Pemerintah Waspadai Risiko Tahun 2019
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah tetap optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 sebesar 5,3%. Meski begitu, pertumbuhan sebesar 5,3% tidak terlepas dari kondisi perekonomian global yang bisa memengaruhi ekonomi domestik.
Menteri Keuangan Sri Mul yani Indrawati mengatakan, situasi tersebut akan terus diwaspadai hingga akhir 2018. ”Pertumbuhan 5,3% masih optimistis, namun kami tetap mewaspadai down side risk. Down side risk-nya adalah range kemungkinan growth bisa meleset di 5,15%, terutama karena dinamika adanya pengaruh depresiasi, impor makin melemah, ekspornya bisa positif namun mungkin investasi dan konsumsi akan terpengaruh,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Sri Mulyani memaparkan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% pada 2019 dinilai cukup realistis dari sisi komponen permintaan ataupun dari sisi pasokan. Menurut dia, angka 5,3% ini tidak terlepas dari kinerja ekonomi selama empat tahun ke belakang. Pada 2014–2015, perekonomian Indonesia mengalami tekanan dengan menurunnya harga komoditas secara drastis.
Dari faktor eksternal, terjadi rebalancing perekonomian China dan melemahnya perdagangan internasional. ”Kondisi harga komoditas yang jatuh hingga ke dalam terjadi pada 2014 dan berlanjut hingga 2015-2016. Tahun 2016 sudah mulai muncul pemulihan dari investasi dan ekspor, meskipun masih dalam tahan yang rendah,” paparnya. Pada 2017, dinamika ekspor dan impor menunjukkan arah positif pada paruh kedua.
Hal ini juga yang membuat pada kuartal II/2018 pertumbuhan ekonomi bisa terangkat dan momentum menguat. ”Di semester I/2018, capital flow menurun begitu tajam. Oleh karena itu, melihat hal tersebut di tahun 2019 kami menganggap ada kesempatan untuk menjaga perekonomian namun ekspor dan impor akan lebih balance dan ekspor bisa berkinerja lebih keras dari 2018,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/ 2018 berada pada kisaran 5,13-5,25% yang didukung konsumsi di atas 5%. PMTB pada kuartal II/2018 yang menurun disebabkan dampak dari libur panjang akan kembali naik pada kisaran 6,7- 6,9%. Inflasi tetap terjaga di 3,5%.
Sementara untuk kuartal IV/2018 diproyeksikan berada pada kisaran 5,1-5,3%. Total keseluruhan tahun 2018 diproyeksikan dalam range 5,14% hingga 5,21%. ”Apabila momentum dari konsumsi, investasi, inflasi, ekspor dan impor tetap terjaga, maka kuartal IV sisi risikonya akan semakin menurun dengan adanya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” jelasnya.
Sri Mulyani menuturkan, kenaikan suku bunga dan ketatnya likuiditas dolar memberikan pengaruh psikologis arus modal ke dalam negeri. Pada 2019, asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp14.400 per dolar AS.
Pemerintah tetap mematok kurs rupiah pada angka Rp14.400 dan menerima range yang disampaikan oleh Bank Indonesia (BI) Rp14.300-14.700. ”Kurs ditetapkan Rp14.400, di dalamnya sudah ada implisit dan sudah kredibel untuk jalannya transaksi berjalan,” ungkapnya.
Menurut dia, setiap pelemahan dan penguatan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS akan berdampak pada pendapatan dan belanja negara. ”Apabila kita membuat menjadi Rp14.300 per dolar AS maka penerimaan negara diasumsikan akan turun menjadi Rp2.138 triliun atau turun Rp4,66 triliun, terutama untuk pajak migas karena dia dalam dolar. Sementara dari sisi belanja negara, juga akan turun sebesar Rp3,4 triliun sehingga secara total postur akan turun sebanyak Rp1,26 triliun,” jelanya.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara memperkirakan situasi pasar keuangan tahun depan akan lebih controllable. BI memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS akan terjadi dari level 2% menjadi 3,25%.
”Suku bunga AS akan naik sampai 3,25% walaupun bila dilihat dari pasar keuangan ada yang mengatakan 2,5–3,5%. Namun, dalam proyeksi BI akan naik hingga 3,25%,” ujarnya. Menurutnya, gejolak yang terjadi di global tidak akan sebesar saat suku bunga acuan The Fed naik dari 0,25% menjadi 2%.
Selain itu, rencana Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang akan menaikkan suku bunga acuannya pada 2019 dinilai tidak akan banyak berpengaruh terhadap negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Kenaikan suku bunga Eropa diperkirakan pada semester kedua 2019.
Menteri Keuangan Sri Mul yani Indrawati mengatakan, situasi tersebut akan terus diwaspadai hingga akhir 2018. ”Pertumbuhan 5,3% masih optimistis, namun kami tetap mewaspadai down side risk. Down side risk-nya adalah range kemungkinan growth bisa meleset di 5,15%, terutama karena dinamika adanya pengaruh depresiasi, impor makin melemah, ekspornya bisa positif namun mungkin investasi dan konsumsi akan terpengaruh,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Sri Mulyani memaparkan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% pada 2019 dinilai cukup realistis dari sisi komponen permintaan ataupun dari sisi pasokan. Menurut dia, angka 5,3% ini tidak terlepas dari kinerja ekonomi selama empat tahun ke belakang. Pada 2014–2015, perekonomian Indonesia mengalami tekanan dengan menurunnya harga komoditas secara drastis.
Dari faktor eksternal, terjadi rebalancing perekonomian China dan melemahnya perdagangan internasional. ”Kondisi harga komoditas yang jatuh hingga ke dalam terjadi pada 2014 dan berlanjut hingga 2015-2016. Tahun 2016 sudah mulai muncul pemulihan dari investasi dan ekspor, meskipun masih dalam tahan yang rendah,” paparnya. Pada 2017, dinamika ekspor dan impor menunjukkan arah positif pada paruh kedua.
Hal ini juga yang membuat pada kuartal II/2018 pertumbuhan ekonomi bisa terangkat dan momentum menguat. ”Di semester I/2018, capital flow menurun begitu tajam. Oleh karena itu, melihat hal tersebut di tahun 2019 kami menganggap ada kesempatan untuk menjaga perekonomian namun ekspor dan impor akan lebih balance dan ekspor bisa berkinerja lebih keras dari 2018,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/ 2018 berada pada kisaran 5,13-5,25% yang didukung konsumsi di atas 5%. PMTB pada kuartal II/2018 yang menurun disebabkan dampak dari libur panjang akan kembali naik pada kisaran 6,7- 6,9%. Inflasi tetap terjaga di 3,5%.
Sementara untuk kuartal IV/2018 diproyeksikan berada pada kisaran 5,1-5,3%. Total keseluruhan tahun 2018 diproyeksikan dalam range 5,14% hingga 5,21%. ”Apabila momentum dari konsumsi, investasi, inflasi, ekspor dan impor tetap terjaga, maka kuartal IV sisi risikonya akan semakin menurun dengan adanya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” jelasnya.
Sri Mulyani menuturkan, kenaikan suku bunga dan ketatnya likuiditas dolar memberikan pengaruh psikologis arus modal ke dalam negeri. Pada 2019, asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp14.400 per dolar AS.
Pemerintah tetap mematok kurs rupiah pada angka Rp14.400 dan menerima range yang disampaikan oleh Bank Indonesia (BI) Rp14.300-14.700. ”Kurs ditetapkan Rp14.400, di dalamnya sudah ada implisit dan sudah kredibel untuk jalannya transaksi berjalan,” ungkapnya.
Menurut dia, setiap pelemahan dan penguatan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS akan berdampak pada pendapatan dan belanja negara. ”Apabila kita membuat menjadi Rp14.300 per dolar AS maka penerimaan negara diasumsikan akan turun menjadi Rp2.138 triliun atau turun Rp4,66 triliun, terutama untuk pajak migas karena dia dalam dolar. Sementara dari sisi belanja negara, juga akan turun sebesar Rp3,4 triliun sehingga secara total postur akan turun sebanyak Rp1,26 triliun,” jelanya.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara memperkirakan situasi pasar keuangan tahun depan akan lebih controllable. BI memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS akan terjadi dari level 2% menjadi 3,25%.
”Suku bunga AS akan naik sampai 3,25% walaupun bila dilihat dari pasar keuangan ada yang mengatakan 2,5–3,5%. Namun, dalam proyeksi BI akan naik hingga 3,25%,” ujarnya. Menurutnya, gejolak yang terjadi di global tidak akan sebesar saat suku bunga acuan The Fed naik dari 0,25% menjadi 2%.
Selain itu, rencana Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang akan menaikkan suku bunga acuannya pada 2019 dinilai tidak akan banyak berpengaruh terhadap negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Kenaikan suku bunga Eropa diperkirakan pada semester kedua 2019.
(don)