Arab Saudi Tidak Berniat Mengembargo Minyak Ditengah Krisis Khashoggi
A
A
A
RIYADH - Pentolan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) Arab Saudi menyatakan tidak berniat melakukan embargo minyak seperti tahun 1973 terkait kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi. Kematian Khashoggi membuat hubungan antara Kerajaan Arab Saudi dengan Barat menjadi renggang.
Eksportir minyak utama dunia tersebut mendapat tekanan internasional untuk menjelaskan apa yang terjadi pada kematian Khashoggi di Konsulat Arab Saudi di Turki pada 2 Oktober lalu.
Otoritas Turki menyebut Khashoggi dibunuh oleh tim agen Saudi di dalam konsulat dan mengatakan mereka memiliki bukti terkait itu. Khashoggi yang pernah bekerja di Washington Post, kerap mengkritik para pemimpin Saudi.
Sikap kritis dan kematiannya pun santer dikaitkan dengan keterlibatan pangeran mahkota Saudi, Mohammed bin Salman. Namun Kerajaan membantah sang putera mahkota terlibat dalam pembunuhan.
Tekanan internasional terutama Barat soal pembunuhan Khashoggi dianggap akan membuat Arab Saudi menggunakan "senjatanya" yaitu embargo minyak, seperti tahun 1973 ketika Saudi mencengkram pasar minyak untuk membalas Barat atas dukungannya terhadap Israel dalam Perang Yom Kippur 1973 melawan sejumlah negara-negara Arab.
Akibatnya beberapa negara Barat pendukung Israel mengalami kesulitan atas kekurangan minyak mentah, dimana harga minyak melonjak empat kali lipat.
Terkait pengulangan embargo minyak seperti tahun 1973, Menteri Industri dan Energi Kerajaan Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan negaranya tidak ada niat melakukan embargo. "Arab Saudi tidak berniat melakukan embargo minyak ditengah krisis Khashoggi," katanya kepada media Rusia, TASS, Senin (22/10/2018).
Kabar Arab Saudi akan melakukan embargo mencuat setelah anggota parlemen Amerika Serikat meminta pemerintahan Trump menekan Arab Saudi dan menuduh putera mahkota telah mempropagandakan pembunuhan Khashoggi. Namun, mengutip dari CNBC, Senin (22/10), Presiden AS Donald Trump meminta kasus tersebut harus dicermati secara hati-hati.
Beberapa anggota parlemen AS bahkan mengusulkan untuk memberi hukuman sanksi ekonomi terhadap Arab Saudi. Sementara, Riyadh berjanji akan membalas sanksi apa pun dengan "tindakan lebih besar".
Terkait kasus Khashoggi dan kemungkinan balasan, Menteri Khalid menyebut bahwa insiden tersebut akan berlalu. "Insiden ini akan berlalu. Arab Saudi adalah negara yang sangat bertanggung jawab dan kami menggunakan kebijakan minyak kami sebagai alat ekonomi yang bertanggung jawab dan terbebas dari politik," ujarnya.
Khalid menambahkan sebagai menteri energi, dirinya bertugas melakukan peran konstruktif dan bertanggung jawab dari pemerintahan Kerajaan Saudi untuk menstabilkan pasar energi dunia demi pembangunan ekonomi global.
Khalid mengingatkan jika melakukan embargo minyak maka harga minyak dunia akan melonjak dan bisa memicu resesi global. Apalagi harga minyak pada pekan-pekan depan berpotensi meningkat seiring sanksi AS terhadap Iran yang mulai berlaku 4 November depan. Sehingga tidak ada jaminan harga minyak tetap di bawah tiga digit.
"Kami (Arab Saudi) tidak akan melakukan embargo tapi kami tidak dapat memberi jaminan karena kami tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada produsen lain," kata Khalid, ketika ditanya apakah dunia dapat menghindari harga minyak mentah melompat di atas USD100 per barel lagi.
Eksportir minyak utama dunia tersebut mendapat tekanan internasional untuk menjelaskan apa yang terjadi pada kematian Khashoggi di Konsulat Arab Saudi di Turki pada 2 Oktober lalu.
Otoritas Turki menyebut Khashoggi dibunuh oleh tim agen Saudi di dalam konsulat dan mengatakan mereka memiliki bukti terkait itu. Khashoggi yang pernah bekerja di Washington Post, kerap mengkritik para pemimpin Saudi.
Sikap kritis dan kematiannya pun santer dikaitkan dengan keterlibatan pangeran mahkota Saudi, Mohammed bin Salman. Namun Kerajaan membantah sang putera mahkota terlibat dalam pembunuhan.
Tekanan internasional terutama Barat soal pembunuhan Khashoggi dianggap akan membuat Arab Saudi menggunakan "senjatanya" yaitu embargo minyak, seperti tahun 1973 ketika Saudi mencengkram pasar minyak untuk membalas Barat atas dukungannya terhadap Israel dalam Perang Yom Kippur 1973 melawan sejumlah negara-negara Arab.
Akibatnya beberapa negara Barat pendukung Israel mengalami kesulitan atas kekurangan minyak mentah, dimana harga minyak melonjak empat kali lipat.
Terkait pengulangan embargo minyak seperti tahun 1973, Menteri Industri dan Energi Kerajaan Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan negaranya tidak ada niat melakukan embargo. "Arab Saudi tidak berniat melakukan embargo minyak ditengah krisis Khashoggi," katanya kepada media Rusia, TASS, Senin (22/10/2018).
Kabar Arab Saudi akan melakukan embargo mencuat setelah anggota parlemen Amerika Serikat meminta pemerintahan Trump menekan Arab Saudi dan menuduh putera mahkota telah mempropagandakan pembunuhan Khashoggi. Namun, mengutip dari CNBC, Senin (22/10), Presiden AS Donald Trump meminta kasus tersebut harus dicermati secara hati-hati.
Beberapa anggota parlemen AS bahkan mengusulkan untuk memberi hukuman sanksi ekonomi terhadap Arab Saudi. Sementara, Riyadh berjanji akan membalas sanksi apa pun dengan "tindakan lebih besar".
Terkait kasus Khashoggi dan kemungkinan balasan, Menteri Khalid menyebut bahwa insiden tersebut akan berlalu. "Insiden ini akan berlalu. Arab Saudi adalah negara yang sangat bertanggung jawab dan kami menggunakan kebijakan minyak kami sebagai alat ekonomi yang bertanggung jawab dan terbebas dari politik," ujarnya.
Khalid menambahkan sebagai menteri energi, dirinya bertugas melakukan peran konstruktif dan bertanggung jawab dari pemerintahan Kerajaan Saudi untuk menstabilkan pasar energi dunia demi pembangunan ekonomi global.
Khalid mengingatkan jika melakukan embargo minyak maka harga minyak dunia akan melonjak dan bisa memicu resesi global. Apalagi harga minyak pada pekan-pekan depan berpotensi meningkat seiring sanksi AS terhadap Iran yang mulai berlaku 4 November depan. Sehingga tidak ada jaminan harga minyak tetap di bawah tiga digit.
"Kami (Arab Saudi) tidak akan melakukan embargo tapi kami tidak dapat memberi jaminan karena kami tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada produsen lain," kata Khalid, ketika ditanya apakah dunia dapat menghindari harga minyak mentah melompat di atas USD100 per barel lagi.
(ven)