Perjuangan Warga Lubuk Cuik Menjaga Pedasnya Komoditas Cabai Sumatera Utara

Kamis, 23 September 2021 - 18:34 WIB
loading...
Perjuangan Warga Lubuk...
Inalum, BUMN Holding Industri Pertambangan MIND ID memberikan pembinaan dan pendampingan dalam pembuatan produk turunan cabai kepada petani cabai di Sumatra Utara
A A A
MEDAN - Makan tanpa sambal rasanya kurang mantap. Semua orang tahu cabai merupakan bahan utama untuk membuat sambal yang tak tergantikan. Tapi siapa yang tahu bahwa lumbung cabai terbesar salah satunya ada di Desa Lubuk Cuik, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.

Berjarak 120 kilometer dari Kota Medan, desa dengan lahan cabai seluas 85 hektare ini menjadi salah satu lumbung cabai terbesar di Sumatera Utara. Dalam satu hari dari kebun cabai ini bisa menghasilkan 18 ton cabai. Padahal awalnya Desa Lubuk Cuik bukan sentra cabai. Keuntungan lahan yang subur membuat warga terbiasa menanam tanaman palawija. Tak banyak memang yang berani menanam cabai karena memerlukan proses perawatan yang lebih sulit.

Salidi, Ketua Kelompok Tani Makmur Desa Lubuk Ciuk, menceritakan bahwa warga biasanya menanam timun dan padi saat musimnya. Nahas, pada 2006, desa mengalami bencana banjir dahsyat dan merendam lahan pertanian di desa ini. Selang dua tahun warga pun memutuskan untuk menanam cabai.

"Awalnya sih istilahnya kalau menanam cabai itu seperti mengurus bayi karena banyak yang diurus. Jadi hanya beberapa orang saja yang menanam cabai. Sampai beberapa musim ada juga tantangan dari petani lain dengan konsep lahan irigasi yang berbeda," ujarnya.

Namun sejak 2011, Salidi menjelaskan suksesnya panen membuat tren menanam cabai pun mulai diikuti oleh puluhan orang. Pada 2012, lahan cabai semakin bertambah luas, dan diikuti oleh desa-desa di kabupaten yang sama.

"Pada akhirnya desa-desa lain mengikuti menanam cabai juga seperti Desa Pematang Tengah, Desa Gambus Laut, Desa Perupuk, mereka belajar dari desa sinilah. Sampai menyentuh 500 ha lahan yang dijadikan untuk menanam cabai," katanya.

Salidi juga mengatakan dari total 85 hektare lahan yang ada di Desa Lubuk Cuik, rata-rata milik perseorangan. Ada juga beberapa yang menyewa. Namun, sebagian besar petani bergabung ke dalam kelompok tani.

Ia mengatakan pembentukan kelompok tani dibuat agar jadwal untuk penanaman padi dan cabai bisa seragam. Sebab, bila penanaman cabai berbeda satu bulan, tanaman yang terlambat tanam bisa gagal.

"Jadi harus ada pola tanamnya agar serentak dan semua petani bisa merasakan hasilnya. Jadwal tani didapat melalui musyawarah antar masyarakat. Kalau tidak ada pola tanam, akan jadi berantakan sistem panennya dan mempengaruhi hasil panen," tuturnya.

Harga cabai yang cukup tinggi juga membuat masyarakat Lubuk Ciuk tetap mempertahankan tanaman cabai ini. Menurut Salidi, Lubuk Cuik mampu memproduksi 15-18 ton cabai per hari. Bila merujuk ke harga cabai paling tinggi yang pernah mereka dapatkan yaitu Rp50 ribu per kilogram. Desa Lubuk Cuik pernah meraup omzet sebesar Rp900 juta untuk sekali panen.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1169 seconds (0.1#10.140)