Efek Dolar, GP Farmasi Usulkan Harga Obat Naik 5-7% Mulai Oktober

Kamis, 13 September 2018 - 18:01 WIB
Efek Dolar, GP Farmasi...
Efek Dolar, GP Farmasi Usulkan Harga Obat Naik 5-7% Mulai Oktober
A A A
JAKARTA - Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia mengusulkan harga obat naik 5-7%. Alasannya kenaikan ini demi keberlangsungan industri farmasi di dalam negeri, mengingat telah terjadi pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Dorodjatun mengatakan, saat ini 100% bahan baku obat di Indonesia masih impor. Kemudian untuk material kemasan obat, komposisinya 50% juga masih impor.

"Saat ini sekitar 80% bahan obat yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Dengan kondisi persentase bahan baku obat yang masih impor tersebut maka harga obat di Indonesia tergantung fluktuasi nilai dolar. Kami usulkan agar mulai 1 Oktober harga obat bisa naik 5-7%," kata Dorodjatun saat berbicara dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Usulan Kenaikan Harga Obat di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), di Jakarta, Kamis (13/9/2018).

Menurut Dorodjatun, industri farmasi Indonesia kini banyak yang terancam kolaps. Sebab sejak diberlakukannya fornas obat-obatan pada era JKN, sekitar 60% harga obat turun dari harga sebelumnya. Selain itu, kenaikan nilai dolar terhadap rupiah membuat harga bahan baku obat juga meroket.

Ditambah lagi, efek domino atas keterlambatan pembayaran klaim asuransi JKN oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit, kini juga berimbas ke industri farmasi. Saat ini banyak rumah sakit yang menunggak pembayaran pengadaan obat, dengan rata-rata keterlambatan 4 hingga 6 bulan.

Dorodjatun menyebutkan, kondisi tersebut dikeluhkan oleh industri farmasi. Sebab belum dibayarnya pembelian obat-obatan hingga berbulan-bulan, telah mengganggu cash flow industri obat dalam negeri. "Kami tidak lagi sekadar merumahkan karyawan tapi sebagian dari industri farmasi kini terancam tutup," kata dia.

Dorodjatun mengaku tidak tahu persis di mana titik kesalahan dari kasus tunggakan pembayaran obat oleh rumah sakit ke industri farmasi. Sebab tidak ada data yang bisa dijadikan pegangan oleh industri farmasi, berapa nilai premi yang sudah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke rumah sakit dan rumah sakit mana yang belum menerima klaim asuransi JKN.

Sehingga tanpa data tersebut sulit menelusuri penyebab tunggakan pembelian obat oleh rumah sakit. Hal ini mengingat klaim JKN yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada provider baik rumah sakit, klinik, maupun puskesmas sifatnya adalah paket.

"Kalau ada datanya, kami bisa tahu mengapa satu rumah sakit belum bayar tagihan obat, apakah karena klaim JKN belum dibayarkan atau klaim yang sudah dibayarkan digunakan untuk kegiatan lain. Itu yang kami tidak bisa telusuri," kata Dorodjatun.

Dorodjatun mengaku sudah berkirim surat kepada pemerintah terkait pengadaan dan harga obat ini pertengahan Agustus 2018. Namun hingga kini, belum ada kebijakan apapun terkait harga obat yang diputuskan oleh pemerintah.

Dorodjatun juga mengkritisi soal aturan denda keterlambatan yang tidak diberlakukan sama. Sebab apabila BPJS Kesehatan telat membayar klaim JKN ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas atau klinik maka BPJS Kesehatan dikenakan denda. Namun mengapa pemberlakukan denda tersebut tidak diberlakukan juga untuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit yang terlambat membayar pembelian obat ke industri farmasi.

Sementara itu, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan, dari total utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit sebesar Rp7 triliun, sekitar 50%-nya adalah untuk pengadaan obat (farmasi). Kondisi ini akan terus terjadi selama akar persoalannya tidak diselesaikan dengan baik.

"Ada 3 skenario yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan ini," ujar Asih.

Pertama adalah menormalkan defisit dengan subsidi anggaran penuh sehingga keuangan BPJS Kesehatan bisa sehat. Ini merupakan ranah kebijakan Kementerian Keuangan.

Langkah kedua adalah restrukturisasi total program JKN, baik nilai premi asuransinya maupun manfaatnya. Restrukturisasi JKN ini hanya bisa dilakukan dengan mengubah undang-undang terkait JKN yang sudah ada.

Langkah ketiga adalah pemberi kerja atau pemerintah menaikkan subsidinya. Dengan cara seperti ini maka dana yang terkumpul dari premi asuransi bisa menutup kebutuhan dana untuk pelayanan peserta program JKN.

Sedangkan Anggota DJSN Zainal Abidin, berharap pemerintah menyusun skenario pengawasan pembayaran obat dari rumah sakit ke industri farmasi.

"Rasanya tidak adil jika keterlambatan membayar klaim ke rumah sakit kemudian BPJS Kesehatan mendapatkan sanksi dengan membayar denda. Sedang rumah sakit yang terlambat membayar pembelian obat ke industri farmasi tidak mendapatkan sanksi apa-apa. Padahal kedua kejadian tersebut sama-sama mengancam keberlangsungan program JKN," pungkas Zainal.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1237 seconds (0.1#10.140)