Pajak Orang Asing Pangkas Penjualan Toko Indonesia di Arab Saudi

Minggu, 02 September 2018 - 18:01 WIB
Pajak Orang Asing Pangkas...
Pajak Orang Asing Pangkas Penjualan Toko Indonesia di Arab Saudi
A A A
MEKKAH - Kebijakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan Indonesia yang membatasi warga negara Indonesia (WNI) di Arab Saudi berdampak negatif terhadap penjualan produk-produk Indonesia di negara ini. Kebijakan yang dimaksud yakni penertiban dokumen yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi bagi warga negara asing pada 2013.

Ketika itu, ada ratusan ribu WNI yang terpaksa dipulangkan ke Tanah Air karena bermasalah dengan dokumen keimigrasian dan melebihi waktu tinggal (overstay). Bagi para peritel produk Indonesia di Arab Saudi, tentu saja ini sangat berdampak negatif.

Kondisi itu kian parah mengingat pemerintah belum juga membuka moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) informal dan non-skill khususnya sopir pribadi dan pembantu rumah tangga (PRT) ke Arab Saudi yang diberlakukan sejak 2011.

Namun kebijakan yang paling memukul para peritel adalah pemberlakuan pajak orang asing di negeri ini. Kebijakan yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2018 ini benar-benar memukul para peritel produk Indonesia di Arab Saudi.

Besarannya pajak orang asing pada tahun ini 100 riyal per kepala saban bulan. Tahun depan jumlah ini naik menjadi 200 riyal per orang tiap bulan. Kemudian pada 2019, besarannya naik lagi menjadi 300 riyal per kepala sebulan. Dengan pemberlakukan pajak tersebut, Arab Saudi memperkirakan bisa meraup pendapatan 1 miliar riyal akhir tahun ini.

Kondisi ini sangat dirasakan Ridwan, pemilik Toko Singaparna di Khalid bin Walid Street Jeddah, Arab Saudi. Pria asal Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat ini mengaku, sebelum adanya penerapan pajak orang asing tersebut, omzet tokonya dalam sehari bisa mencapai 15.000 riyal, namun saat ini paling tinggi penjualannya hanya 10.000 riyal.

"Turun drastis, Mas. Banyak WNI yang pulang ke Indonesia," katanya di sela melayani pembeli di tokonya di Jeddah, belum lama ini.

Selama ini, kata Ridwan, Toko Singaparna sekitar 80% menjual produk-produk asal Indonesia. Sebagian kecil saja ada produk Thailand, Malaysia, maupun Filipina. Ridwan memaklumi penurunan omzet penjualannya, karena mayoritas pembelinya merupakan WNI yang tinggal di Jeddah.

Ridwan menyampaikan, dirinya memiliki dua orang anak dan satu istri. Sehingga dalam sebulan, dirinya harus membayar pajak sebesar 400 riyal atau setara dengan Rp1,6 juta. "Cukup berat Mas. Apalagi penjualan juga turun kayak gini," katanya.

Abdul Halim, Key Account Manager PT Sami Alkathiri mengatakan toko Indonesia yang ada di Jeddah sebanyak 90 toko. Semua toko tersebut omzet penjualannya turun. "Penurunan itu terutama setelah pemberlakuan pajak terhadap orang asing tersebut," katanya. PT Sami Alkathiri merupakan salah satu dari delapan perusahaan Arab Saudi yang mengimpor produk asal Indonesia.

Fawzi Bawazir, pemilik Mohammed Bawazir for Trading Co. Ltd. mengatakan, agar dapat bertahan produk makanan dan minuman Indonesia yang dijual para peritel di pasar Arab Saudi harus disesuaikan dengan selera lokal. Dengan menyasar pembeli lokal, kebijakan pajak orang asing yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi bisa diminimalkan dampaknya.

Intinya, kata Fawzi, pangsa pasar yang disasar para peritel tidak lagi hanya menyasar konsumen Indonesia di Arab Saudi. Memang, dia mengakui, untuk mengenalkan produk makanan maupun minuman Indonesia di Arab Saudi membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tak sedikit. Namun, itu harus dilakukan agar produk Indonesia bisa tetap laku di Arab Saudi.

"Seperti mie ini, saya yang pertama kali memperkenalkan di sini," kata kakak kandung politikus Fuad Bawazier ini seraya memperlihatkan produk mie instan produksi Indonesia.

Kepala Konsulat Jenderal RI di Jeddah Mohamad Hery Saripudin menyatakan haji dan umrah harus dimanfaatkan untuk peningkatan devisa negara dan menguatkan kepentingan nasional. Pengusaha nasional harus menjalin komunikasi dengan para saudagar Saudi agar ekspor produk Indonesia terus meningkat, terutama menjelang musim haji.

Konsul Jenderal menjelaskan, setiap tahunnya ada 1,3 juta jamaah umrah datang. Belum lagi jamaah haji yang mencapai 220.000-an orang dari Indonesia. Semuanya akan lebih baik bila difasilitasi dan dilayani dengan produk dalam negeri.

Hotel tempat menginap jamaah misalkan, sangat mungkin diwajibkan untuk menggunakan handuk, sabun, dan sampo, buatan Indonesia. Kalau ini terjadi maka akan ada ratusan ribu kamar mandi hotel menggunakan produk Indonesia. "Pasarnya jelas ini. Harus dimanfaatkan betul," ujarnya.

Pihaknya berharap pada penyelenggaraan haji tahun depan pelaksana fungsi ekonomi dan perdagangan lebih aktif mengawasi jalannya pelayanan akomodasi dan katering jamaah, terutama dalam hal kinerja importir barang dari Indonesia.

Mereka diharapkan lebih memprioritaskan barang Indonesia untuk masuk dan dimanfaatkan para jamaah haji. Konsulat Jenderal Jeddah sudah memfasilitasi mereka untuk menjalin hubungan bisnis dengan pengusaha Indonesia. Harapannya, hal tersebut meningkatkan angka perdagangan Indonesia dan membantu melayani jamaah haji dan umrah di Tanah Suci agar mendapatkan produk negeri sendiri.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1427 seconds (0.1#10.140)