Percepatan Perizinan Hulu Migas Kerap Terkendala Otonomi Daerah
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Upaya pemerintah pusat dalam memangkas perizinan eksplorasi minyak dan gas (Migas) dinilai sudah cukup baik, hanya saja implementasinya di tingkat daerah masih terkendala oleh regulasi pemerintahan setempat.
Kondisi demikian, membuat iklim investasi sektor migas menjadi terganggu. Padahal, percepatan perizinan di tingkat hulu dapat meningkatkan pemasukan kas negara dan daerah atas kekayaan sumber daya alamnya.
Pengamat energi, Mashuri, mengatakan investasi migas membutuhkan adanya kepastian hukum, baik di pusat hingga daerah. Persoalannya, kata dia, selama ini masih ada sejumlah aturan di daerah yang belum sejalan dengan keinginan percepatan itu.
"Kepastian hukum itu meliputi semua bidang, dan itu harus dipahami baik di tingkat pusat ataupun daerah. Tanpa ada kepastian hukum, maka akan sulit sekali (terlaksana), karena banyak peraturan di daerah terutama yang sangat menghambat iklim investasi migas ini," ungkap Mashuri usai diskusi seputar perizinan migas di Saung Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel), Kamis (19/7/2018).
Dilanjutkannya, rumitnya proses perizinan itu membuat investor terpaksa menunda investasinya. Bahkan ada pula yang lebih memilih berpindah ke luar negeri guna mencari negara yang lebih cepat dalam perizinan eksplorasi.
"Apalagi di daerah itu sekarang kan otonomi, bahkan yang saya dengar bisa sampai 350-an izin untuk eksplorasi. Dan satu eksplorasi itu bisa mencapai 10 tahun prosesnya. Makanya proses percepatan perizinan di hulu migas itu terkendala pula oleh otonomi di daerah," imbuhnya.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri sebenarnya telah mencabut 32 regulasi demi menyederhanakan aturan untuk mendukung pengembangan investasi. Regulasi yang dicabut itu antara lain tersebar pada subsektor migas, mineral dan batu bara (minerba), energi terbarukan, ketenagalistrikan, serta regulasi pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Sementara itu, Kepala Hubungan Eksternal SKK Migas, Bambang Dwi Djanuarto, mengungkapkan, pihaknya terus bekerja keras agar target investasi migas bisa terealisasi. Sehingga diharapkan nantinya akan ada temuan-temuan area eksplorasi baru di tanah air yang membantu meningkatkan cadangan migas.
"Kondisi migas kita kritis. Hanya saja, kita meyakini dengan regulasi dan peraturan perizinan yang membaik maka akan berdampak bagi temuan migas baru," ucap Bambang dalam diskusi itu.
Dalam diskusi itu, Ketua Pospera Banten, Akhmad Yuslizar, ikut menyikapi tentang adanya otonomi daerah yang justru menghambat keinginan pemerintah pusat soal percepatan izin. Menurut Yuslizar, praktik tersebut adalah gaya tak cerdas yang justru melenyapkan peluang investasi dan juga area eksplorasi baru.
"Mereka membuat produk perundangan yang menambah izin-izin baru. Alhasil meja-meja makin banyak, dan pungli pun bertebaran. Kita harus sadar, bahwa negara kita bukan lagi penghasil migas, kita sudah impor. Cadangan kita hanya tinggal 3,3 miliar barel. itu akan habis dalam 10 tahun," tegasnya.
Kondisi demikian, membuat iklim investasi sektor migas menjadi terganggu. Padahal, percepatan perizinan di tingkat hulu dapat meningkatkan pemasukan kas negara dan daerah atas kekayaan sumber daya alamnya.
Pengamat energi, Mashuri, mengatakan investasi migas membutuhkan adanya kepastian hukum, baik di pusat hingga daerah. Persoalannya, kata dia, selama ini masih ada sejumlah aturan di daerah yang belum sejalan dengan keinginan percepatan itu.
"Kepastian hukum itu meliputi semua bidang, dan itu harus dipahami baik di tingkat pusat ataupun daerah. Tanpa ada kepastian hukum, maka akan sulit sekali (terlaksana), karena banyak peraturan di daerah terutama yang sangat menghambat iklim investasi migas ini," ungkap Mashuri usai diskusi seputar perizinan migas di Saung Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel), Kamis (19/7/2018).
Dilanjutkannya, rumitnya proses perizinan itu membuat investor terpaksa menunda investasinya. Bahkan ada pula yang lebih memilih berpindah ke luar negeri guna mencari negara yang lebih cepat dalam perizinan eksplorasi.
"Apalagi di daerah itu sekarang kan otonomi, bahkan yang saya dengar bisa sampai 350-an izin untuk eksplorasi. Dan satu eksplorasi itu bisa mencapai 10 tahun prosesnya. Makanya proses percepatan perizinan di hulu migas itu terkendala pula oleh otonomi di daerah," imbuhnya.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri sebenarnya telah mencabut 32 regulasi demi menyederhanakan aturan untuk mendukung pengembangan investasi. Regulasi yang dicabut itu antara lain tersebar pada subsektor migas, mineral dan batu bara (minerba), energi terbarukan, ketenagalistrikan, serta regulasi pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Sementara itu, Kepala Hubungan Eksternal SKK Migas, Bambang Dwi Djanuarto, mengungkapkan, pihaknya terus bekerja keras agar target investasi migas bisa terealisasi. Sehingga diharapkan nantinya akan ada temuan-temuan area eksplorasi baru di tanah air yang membantu meningkatkan cadangan migas.
"Kondisi migas kita kritis. Hanya saja, kita meyakini dengan regulasi dan peraturan perizinan yang membaik maka akan berdampak bagi temuan migas baru," ucap Bambang dalam diskusi itu.
Dalam diskusi itu, Ketua Pospera Banten, Akhmad Yuslizar, ikut menyikapi tentang adanya otonomi daerah yang justru menghambat keinginan pemerintah pusat soal percepatan izin. Menurut Yuslizar, praktik tersebut adalah gaya tak cerdas yang justru melenyapkan peluang investasi dan juga area eksplorasi baru.
"Mereka membuat produk perundangan yang menambah izin-izin baru. Alhasil meja-meja makin banyak, dan pungli pun bertebaran. Kita harus sadar, bahwa negara kita bukan lagi penghasil migas, kita sudah impor. Cadangan kita hanya tinggal 3,3 miliar barel. itu akan habis dalam 10 tahun," tegasnya.
(ven)