Sri Mulyani: Dana Cadangan Bencana Bikin RI Terpapar Risiko Fiskal
A
A
A
BALI - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, bahwa Indonesia sering terpapar risiko fiskal karena selalu mempersiapkan dana cadangan bencana mencapai sebesar Rp3,1 triliun setiap tahunnya. Seperti diketahui ketika terjadi bencana, Indonesia hanya mengandalkan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
"Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp3,1 triliun. Jurang pembiayaan tersebut menjadi salah satu sebab Indonesia terpapar risiko fiskal akibat bencana alam," ujar Sri Mulyani lewat akun resmi media sosial miliknya di Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Lantaran hal tersebut, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu ingin mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat. Diperlukan juga sebuah strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan (resiliency) terhadap bencana alam, khususnya dari sisi fiskal.
"Fokus terbesar ketika bencana terjadi adalah bagaimana membantu korban, melakukan recovery dan melakukan rekonstruksi. Namun kita jarang sekali membahas soal transfer risiko, termasuk untuk pembiayaan. Pengelolaan bencana menjadi tidak tersinergikan dan terintegrasi," terang dia
Karena itu, Indonesia membuka diri untuk menimba pengalaman dari negara-negara lain mengenai pembiayaan bencana. "Kami ingin belajar dari Filipina yang sudah mengasuransikan gedung-gedung pemerintahan daerah, belajar dari Maroko yang sudah mengasuransikan UMKM dan rumah-rumah penduduk berpenghasilan rendah," paparnya.
"Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp3,1 triliun. Jurang pembiayaan tersebut menjadi salah satu sebab Indonesia terpapar risiko fiskal akibat bencana alam," ujar Sri Mulyani lewat akun resmi media sosial miliknya di Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Lantaran hal tersebut, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu ingin mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat. Diperlukan juga sebuah strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan (resiliency) terhadap bencana alam, khususnya dari sisi fiskal.
"Fokus terbesar ketika bencana terjadi adalah bagaimana membantu korban, melakukan recovery dan melakukan rekonstruksi. Namun kita jarang sekali membahas soal transfer risiko, termasuk untuk pembiayaan. Pengelolaan bencana menjadi tidak tersinergikan dan terintegrasi," terang dia
Karena itu, Indonesia membuka diri untuk menimba pengalaman dari negara-negara lain mengenai pembiayaan bencana. "Kami ingin belajar dari Filipina yang sudah mengasuransikan gedung-gedung pemerintahan daerah, belajar dari Maroko yang sudah mengasuransikan UMKM dan rumah-rumah penduduk berpenghasilan rendah," paparnya.
(akr)