Jokowi Diminta Jelaskan Besarnya Anggaran untuk Perhelatan IMF-WB di Bali
A
A
A
JAKARTA - Munculnya anggapan pertemuan International Monetary Fund (IMF) World Bank (WB) di Bali memboroskan anggaran dinilai karena dua hal.
Pertama, besarnya nilai anggaran total, bukan sekadar untuk pelaksanaan pada hari H yang mendekati Rp1 triliun, melainkan juga karena ada angka berkisar Rp4,9 triliun untuk pembangunan infrastruktur di Bali dalam rangka menunjang pelaksanaan pertemuan IMF-WB.
"Apakah pembangunan infrastruktur atau konstruksi seperti patung GWK, underpass Ngurah Rai, dan pelabuhan Benoa misalnya, memang diperlukan untuk perhelatan sejenis ini? Jika iya, apakah biayanya memang perlu sebesar itu? Sebagai contoh, Peru di 2015 untuk perhelatan seperti ini hanya mengeluarkan setara Rp2 triliunan untuk biaya operasional dan perbaikan fasilitas," kata pengamat politik Manilka Research Herzaky M Putra kepada SINDOnews, Selasa (9/10/2018).
Zaky mengatakan, jika dua pertanyaan di atas bisa dijelaskan dengan baik oleh pemerintah ke masyarakat, tentu anggapan kalau pertemuan ini memboroskan anggaran, bisa reda.
Kedua, lanjut Zaky, kondisi Indonesia yang baru saja ditimpa bencana besar di Palu. Ada fasilitas berlimpah yang diberikan kepada tamu-tamu negara, sementara untuk masyarakat yang dilanda bencana, pemerintah dianggap masih belum optimal.
Misal, beber Zaky, ada penyediaan 30 helikopter dan kapal pesiar untuk para tamu. Di sisi lain, masih ada warga korban bencana yang belum mendapat bantuan karena keterbatasan akses. Di sini seakan-akan pemerintah kurang berempati kepada warga korban bencana.
"Jika ternyata pemerintah telah mengerahkan jumlah helikopter yang sama bahkan lebih untuk warga korban bencana, sebaiknya pemerintah mengkomunikasikannya. Sehingga masyarakat tidak salah tafsir melihat kondisi ini," ucap Zaky.
Zaky menambahkan, dalam etika pergaulan internasional, sangat dipahami bila pertemuan internasional di negara tuan rumah yang baru saja dilanda bencana besar, disesuaikan dengan kondisi terbaru tuan rumah.
Menurut Zaky, negara-negara tamu sangat mungkin memahami kondisi ini dan bisa berempati. Pemerintah bisa melakukan penghematan di pos-pos yang masih memungkinkan direvisi, tapi masih tetap memenuhi standar minimal menjamu tamu internasional.
"Intinya, masyarakat hanya berharap, kesigapan pemerintah dan dana serta fasilitas yang dialokasikan untuk korban bencana bisa lebih baik daripada sekarang. Sehingga anggapan pemerintah malah memprioritaskan anggaran untuk Pertemuan IMF-WB daripada untuk korban bencana bisa ditepis," ucap Zaky.
Pertama, besarnya nilai anggaran total, bukan sekadar untuk pelaksanaan pada hari H yang mendekati Rp1 triliun, melainkan juga karena ada angka berkisar Rp4,9 triliun untuk pembangunan infrastruktur di Bali dalam rangka menunjang pelaksanaan pertemuan IMF-WB.
"Apakah pembangunan infrastruktur atau konstruksi seperti patung GWK, underpass Ngurah Rai, dan pelabuhan Benoa misalnya, memang diperlukan untuk perhelatan sejenis ini? Jika iya, apakah biayanya memang perlu sebesar itu? Sebagai contoh, Peru di 2015 untuk perhelatan seperti ini hanya mengeluarkan setara Rp2 triliunan untuk biaya operasional dan perbaikan fasilitas," kata pengamat politik Manilka Research Herzaky M Putra kepada SINDOnews, Selasa (9/10/2018).
Zaky mengatakan, jika dua pertanyaan di atas bisa dijelaskan dengan baik oleh pemerintah ke masyarakat, tentu anggapan kalau pertemuan ini memboroskan anggaran, bisa reda.
Kedua, lanjut Zaky, kondisi Indonesia yang baru saja ditimpa bencana besar di Palu. Ada fasilitas berlimpah yang diberikan kepada tamu-tamu negara, sementara untuk masyarakat yang dilanda bencana, pemerintah dianggap masih belum optimal.
Misal, beber Zaky, ada penyediaan 30 helikopter dan kapal pesiar untuk para tamu. Di sisi lain, masih ada warga korban bencana yang belum mendapat bantuan karena keterbatasan akses. Di sini seakan-akan pemerintah kurang berempati kepada warga korban bencana.
"Jika ternyata pemerintah telah mengerahkan jumlah helikopter yang sama bahkan lebih untuk warga korban bencana, sebaiknya pemerintah mengkomunikasikannya. Sehingga masyarakat tidak salah tafsir melihat kondisi ini," ucap Zaky.
Zaky menambahkan, dalam etika pergaulan internasional, sangat dipahami bila pertemuan internasional di negara tuan rumah yang baru saja dilanda bencana besar, disesuaikan dengan kondisi terbaru tuan rumah.
Menurut Zaky, negara-negara tamu sangat mungkin memahami kondisi ini dan bisa berempati. Pemerintah bisa melakukan penghematan di pos-pos yang masih memungkinkan direvisi, tapi masih tetap memenuhi standar minimal menjamu tamu internasional.
"Intinya, masyarakat hanya berharap, kesigapan pemerintah dan dana serta fasilitas yang dialokasikan untuk korban bencana bisa lebih baik daripada sekarang. Sehingga anggapan pemerintah malah memprioritaskan anggaran untuk Pertemuan IMF-WB daripada untuk korban bencana bisa ditepis," ucap Zaky.
(ven)