Jelang Pertemuan Bali, Deloitte Indonesia Gelar Infrastructure CEO Forum

Senin, 17 September 2018 - 21:39 WIB
Jelang Pertemuan Bali,...
Jelang Pertemuan Bali, Deloitte Indonesia Gelar Infrastructure CEO Forum
A A A
JAKARTA - Menjelang pertemuan IMF-World Bank Oktober 2018 di Bali, tiga isu strategis terkait konektivitas, urbanisasi dan infrastruktur mendominasi sebagian besar dinamika regional dan global saat ini.

Memahami urgensi dalam isu strategis tersebut, Deloitte Indonesia berencana menginisiasi forum yang melibatkan berbagai stakeholder bertajuk Deloitte Indonesia Infrastructure CEO Forum 2018.

Forum yang akan diadakan pada 20 September 2018 tersebut merupakan langkah awal menjelang pertemuan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.

Menurut Bernardus R Djonoputro, Country Head of Deloitte Infrastructure & Capital Projects, pertemuan IMF-World Bank di Bali dan fokus pemerintah Indonesia terhadap pembangunan infrastruktur diharapkan akan membuka potensi kerja sama sektor pemerintah dan swasta yang lebih luas.

"Diperkirakan, untuk bidang infrastruktur pada tahun 2016-2030, kawasan Asia akan membutuhkan lebih dari USD22,6 triliun dan kawasan ASEAN membutuhkan pembiayaan sekitar USD2,8 triliun. Kebutuhan tersebut mencakup pembangunan infrastruktur baru serta revitalisasi infrastruktur yang sudah ada," kata Bernardus saat jumpa pers di Kantor Deloitte Indonesia di Jakarta, Senin (17/9/2018).

Dikatakannya, di saat yang sama, sebagai kawasan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia memerlukan investasi sekitar USD511 miliar USD pada 2015-2019. Dana itu dibutuhkan guna mengatasi berbagai tantangan infrastruktur di dalam negeri.

Bernardus mengungkapkan, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu diselesaikan oleh para pemangku kepentingan dan pemerintah dalam momen pertemuan IMF-World Bank. "Yang pertama, mengenai sektor apa saja yang menjadi prioritas dalam urbanisasi di kawasan ASEAN," kata Bernardus.

Saat ini, lanjut dia, tantangan mengundang investasi swasta ke dalam infrastruktur publik memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah. Dari sudut pandang pasar, kawasan ASEAN dan Indonesia saat ini masih dianggap memiliki peluang yang cukup besar. Namun kesadaran akan peluang tersebut memerlukan berbagai tahapan perencanaan dan persiapan proyek yang matang dan menyeluruh.

Isu lain yang perlu diselesaikan terkait infrastruktur ialah mengenai pandangan swasta, maupun investor terhadap berbagai risiko dalam Public Private Partnership (PPP). "Tidak bisa disangkal, saat ini sebagian besar pemerintah di daerah memiliki keterbatasan fiskal dalam melaksanakan proyek-proyek padat modal. Pendapatan publik yang ada hanya mampu menutupi pengeluaran operasional saja. Maka tidak mengherankan sebenarnya perwakilan lokal kebanyakan setuju terhadap keterlibatan sektor swasta dalam menyediakan layanan publik," tutur Bernardus.

Terkait isu risiko dalam PPP, dia mengutarakan, pada dasarnya, setiap proyek kerja sama antara pemerintah dan swasta sekarang ini memerlukan partisipasi aktif dari mitra publik. Dengan adanya partisipasi diharapkan menjadi solusi untuk mengisi kesenjangan dalam kapasitas fiskal yang dihadapi oleh pemerintah.

"Sekarang hanya sedikit proyek PPP yang layak tanpa dukungan teknis atau finansial dari pemerintah. Pembiayaan proyek KPS yang efisien dapat melibatkan penggunaan dukungan pemerintah, untuk memastikan bahwa risiko pemerintah dapat dikelola lebih baik daripada investor swasta dan proyek-proyek tambahan yang secara ekonomi tapi tidak layak secara finansial," katanya seraya menambahkan, dari 15 kota besar di Tanah Air hanya DKI Jakarta yang memiliki kemampuan untuk pembiayaan infrastuktur.

Untuk itu, kata dia, melalui CEO Forum yang membahas tentang berbagai proyek strategis terkait infrastruktur nanti, diharapkan akan ada titik temu antara sektor pemerintah dan swasta yang diperkuat dalam pertemuan IMF-World Bank di bulan Oktober.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1334 seconds (0.1#10.140)