Merajut Harmoni dan Kemandirian di 0 Kilometer

Senin, 16 Juli 2018 - 07:43 WIB
Merajut Harmoni dan...
Merajut Harmoni dan Kemandirian di 0 Kilometer
A A A
SABANG - Jadeh han huronyo (jadi hari ini kita) snorkling?” teriak seorang nenek kepada pria muda dari kejauhan, di pagi buta sebuah penginapan pinggir pantai Iboih, Kota Sa­bang, Aceh. Bisa jadi kita akan tertawa geli mendengar nenek yang akan snorkling, tapi itu menjadi wajar di Kota Sabang.

Ya, di Kota Sabang khususnya sepanjang kawasan pantai Iboih, mulai dari anak muda hingga orang tua bisa dipastikan mengenal istilah snorkling (menyelam di perairan dangkal). Perjalanan wisata di sana pun menjadi tak berarti apa-apa jika tak ber-snorkling. Bahkan, hampir sepanjang bibir pantai yang terletak di titik 0 kilometer itu, memiliki spot-spot indah untuk diselami.

Tak hanya menyelam, pengunjung juga bisa diving, berkeliling pulau menggunakan perahu boat, memancing, kemping, berenang, berjemur seharian di pantai berpasir putih, atau sekadar duduk santai melihat aktivitas nelayan sembari dibuai angin laut dan deburan ombak, sudah cukup menghapus penat setelah seharian berkutat dengan aktivitas.

Selain pantai Iboih, masih banyak lagi kawasan wisata lainnya di Kota Sabang yang tak kalah indah. Di antaranya yang sudah terkenal adalah pantai pasir putih Ie Meulee, pantai Goa Sarang, air terjun Pria Laot, Danau Aneuk Laot, Pantai Su­mur Tiga, Pantai Anoi Itam, pe­mandian air panas Keuneukai, Benteng Jepang, ka­wah Gu­nung Jaboi, pesona pulau Klah, Weh dan Rubiah, dan pastinya Tugu O Kilometer yang menjadi ikon Kota Sabang. Karena banyaknya pilihan tempat wisata itulah, tak heran jika Kota Sabang menjadi salah satu dari 10 destinasi wisata di Indonesia yang wajib dikunjungi.

Ramainya wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang melancong ke kota Sabang, terutama di akhir pekan, tentu menggairahkan perekonomian dan aktivitas kehidupan masyarakat di kota paling ujung pulau Sumatera itu. Rata-rata mereka menjadi guide (pemandu) snorkling, diving, driver boat, usaha dan jasa sewa perahu, hingga mendampingi wisatawan yang hendak memancing atau sekadar berkeliling kota Sabang yang dilingkari laut.

Seiring waktu, pedagang suvenir dan oleh-oleh juga banyak bermunculan, menjamurmya usaha penginapan, jasa sewa atau rental kendaraan, pusat jajanan dan kuliner, termasuk tentunya gairah di bidang transportasi baik berupa usaha pe­ner­bangan maupun penyeberangan laut dan antarpulau. Situasi ini dirasakan mulai bernapas kembali, pasca-tsunami yang melanda Aceh pada 2004 silam.

Asisten II Bidang Administrasi, Ekonomi dan Pembangunan Pemkot Sabang Kamaruddin mengatakan pihaknya mendorong masyarakat untuk bergerak di industri kreatif. Masyarakat didorong untuk bergerak di kuliner, akomadasi baik hotel maupun vila, jasa travel atau industri kerajinan. “Kita juga perkuat industri petani nelayan. Sehingga tangkapan ikan segar bisa menjadi daya tarik,” kata Kamaruddin.

Semua upaya tersebut adalah upaya Pemkot Sabang untuk mewujudkan Kota Sabang sebagai destinasi wisata nasional bahkan internasional. Namun upaya Pemkot Sabang harus terus ditingkatkan jika melihat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Pada 2017, wisman ke Kota Sabang menurun menjadi 6.031 orang dari 10.038 pada 2016.

Tak bisa dibantah, kota Sabang yang terpusat di Pulau Weh, memang memiliki banyak potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat mendukung pengembangan pariwisata dan perekonomian daerah itu. Selain potensi bahari, gugusan pulau, bukit, gunung, hutan termasuk jejak sejarah kota Sabang dan kearifan lokal masyarakat setempat, juga bisa mendatangkan manfaat sangat besar jika dikelola dengan baik dan berkeadilan. Tinggal lagi, Pemerintah Kota (Pemkot) dan Badan Pengelola Kawasan Sabang (BPKS) selaku otoritas di sana, pandai-pandai membangun sinergi, memajukan kota Sabang.
Merajut Harmoni dan Kemandirian di 0 Kilometer
Pembangunan Berkelanjutan
Sebentar saja berada Kota Sabang, seketika kita akan merasakan ketenangan dan suasana damai, serta udara segar yang jauh dari polusi – yang kerap ditemui di banyak kota- kota besar Indonesia yang sesak dengan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, pemerintahan, asap kendaraan dan aktivitas industri. Terasa betul, kota Sabang dibangun dengan konsep berkelanjutan, sehingga terbentuk harmoni dan kemandirian pembangunan dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Hal ini juga selaras dengan definisi pembangunan berkelanjutan sesuai UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain itu, terdapat keunikan di dalam sistem perekonomian Kota Sabang. Pemkot setempat sengaja menerapkan sistem ekonomi mikro untuk menggerakkan perekonomian dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama perekonomian.

Bentuk dukungan ini antara lain penyediaan lokasi dan tenda untuk pedagang kaki lima, terutama di pasar dan kawasan wisata. Termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta infrastruktur berupa jalan, air bersih dan listrik, guna memudahkan masyarakat terutama pelaku usaha, melakukan aktivitasnya.

“Apabila potensi pariwisata berkembang, mungkin masyarakat bisa meningkatkan pendapatan sehari-hari,” kata Kepala Kampung Iboih Teuku Iskandar kepada KORAN SINDO.

Keunikan konsep ekonomi mikro atau ekonomi kerakyatan yang diterapkan Pemko Sabang ini tidak semua kota di Indonesia dapat mencontoh, terutama kota-kota besar yang identik dengan pusat perbelanjaan dan perdagangan kelas menengah ke atas. Bahkan, di Kota Sabang ada batasan penetrasi investor.

Namun, Kota Sabang bukannya tidak memerlukan calon investor sama sekali untuk menanamkan modalnya di kota ini, terutama dalam rangka meningkatkan dan menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Karena, besarnya potensi pariwisata dan perairan di kota itu tentu juga membutuhkan sentuhan investor.

Dengan adanya aktivitas dan geliat pariwisata, diharapkan terbentuk lapangan usaha yang dapat menyejahterakan masyarakat. Apalagi, 70% PAD kota Sabang ditopang dari sektor pariwisata. Hal ini jelas memberikan dampak signifikan bagi keberlanjutan perekonomian dan sosial di Kota Sa­bang. Karena pada akhirnya, keberlangsungan sebuah kota di­lihat dari kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

Di bidang pertanian dan perikanan, Sabang juga telah lama dikenal sebagai salah satu daerah tangkapan ikan dan penghasil cengkih, kelapa, pala dan sedikit kakao. Untuk akses ke dalam dan luar, kota ini telah memiliki bandara Maimun Saleh dan pelabuhan dan perdagangan bebas Sabang. Tapi, meski sudah 17 tahun beroperasi, banyak pelaku usaha menilai pelabuhan dan perdagangan bebas Sabang hingga saat ini belum menggeliat dan terkesan masih jalan di tempat.

Tak hanya itu, kucuran dana dari APBN yang sedemikian besar terhadap pengembangan kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas, tetap belum mampu membangkitkan perekonomian Sabang, bahkan cenderung jauh tertinggal dibanding dengan kawasan Free Tread Zona (FTZ) lainnya di Indonesia, seperti Batam, Bintan dan Karimun di Kepulauan Riau (Kepri). Meski pada 2017 lalu kota ini sukses menyelenggarakan Sail Sabang dan Sabang Marine Festival pada April 2018, tapi multiplier effect iven besar itu terasa hanya sesaat.

Iskandar mengatakan satu hal lainnya yang mungkin bisa dibanggakan di Kota Sabang, meski banyak didatangi turis dari luar, namun masyarakat setempat tetap mampu mempertahankan budaya dan kearifan lokalnya, yang dikenal kental dengan nuansa islami. Malah turis yang datang tak segan mengikuti tradisi masyarakat setempat, terutama cara berpakaian (walau tak mesti mengenakan kerudung).

“Biasanya kan di banyak kawasan wisata pantai, pendatang bebas berpakaian terbuka. Kalau di Sabang tidak ada turis yang berani. Pakai celana pendek saja mereka sungkan,” kata Iskandar.
(poe)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0125 seconds (0.1#10.140)