minum meliputi antara lain air minum yang diselenggarakan melalui sistem penyediaan air minum (SPAM) dan air minum dalam kemasan (AMDK).
Artinya, kata Mova, pelayanan air untuk masyarakat dan air minum dalam kemasan adalah sama. Padahal sejatinya, SPAM dan AMDK memiliki perbedaan yang sangat mencolok.
"SPAM harus berorientasi pada keterpenuhan hak air rakyat oleh negara, sementara AMDK adalah produk industri. Oleh karena itu regulasinya tidak dapat disamakan," ujar Mova.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2005 yang tertuang dalam 6 prinsip MK menyebutkan bahwa pelayanan air untuk kebutuhan sehari-hari di Indonesia, yaitu mencakup air minum dan air bagi pertanian rakyat tidak berorientasi pada keuntungan. Selama ini pelayanan air ini diterjemahkan ke dalam Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Menurut Mova, pendekatan regulasi pelayanan air harus berbeda dengan pendekatan regulasi bagi AMDK. Karena industri pelayanan air merupakan industri monopoli alamiah, dimana biasanya hanya ada 1 penjual dalam 1 kota. Sedangkan AMDK adalah industri fast-mooving consumer goods, yang saat ini jumlahnya sangat banyak.
Produk AMDK adalah produk yang bersifat pilihan bagi konsumen. Tidak ada kewajiban masyarakat harus mengonsumsi merek tertentu, bahkan tidak ada pula keharusan masyarakat harus mengonsumsi AMDK. Sesuai dengan mekanisme pasar, AMDK merupakan industri yang kompetitif sehingga standar kualitas dan harga ditentukan oleh perusahaan AMDK itu sendiri. Apabila AMDK disamakan dengan pelayanan air, maka pemenuhan kebutuhan air untuk publik jelas terancam.
"Dengan menyatukan pengaturannya pelayanan air dengan AMDK dalam RUU SDA, pemerintah justru melembagakan kebergantungan masyarakat terhadap AMDK dan mengerdilkan air perpipaan (SPAM)," tegas Mova.
Mova khawatir, pengaturan tersebut justru membuat pemerintah abai terhadap pemenuhan kebutuhan air masyarakat. "SPAM bisa jadi lebih fokus pada bisnis AMDK ketimbang memenuhi kebutuhan raktyat atas air. Konsekuensinya adalah akan terjadi penurunan investasi (under-investments) untuk pembangunan infrastruktur air perpipaan, yang mana seharusnya menjadi prioritas pelayanan air untuk rakyat," kata Mova yang periode 2009-2011 lalu terlibat dalam perumusan Hak Asasi Manusia atas Air dalam Geneva Process.
(ven)