Ekspor Holding Tambang Meningkat 32,54%
A
A
A
JAKARTA - PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) beserta ketiga anak usahanya, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk (TINS) menargetkan ekspor holding industri tambang (HIP) tahun ini mencapai USD2,517 miliar. Nilai tersebut tumbuh lebih tinggi 32,54% year on year (yoy) dibandingkan tahun lalu sebesar USD1,899 miliar.
“Meningkatnya penjualan ekspor ditopang dari dua anak usaha, yaitu ANTM dan PTBA. Ini menjadi level tertinggi sejak 2012,” ujar Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin di acara Press Conference Kinerja Ekspor Mineral Tambang, di The Energy Building Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Berdasarkan laporan produksi dan transaksi ekspor Inalum pada 2012 penjualan ekspor holding tambang mencapai USD2,27 miliar, pada 2013 turun jadi USD2,016 miliar, turun lagi pada 2014 menjadi USD1,705 miliar. Sedangkan pada 2015 turun ke level USD1,621 miliar dan di 2016 menjadi USD1,344 miliar untuk kemudian pada 2017 naik ke level USD1,899 miliar.
Menurut Budi, kontribusi ANTM paling meningkat signifikan sejak 2017 dibandingkan anggota HIP lainnya. Tahun lalu emiten logam ini melakukan ekspor sebesar USD635 juta. Sementara untuk total pendapatan usaha mencapai Rp11,8 triliun atau naik 292% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp3 triliun. Sedangkan kontribusi terbesar penjualan ekspor ANTM tahun ini ditargetkan dari penjualan emas dan perak sebesar USD519 juta, feronikel USD356 juta, nickel (ore) 128 juta, dan bauksit USD43 juta.
Terkait tren penjualan ekspor ANTM sejak 2012 mengalami fluktuatif. Pada 2012 ANTM mencatatkan penjualaan sebesar USD628 juta, pada 2013 USD619 juta, pada 2014 turun USD44 juta dan pada 2015 meningkat sebesar USD582, pada 2016 USD407 juta dan pada 2017 meningkat sebesar USD635 juta. “Untuk tahun ini ANTM ditargetkan membukukan penjualan ekspor sebesar USD1,046 miliar, naik dari realisasi tahun lalu sebesar USD635 juta,” kata dia.
Tren yang sama juga terjadi pada PTBA. Rinciannya pada 2012 sebesar USD570 juta, pada 2013 naik USD615 juta, pada 2014 turun USD555 juta, pada 2015 naik USD433 juta dan pada 2017 naik USD573 juta.
Untuk tahun ini PTBA ditargetkan membukukan penjualan ekspor sebesar USD 829 juta, naik dari realisasi tahun lalu sebesar USD 573 juta. “Penjualan ekspor Bukit Asam ditujukan di Asia Tenggara, China, India, dan Jepang,” jelasnya.
Untuk Timah, kata dia, kontribusinya turun dari realisasi penjualan ekspor sebesar USD 609 juta menjadi USD563 juta tahun ini. “Sedangkan secara total penjualan ekspor Inalum berkontribusi USD79 juta, ANTM menyumbang USD1,046 miliar, PTBA USD829 juta, dan TINS USD563 juta,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama Menteri BUMN Rini Soemarno meminta ekspor holding tambang harus menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Pasalnya selama ini sejumlah hasil tambang seperti bauksit, timah dan nikel masih di ekspor dalam bentuk bahan baku.
Untuk itu, pihaknya ingin agar holding tambang mampu memproduksi hasil tambang menjadi produk bernilai tambah. Ia berkeinginan ekspor bauksit harus jadi aluminium dan hasil tambang berupa nikel harus jadi stainless. “Mengenai tambang ini saya pesan khusus. Di tambang ini potensi kita sangat besar. Dalam arti kita harus mampu memproduksi tambang menjadi produk bernilai tambah,” kata dia.
Rini terus mendorong ekspor holding tambang harus dapat menjual produknya menjadi barang jadi. Khusus aluminium, Indonesia diharapkan mampu memproduksi 20 jenis produk akhir. “Ke depan, selain sekarang ekspor makin baik, tapi tentunya ke depan saya mau produk akhir dari tambang ini nilai tambahnya tinggi. Itulah yang saya harapkan itu bisa dilakukan,” tandas dia.
“Meningkatnya penjualan ekspor ditopang dari dua anak usaha, yaitu ANTM dan PTBA. Ini menjadi level tertinggi sejak 2012,” ujar Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin di acara Press Conference Kinerja Ekspor Mineral Tambang, di The Energy Building Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Berdasarkan laporan produksi dan transaksi ekspor Inalum pada 2012 penjualan ekspor holding tambang mencapai USD2,27 miliar, pada 2013 turun jadi USD2,016 miliar, turun lagi pada 2014 menjadi USD1,705 miliar. Sedangkan pada 2015 turun ke level USD1,621 miliar dan di 2016 menjadi USD1,344 miliar untuk kemudian pada 2017 naik ke level USD1,899 miliar.
Menurut Budi, kontribusi ANTM paling meningkat signifikan sejak 2017 dibandingkan anggota HIP lainnya. Tahun lalu emiten logam ini melakukan ekspor sebesar USD635 juta. Sementara untuk total pendapatan usaha mencapai Rp11,8 triliun atau naik 292% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp3 triliun. Sedangkan kontribusi terbesar penjualan ekspor ANTM tahun ini ditargetkan dari penjualan emas dan perak sebesar USD519 juta, feronikel USD356 juta, nickel (ore) 128 juta, dan bauksit USD43 juta.
Terkait tren penjualan ekspor ANTM sejak 2012 mengalami fluktuatif. Pada 2012 ANTM mencatatkan penjualaan sebesar USD628 juta, pada 2013 USD619 juta, pada 2014 turun USD44 juta dan pada 2015 meningkat sebesar USD582, pada 2016 USD407 juta dan pada 2017 meningkat sebesar USD635 juta. “Untuk tahun ini ANTM ditargetkan membukukan penjualan ekspor sebesar USD1,046 miliar, naik dari realisasi tahun lalu sebesar USD635 juta,” kata dia.
Tren yang sama juga terjadi pada PTBA. Rinciannya pada 2012 sebesar USD570 juta, pada 2013 naik USD615 juta, pada 2014 turun USD555 juta, pada 2015 naik USD433 juta dan pada 2017 naik USD573 juta.
Untuk tahun ini PTBA ditargetkan membukukan penjualan ekspor sebesar USD 829 juta, naik dari realisasi tahun lalu sebesar USD 573 juta. “Penjualan ekspor Bukit Asam ditujukan di Asia Tenggara, China, India, dan Jepang,” jelasnya.
Untuk Timah, kata dia, kontribusinya turun dari realisasi penjualan ekspor sebesar USD 609 juta menjadi USD563 juta tahun ini. “Sedangkan secara total penjualan ekspor Inalum berkontribusi USD79 juta, ANTM menyumbang USD1,046 miliar, PTBA USD829 juta, dan TINS USD563 juta,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama Menteri BUMN Rini Soemarno meminta ekspor holding tambang harus menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Pasalnya selama ini sejumlah hasil tambang seperti bauksit, timah dan nikel masih di ekspor dalam bentuk bahan baku.
Untuk itu, pihaknya ingin agar holding tambang mampu memproduksi hasil tambang menjadi produk bernilai tambah. Ia berkeinginan ekspor bauksit harus jadi aluminium dan hasil tambang berupa nikel harus jadi stainless. “Mengenai tambang ini saya pesan khusus. Di tambang ini potensi kita sangat besar. Dalam arti kita harus mampu memproduksi tambang menjadi produk bernilai tambah,” kata dia.
Rini terus mendorong ekspor holding tambang harus dapat menjual produknya menjadi barang jadi. Khusus aluminium, Indonesia diharapkan mampu memproduksi 20 jenis produk akhir. “Ke depan, selain sekarang ekspor makin baik, tapi tentunya ke depan saya mau produk akhir dari tambang ini nilai tambahnya tinggi. Itulah yang saya harapkan itu bisa dilakukan,” tandas dia.
(akr)