Potensi Ada di Rumah Sendiri
A
A
A
DEPOK - Komunitas Warga Peduli Lingkungan (WPL) yang digagas Baron Noorwendo mampu menginspirasi daerah lain untuk ikut memaksimalkan potensi warganya.
Masyarakat jadi memiliki cara untuk mengais rezeki tanpa harus pergi jauh meninggalkan rumah. Membina kelompok warga tidaklah mudah. Namun, Baron punya banyak cara dan cerita mengenai hal itu. Apa saja usaha yang dilakukan pria 48 tahun ini dalam membantu warga menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka sendiri? Inilah cerita Baron kepada KORAN SINDO.
Bisa dijelaskan apa itu Warga Peduli Lingkungan?
Komunitas yang saya bangun di wilayah rumah saya di Kampung Pitara, Pancoran Mas, Depok. Jadi ini pemberdayaan potensi lokal, fokus pada manusia dan lingkungannya. Semua bermula dari pemikiran saya, orang kalau mau dapat uang kenapa harus pergi keluar rumah atau keluar wilayahnya? Padahal potensi ada di dalam rumah itu sendiri atau lingkungannya.
Banyak sebetulnya yang bisa diusahakan, sehingga mereka bisa dapat penghasilan. Saya memulai komunitas ini pada 2003 di satu RT tempat tinggal saya yang terdiri dari 150 rumah tangga.
Saya mengajak masyarakat untuk belajar bermacam-macam usaha, seperti laundry kiloan, budi daya jamur, telur asin, dan lainnya. Namun, enam tahun pertama tidak ada masyarakat yang menyerap ide usaha itu. Saya memang modal nekat. Tidak ada ilmunya. Cuma tujuan saya ingin bagaimana caranya punya program yang melibatkan warga sekitar.
Apa yang Anda lakukan sampai konsep WPL bisa berkembang?
Saya terus melakukan evaluasi. Ternyata yang saya lakukan selama itu hanya sok tahu, membawa satu hal baru kepada masyarakat. Ternyata ini tidak cocok untuk mereka, tidak cocok dengan kebutuhan mereka juga pemahaman mereka. Kemu dian pada 2009, saya mulai dari masalah yang ada di tempat kami.
Saat itu, selalu ada yang terkena demam berdarah. Dari 2009 itu, Alhamdulillah, kami bisa dapatkan banyak program, salah satunya untuk mencegah demam berdarah de ngan cara memilah sampah. Dari situ juga kami menemukan bahwa warga di sini punya keahlian membuat kerajinan. Jadi memang kuncinya memberikan sesuatu yang mereka suka dulu.
Warga ternyata pintar mem buat anyaman ataupun jahitan. Tadinya yang mereka anyam itu daun pandan. Namun, lama-kelamaan kebun daun pandannya tidak ada. Akhirnya di ubah lah daun pandan menjadi sampah plastik. Mereka yang ahli menjahit juga ikut berkontribusi. Dulu hanya menjahit baju, sekarang bisa jahit untuk dijual kembali.
Warga juga jadi ada kesadaran memilah sampah dari awal. Mereka sudah paham kalau sampah harus dipilih sebelum tercampur dengan sampah lain. Ada tim ibu-ibu lain yang merasa tidak terampil membuat kerajinan, lalu kita kembangkan kekuliner. Saya mencari pelatih yang sesuai. Ada teman saya yang istrinya dosen tata boga di UNJ. Beliau bersedia mengajarkan saya dan akhirnya berkembang seperti sekarang.
Apa saja program Komunitas WPL?
Kami punya tiga program. Pertama literasi. Literasi merupakan dasar memajukan masyarakat. Kami bekerja sama dengan para penggiat literasi di Kota Depok. Kami buka taman bacaan di Perumnas 1 Depok. Sekarang kami juga punya sekolah menulis dan program Depok Menulis.
Kami merekrut warga dari 11 kecamatan di Depok untuk mengikuti kelas menulis. Kami sekarang sedang menulis buku bersama anggota-anggota yang bergabung. Untuk program literasi, kami juga mengumpulkan buku. Buku baru atau bekas kami salurkan ke taman bacaan masyarakat di Depok.
Kami ingin meningkatkan minat baca, gemar baca, dan budaya baca. Juga menulis buku. Program kedua, lingkungan hidup. Kami membuat teras kehidupan. Komunitas WPL menyiapkan modul-modul yang bisa kami sampaikan untuk berbagai kalangan mulai dari balita sampai dengan dewasa. Mengenai caranya, mengelola lingkungan mulai dari hal terkecil di rumah, sekolah, dan kantor.
Peserta bisa datang ke kami atau kami yang mendatangi mereka. Program ketiga, pemberdayaan. Ini lebih pada entrepreneurship. Kami dari awal tidak dapat dana dari manapun. Jadi kami swadaya sendiri. Pemberdayaan bukan hanya di bidang kerajinan ataupun kuliner, tapi merambah ke pertanian.
Di sekitar wilayah kami masih ada beberapa kebun belimbing. Penjualannya selama ini ke tengkulak sehingga hanya 2-3 bulan sekali mendapat penghasilan. Padahal belimbing sebetulnya tidak mengenal masa panen, jadi setiap hari berbunga, ada buahnya. Kamilah yang sekarang menghubungkan petani dengan pembeli.
Setiap pekan, saya minimal menjual 100 kg dan para petani atau pemilik kebun bisa dapat Rp1,5 juta setiap bulan. Program yang saya terapkan ini sudah diterima banyak pihak di Lombok, NTB, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan Barat. Kerja sama dengan berbagai lembaga, kami sudah dua kali mengadakan bootcamp entrepreneur. Pesertanya dari berbagai daerah.
Bagaimana cara Anda mengajak masyarakat untuk peduli lingkungan dan terlibat dalam membangun diri mereka sendiri?
Tidak ada cara eksak atau sesuatu yang pasti untuk ini. Kami mengandalkan pertemanan secara persuasif. Saya tidak menjelaskan panjang lebar kepada mereka. Kami lakukan saja apa yang mau kami kerjakan untuk mereka. Tentu saya tidak menjelaskan tujuan saya membantu mereka, menjual hasil kebun mereka.
Langsung saja saya katakan ’saya akan jualkan, tolong siapkan sekian kilogram perminggu’. Jadi mereka dapat langsung memperoleh penghasilan setiap pekan, biasanya 2-3 bulan sekali sehingga ada perputaran uang yang mereka bisa atur. Sama juga seperti pabrik oksigen atau menjual bibit tanaman.
Saya tidak perlu menjelaskan ini untuk apa. Langsung saja saya tanya “ada bibit tanaman apa? Harga berapa?” Kemudian saya carikan pembeli, saya ambil dan bayar. Mereka terima beres. Senang saya tidak perlu banyak cerita dalam setiap program. Padahal itu termasuk program pemberdayaan.
Saya hanya perlu menyemangati mereka untuk berkebun karena punya lahan yang cukup luas. Kendala di enam tahun pertama memang memberi pelajaran karena kami tidak berkomunikasi dengan mereka. Ilmu “belagu” memang tidak menghasilkan apa-apa, tapi itu juga proses belajar kami.
Saya baru menyadari bahwa apa yang saya lakukan ini juga dilakukan oleh beberapa orang di luar sana, bahkan ada sekolahnya. Sementara dulu saya tidak pakai ilmu dan tak berusaha cari tahu untuk melakukan socialpreneur yang sekarang sudah banyak caranya, juga banyak yang mengajarkan.
Manfaat apa yang Anda rasakan ketika bisa mengembangkan sebuah kelompok masyarakat?
Ini agak susah. Saya kadang menangis kalau harus menceritakan apa yang saya rasakan sekarang. Kepuasan yang tidak bisa diceritakan. Kalau yang terlihat, saya hampir setiap hari punya kenalan baru. Bukan hanya teman asal teman, tapi mereka yang bisa diajak bekerja sama membantu saya. Saya bantu, kasih saya ilmu, atau juga saya beri ilmu. Merasakan kenikmatan pertemanan ini lebih daripada punya uang banyak. Semakin banyak membantu orang, uang menjadi tidak ada artinya lagi.
Apa harapan Anda buat Komunitas WPL?
Saya ada keprihatinan pada kondisi masyarakat sekarang, semoga ada yang bisa terinspirasi oleh kehadiran kami. Kalau saya ke kampus-kampus, saya tanya berapa banyak yang punya cita-cita lulus dengan IP tinggi, lalu diterima di perusahaan besar dan keliling dunia? Jawabannya 99% mau.
Perguruan tinggi besar atau kecil sama, generasi penerus impiannya sama, mereka mau jadi karyawan. Ini menyedihkan. Padahal Indonesia punya sumber daya alam besar. Kenapa sumber daya kita dikelola asing? Padahal kalau kita mau pasti bisa. Saya di Depok setiap saat melihat kereta api yang lewat, kalau pagi penuh ke arah Jakarta.
Tandanya, penduduk Indonesia menghabiskan waktu mereka di kantor, menghabiskan hari-hari serta pemikirannya di kantor. Lalu, siapa yang mengelola sumber daya alam kita? Ternyata ya kebanyakan orang asing. Ada juga orang lokal, tapi lebih menjerumuskan seperti jadi lintah darat. Mereka menawarkan pinjaman mudah dengan bunga mencekik.
Saya punya pendapat, Indonesia akan maju kalau setiap pagi lalu lintas orang ramai ke segala arah kota, bukan hanya ke Jakarta. Di kota besar hanya sedikit orang. Jadi yang lain fokus di daerah masing-masing untuk memberdayakan alam yang kita punya. Alhamdulillah, saya sudah berhasil memulangkan beberapa sarjana untuk kembali kedaerah, membangun wilayah asal mereka.
Apa cita-cita Anda yang belum terwujud atau ingin membuat apa lagi?
Pengelolaan Komunitas WPL menjadi organisasi modern. Kami punya jaringan di seluruh Indonesia sampai ke pelosok untuk membangun potensi lokal bersama seluruh anak negeri. Untuk sampai ke situ masih harus berjuang. Di tempat saya saja, dari 150 kepala keluarga, tidak semua mau ikut program kami.
Paling baru 50%-nya, tapi kami tidak perlu menunggu orang lain untuk ikut atau sampai lengkap. Tetap jalan. Walau mereka tidak ikut, tapi tetap mendukung, lalu mereka mendapat manfaatnya, ya tidak masalah. Bagi kami, mereka tidak ganggu saja sudah senang. Saya sedang membuat aplikasi untuk membantu permodalan para UKM.
Biasanya, mereka dapat dana dari lomba. Kami ingin setiap UKM punya sesuatu atau ada pengorbanannya. Misalkan dia punya laptop, ya laptop ini jadi modal awal. Bagaimana caranya laptop tersebut menjadi uang.
Bayar Utang pada Masyarakat
”Saya merasa seperti punya utang budi pada negara dan masyarakat karena saya sudah kuliah dengan biaya murah.” Demikian jawaban Baron ketika ditanya alasannya ingin membantu masyarakat.
Saat diterima di Jurusan Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI), Baron sangat bangga sekaligus senang. Apalagi dari SMA-nya, dialah siswa pertama yang berhasil menembus UI. Kebahagiaan Baron tidak selesai sampai di situ, karena setiap semester ia hanya harus mengeluarkan biaya kuliah sebesar Rp120.000.
“Sisanya menggunakan APBD. Itu kan uang masyarakat. Bagi saya, itu berarti saya juga harus memberikan sesuatu untuk masyarakat dan bangsa ini,” katanya.
Beruntung setelah menikah, Baron memiliki istri yang satu visi dan misi dengannya. Cita-cita mereka adalah ingin bermanfaat bagi orang lain. Pasangan ini tidak pernah ragu membuka rumah mereka di Depok agar bisa didatangi banyak orang.
Rumah bukan cuma tempat beristirahat, tapi bisa pula dijadikan lokasi berkumpul dan berbagi ilmu. Sejak lulus kuliah, Baron tidak pernah berniat bekerja di perusahaan orang, melainkan ingin punya usaha sendiri. Tujuan lelaki kelahiran Jakarta ini adalah membantu masyarakat setelah dirinya sukses.
Namun, niat sukses berwirausaha tidak pernah terwujud lantaran sudah 15 kali perusahaan yang ia dirikan bangkrut.
“Saya masih berpikir konvensional, berpikir bagaimana kita makan dulu, kita mapan, baru bantu orang. Tapi, di dalam perjalanan ternyata kita tidak perlu mapan dulu untuk membantu masyarakat. Mulai dari sekarang, tanpa modal pun kita bisa bantu orang lain,” ungkapnya.
Menyandang predikat alumni jurusan dan kampus bergengsi tidak membuat Baron punya impian memiliki profesi besar. Dengan menjadi perantara petani belimbing untuk menemukan pembeli secara langsung saja sudah memuaskan dirinya.
Bahkan, menurut Baron, ada keterkaitan ilmu teknik mesin dengan aktivitas sosial yang dilakukannya sekarang. Menurut Baron, dalam ilmu teknik mesin diajarkan cara merekayasa mesin. Merangkai komponen yang berbeda bentuk dan fungsi menjadi satu kesatuan untuk menyelesaikan masalah.
“Di masyarakat juga sama. Setiap orang punya potensi berbeda. Permasalahannya, banyak orang tidak sadar bahwa dirinya punya potensi. Setelah dieksplorasi potensi mereka, tinggal bagaimana merangkainya sehingga bisa berkelanjutan,” tutur Baron. (Ananda Nararya)
Masyarakat jadi memiliki cara untuk mengais rezeki tanpa harus pergi jauh meninggalkan rumah. Membina kelompok warga tidaklah mudah. Namun, Baron punya banyak cara dan cerita mengenai hal itu. Apa saja usaha yang dilakukan pria 48 tahun ini dalam membantu warga menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka sendiri? Inilah cerita Baron kepada KORAN SINDO.
Bisa dijelaskan apa itu Warga Peduli Lingkungan?
Komunitas yang saya bangun di wilayah rumah saya di Kampung Pitara, Pancoran Mas, Depok. Jadi ini pemberdayaan potensi lokal, fokus pada manusia dan lingkungannya. Semua bermula dari pemikiran saya, orang kalau mau dapat uang kenapa harus pergi keluar rumah atau keluar wilayahnya? Padahal potensi ada di dalam rumah itu sendiri atau lingkungannya.
Banyak sebetulnya yang bisa diusahakan, sehingga mereka bisa dapat penghasilan. Saya memulai komunitas ini pada 2003 di satu RT tempat tinggal saya yang terdiri dari 150 rumah tangga.
Saya mengajak masyarakat untuk belajar bermacam-macam usaha, seperti laundry kiloan, budi daya jamur, telur asin, dan lainnya. Namun, enam tahun pertama tidak ada masyarakat yang menyerap ide usaha itu. Saya memang modal nekat. Tidak ada ilmunya. Cuma tujuan saya ingin bagaimana caranya punya program yang melibatkan warga sekitar.
Apa yang Anda lakukan sampai konsep WPL bisa berkembang?
Saya terus melakukan evaluasi. Ternyata yang saya lakukan selama itu hanya sok tahu, membawa satu hal baru kepada masyarakat. Ternyata ini tidak cocok untuk mereka, tidak cocok dengan kebutuhan mereka juga pemahaman mereka. Kemu dian pada 2009, saya mulai dari masalah yang ada di tempat kami.
Saat itu, selalu ada yang terkena demam berdarah. Dari 2009 itu, Alhamdulillah, kami bisa dapatkan banyak program, salah satunya untuk mencegah demam berdarah de ngan cara memilah sampah. Dari situ juga kami menemukan bahwa warga di sini punya keahlian membuat kerajinan. Jadi memang kuncinya memberikan sesuatu yang mereka suka dulu.
Warga ternyata pintar mem buat anyaman ataupun jahitan. Tadinya yang mereka anyam itu daun pandan. Namun, lama-kelamaan kebun daun pandannya tidak ada. Akhirnya di ubah lah daun pandan menjadi sampah plastik. Mereka yang ahli menjahit juga ikut berkontribusi. Dulu hanya menjahit baju, sekarang bisa jahit untuk dijual kembali.
Warga juga jadi ada kesadaran memilah sampah dari awal. Mereka sudah paham kalau sampah harus dipilih sebelum tercampur dengan sampah lain. Ada tim ibu-ibu lain yang merasa tidak terampil membuat kerajinan, lalu kita kembangkan kekuliner. Saya mencari pelatih yang sesuai. Ada teman saya yang istrinya dosen tata boga di UNJ. Beliau bersedia mengajarkan saya dan akhirnya berkembang seperti sekarang.
Apa saja program Komunitas WPL?
Kami punya tiga program. Pertama literasi. Literasi merupakan dasar memajukan masyarakat. Kami bekerja sama dengan para penggiat literasi di Kota Depok. Kami buka taman bacaan di Perumnas 1 Depok. Sekarang kami juga punya sekolah menulis dan program Depok Menulis.
Kami merekrut warga dari 11 kecamatan di Depok untuk mengikuti kelas menulis. Kami sekarang sedang menulis buku bersama anggota-anggota yang bergabung. Untuk program literasi, kami juga mengumpulkan buku. Buku baru atau bekas kami salurkan ke taman bacaan masyarakat di Depok.
Kami ingin meningkatkan minat baca, gemar baca, dan budaya baca. Juga menulis buku. Program kedua, lingkungan hidup. Kami membuat teras kehidupan. Komunitas WPL menyiapkan modul-modul yang bisa kami sampaikan untuk berbagai kalangan mulai dari balita sampai dengan dewasa. Mengenai caranya, mengelola lingkungan mulai dari hal terkecil di rumah, sekolah, dan kantor.
Peserta bisa datang ke kami atau kami yang mendatangi mereka. Program ketiga, pemberdayaan. Ini lebih pada entrepreneurship. Kami dari awal tidak dapat dana dari manapun. Jadi kami swadaya sendiri. Pemberdayaan bukan hanya di bidang kerajinan ataupun kuliner, tapi merambah ke pertanian.
Di sekitar wilayah kami masih ada beberapa kebun belimbing. Penjualannya selama ini ke tengkulak sehingga hanya 2-3 bulan sekali mendapat penghasilan. Padahal belimbing sebetulnya tidak mengenal masa panen, jadi setiap hari berbunga, ada buahnya. Kamilah yang sekarang menghubungkan petani dengan pembeli.
Setiap pekan, saya minimal menjual 100 kg dan para petani atau pemilik kebun bisa dapat Rp1,5 juta setiap bulan. Program yang saya terapkan ini sudah diterima banyak pihak di Lombok, NTB, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan Barat. Kerja sama dengan berbagai lembaga, kami sudah dua kali mengadakan bootcamp entrepreneur. Pesertanya dari berbagai daerah.
Bagaimana cara Anda mengajak masyarakat untuk peduli lingkungan dan terlibat dalam membangun diri mereka sendiri?
Tidak ada cara eksak atau sesuatu yang pasti untuk ini. Kami mengandalkan pertemanan secara persuasif. Saya tidak menjelaskan panjang lebar kepada mereka. Kami lakukan saja apa yang mau kami kerjakan untuk mereka. Tentu saya tidak menjelaskan tujuan saya membantu mereka, menjual hasil kebun mereka.
Langsung saja saya katakan ’saya akan jualkan, tolong siapkan sekian kilogram perminggu’. Jadi mereka dapat langsung memperoleh penghasilan setiap pekan, biasanya 2-3 bulan sekali sehingga ada perputaran uang yang mereka bisa atur. Sama juga seperti pabrik oksigen atau menjual bibit tanaman.
Saya tidak perlu menjelaskan ini untuk apa. Langsung saja saya tanya “ada bibit tanaman apa? Harga berapa?” Kemudian saya carikan pembeli, saya ambil dan bayar. Mereka terima beres. Senang saya tidak perlu banyak cerita dalam setiap program. Padahal itu termasuk program pemberdayaan.
Saya hanya perlu menyemangati mereka untuk berkebun karena punya lahan yang cukup luas. Kendala di enam tahun pertama memang memberi pelajaran karena kami tidak berkomunikasi dengan mereka. Ilmu “belagu” memang tidak menghasilkan apa-apa, tapi itu juga proses belajar kami.
Saya baru menyadari bahwa apa yang saya lakukan ini juga dilakukan oleh beberapa orang di luar sana, bahkan ada sekolahnya. Sementara dulu saya tidak pakai ilmu dan tak berusaha cari tahu untuk melakukan socialpreneur yang sekarang sudah banyak caranya, juga banyak yang mengajarkan.
Manfaat apa yang Anda rasakan ketika bisa mengembangkan sebuah kelompok masyarakat?
Ini agak susah. Saya kadang menangis kalau harus menceritakan apa yang saya rasakan sekarang. Kepuasan yang tidak bisa diceritakan. Kalau yang terlihat, saya hampir setiap hari punya kenalan baru. Bukan hanya teman asal teman, tapi mereka yang bisa diajak bekerja sama membantu saya. Saya bantu, kasih saya ilmu, atau juga saya beri ilmu. Merasakan kenikmatan pertemanan ini lebih daripada punya uang banyak. Semakin banyak membantu orang, uang menjadi tidak ada artinya lagi.
Apa harapan Anda buat Komunitas WPL?
Saya ada keprihatinan pada kondisi masyarakat sekarang, semoga ada yang bisa terinspirasi oleh kehadiran kami. Kalau saya ke kampus-kampus, saya tanya berapa banyak yang punya cita-cita lulus dengan IP tinggi, lalu diterima di perusahaan besar dan keliling dunia? Jawabannya 99% mau.
Perguruan tinggi besar atau kecil sama, generasi penerus impiannya sama, mereka mau jadi karyawan. Ini menyedihkan. Padahal Indonesia punya sumber daya alam besar. Kenapa sumber daya kita dikelola asing? Padahal kalau kita mau pasti bisa. Saya di Depok setiap saat melihat kereta api yang lewat, kalau pagi penuh ke arah Jakarta.
Tandanya, penduduk Indonesia menghabiskan waktu mereka di kantor, menghabiskan hari-hari serta pemikirannya di kantor. Lalu, siapa yang mengelola sumber daya alam kita? Ternyata ya kebanyakan orang asing. Ada juga orang lokal, tapi lebih menjerumuskan seperti jadi lintah darat. Mereka menawarkan pinjaman mudah dengan bunga mencekik.
Saya punya pendapat, Indonesia akan maju kalau setiap pagi lalu lintas orang ramai ke segala arah kota, bukan hanya ke Jakarta. Di kota besar hanya sedikit orang. Jadi yang lain fokus di daerah masing-masing untuk memberdayakan alam yang kita punya. Alhamdulillah, saya sudah berhasil memulangkan beberapa sarjana untuk kembali kedaerah, membangun wilayah asal mereka.
Apa cita-cita Anda yang belum terwujud atau ingin membuat apa lagi?
Pengelolaan Komunitas WPL menjadi organisasi modern. Kami punya jaringan di seluruh Indonesia sampai ke pelosok untuk membangun potensi lokal bersama seluruh anak negeri. Untuk sampai ke situ masih harus berjuang. Di tempat saya saja, dari 150 kepala keluarga, tidak semua mau ikut program kami.
Paling baru 50%-nya, tapi kami tidak perlu menunggu orang lain untuk ikut atau sampai lengkap. Tetap jalan. Walau mereka tidak ikut, tapi tetap mendukung, lalu mereka mendapat manfaatnya, ya tidak masalah. Bagi kami, mereka tidak ganggu saja sudah senang. Saya sedang membuat aplikasi untuk membantu permodalan para UKM.
Biasanya, mereka dapat dana dari lomba. Kami ingin setiap UKM punya sesuatu atau ada pengorbanannya. Misalkan dia punya laptop, ya laptop ini jadi modal awal. Bagaimana caranya laptop tersebut menjadi uang.
Bayar Utang pada Masyarakat
”Saya merasa seperti punya utang budi pada negara dan masyarakat karena saya sudah kuliah dengan biaya murah.” Demikian jawaban Baron ketika ditanya alasannya ingin membantu masyarakat.
Saat diterima di Jurusan Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI), Baron sangat bangga sekaligus senang. Apalagi dari SMA-nya, dialah siswa pertama yang berhasil menembus UI. Kebahagiaan Baron tidak selesai sampai di situ, karena setiap semester ia hanya harus mengeluarkan biaya kuliah sebesar Rp120.000.
“Sisanya menggunakan APBD. Itu kan uang masyarakat. Bagi saya, itu berarti saya juga harus memberikan sesuatu untuk masyarakat dan bangsa ini,” katanya.
Beruntung setelah menikah, Baron memiliki istri yang satu visi dan misi dengannya. Cita-cita mereka adalah ingin bermanfaat bagi orang lain. Pasangan ini tidak pernah ragu membuka rumah mereka di Depok agar bisa didatangi banyak orang.
Rumah bukan cuma tempat beristirahat, tapi bisa pula dijadikan lokasi berkumpul dan berbagi ilmu. Sejak lulus kuliah, Baron tidak pernah berniat bekerja di perusahaan orang, melainkan ingin punya usaha sendiri. Tujuan lelaki kelahiran Jakarta ini adalah membantu masyarakat setelah dirinya sukses.
Namun, niat sukses berwirausaha tidak pernah terwujud lantaran sudah 15 kali perusahaan yang ia dirikan bangkrut.
“Saya masih berpikir konvensional, berpikir bagaimana kita makan dulu, kita mapan, baru bantu orang. Tapi, di dalam perjalanan ternyata kita tidak perlu mapan dulu untuk membantu masyarakat. Mulai dari sekarang, tanpa modal pun kita bisa bantu orang lain,” ungkapnya.
Menyandang predikat alumni jurusan dan kampus bergengsi tidak membuat Baron punya impian memiliki profesi besar. Dengan menjadi perantara petani belimbing untuk menemukan pembeli secara langsung saja sudah memuaskan dirinya.
Bahkan, menurut Baron, ada keterkaitan ilmu teknik mesin dengan aktivitas sosial yang dilakukannya sekarang. Menurut Baron, dalam ilmu teknik mesin diajarkan cara merekayasa mesin. Merangkai komponen yang berbeda bentuk dan fungsi menjadi satu kesatuan untuk menyelesaikan masalah.
“Di masyarakat juga sama. Setiap orang punya potensi berbeda. Permasalahannya, banyak orang tidak sadar bahwa dirinya punya potensi. Setelah dieksplorasi potensi mereka, tinggal bagaimana merangkainya sehingga bisa berkelanjutan,” tutur Baron. (Ananda Nararya)
(nfl)