Alih Lahan Rawa Jadi Area Tanam Produktif Bisa Ganggu Ekosistem
A
A
A
JAKARTA - Program alih lahan rawa untuk menjadi pertanaman produktif dinilai bertentangan dengan regulasi. Salah satunya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada pula Peraturan No. 73 Tahun 2013 Tentang Rawa yang harus diperhatikan.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mengatakan, program alih lahan rawa menjadi bukti hilangnya kendali atas lahan pertanian. Di sisi lain program alih lahan rawa juga disebutkan bisa menganggu ekosistem, bahkan rawan menimbulkan bencana ekonogis di Indonesia.
“Jadi program ini semakin menunjukan tidak adanya kuasa terhadap lahan pertanian sendiri sehingga memaksa untuk mencari lahan residu atau lahan yang masih tersisa. Makanya mencari rawa dinilai bisa ditanami oleh komoditas padi,” kata Merah, di Jakarta.
Lebih lanjut, Ia menambahkan terdapat risiko besar apabila program alih lahan ini berlanjut. “Kita tahu rawa itu punya fungsi sendiri. Kalau dialih fungsikan kita akan tanggung resikonnya. Makanya pemerintah perlu melakukan evaluasi,” tandasnya.
Rusak Keseimbangan
Sementara Pengamat pertanian UGM, Jangkung Handoyo Mulyo menyatakan, kebijakan pengembangan lahan rawa sebagai lahan pertanian produktif jangan sampai merusak ekosistem. Pasalnya, keberadaan lahan-lahan rawa atau gambut sejatinya juga memiliki peran dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan iklim.
"Keberadaan gambut dan rawa pasti punya peran dalam siklus ekosistem. Jadi tidak boleh semua (rawa dan gambut) dimanfaatkan untuk itu (lahan pertanian). Keseimbangan ekosistem harus dipertimbangkan," kata Jangkung.
Dikatakan olehnya, untuk merealisasikan hal itu diperlukan perlakuan-perlakuan khusus, mengingat adanya perbedaan jenis dan tingkat kesuburan tanah. Oleh karenanya, diperlukan juga varietas padi yang cocok untuk tanah rawa. "Pemanfaatannya dimungkinkan, tapi jangan dibayangkan produktifitas dan kesuburannya akan sama dengan lawan sawah irigasi pada umumnya," jelasnya.
Untuk itu dia menegaskan, Kementan perlu melakukan riset lebih dalam untuk menentukan lahan rawa mana saja yang dapat dimanfaatkan. Di kesempatan terpisah, pengamat lingkungan hidup Tarsoen Waryono mengakui, lahan sawah di wilayah perkotaan semakin berkurang luasannya karena pengembangan wilayah. Sehingga banyak sawah-sawah yang dialih fungsikan menjadi pemukiman, mall, industri dan lainnya. Diakuinya, untuk pertanian rawa tidaklah mudah.
“Kadangkala memerlukan beberapa perlakuan, keterkaitannya dengan pengaturan tata air (irigasi teknis) karena ada rawa yang dipengaruhi oleh air rob, tanahnya terlalu asam, sehingga perlu pengapuran (dolomit) untuk menaikan pH (keasaman tanah) agar menjadi basa, juga kadangkala ada yang tanahnya mudah terbakar pada musim kemarau seperti yang terjadi pada tanah-tanah gambut,” tuturnya.
Tarsoen mengatakan, kendala-kendala itu dapat diatasi tapi tidak mudah. Ia mengakui, perubahan rawa air tawar dan atau lahan gambut menjadi lahan pertanian sawah, memang merubah ekosistem.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mengatakan, program alih lahan rawa menjadi bukti hilangnya kendali atas lahan pertanian. Di sisi lain program alih lahan rawa juga disebutkan bisa menganggu ekosistem, bahkan rawan menimbulkan bencana ekonogis di Indonesia.
“Jadi program ini semakin menunjukan tidak adanya kuasa terhadap lahan pertanian sendiri sehingga memaksa untuk mencari lahan residu atau lahan yang masih tersisa. Makanya mencari rawa dinilai bisa ditanami oleh komoditas padi,” kata Merah, di Jakarta.
Lebih lanjut, Ia menambahkan terdapat risiko besar apabila program alih lahan ini berlanjut. “Kita tahu rawa itu punya fungsi sendiri. Kalau dialih fungsikan kita akan tanggung resikonnya. Makanya pemerintah perlu melakukan evaluasi,” tandasnya.
Rusak Keseimbangan
Sementara Pengamat pertanian UGM, Jangkung Handoyo Mulyo menyatakan, kebijakan pengembangan lahan rawa sebagai lahan pertanian produktif jangan sampai merusak ekosistem. Pasalnya, keberadaan lahan-lahan rawa atau gambut sejatinya juga memiliki peran dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan iklim.
"Keberadaan gambut dan rawa pasti punya peran dalam siklus ekosistem. Jadi tidak boleh semua (rawa dan gambut) dimanfaatkan untuk itu (lahan pertanian). Keseimbangan ekosistem harus dipertimbangkan," kata Jangkung.
Dikatakan olehnya, untuk merealisasikan hal itu diperlukan perlakuan-perlakuan khusus, mengingat adanya perbedaan jenis dan tingkat kesuburan tanah. Oleh karenanya, diperlukan juga varietas padi yang cocok untuk tanah rawa. "Pemanfaatannya dimungkinkan, tapi jangan dibayangkan produktifitas dan kesuburannya akan sama dengan lawan sawah irigasi pada umumnya," jelasnya.
Untuk itu dia menegaskan, Kementan perlu melakukan riset lebih dalam untuk menentukan lahan rawa mana saja yang dapat dimanfaatkan. Di kesempatan terpisah, pengamat lingkungan hidup Tarsoen Waryono mengakui, lahan sawah di wilayah perkotaan semakin berkurang luasannya karena pengembangan wilayah. Sehingga banyak sawah-sawah yang dialih fungsikan menjadi pemukiman, mall, industri dan lainnya. Diakuinya, untuk pertanian rawa tidaklah mudah.
“Kadangkala memerlukan beberapa perlakuan, keterkaitannya dengan pengaturan tata air (irigasi teknis) karena ada rawa yang dipengaruhi oleh air rob, tanahnya terlalu asam, sehingga perlu pengapuran (dolomit) untuk menaikan pH (keasaman tanah) agar menjadi basa, juga kadangkala ada yang tanahnya mudah terbakar pada musim kemarau seperti yang terjadi pada tanah-tanah gambut,” tuturnya.
Tarsoen mengatakan, kendala-kendala itu dapat diatasi tapi tidak mudah. Ia mengakui, perubahan rawa air tawar dan atau lahan gambut menjadi lahan pertanian sawah, memang merubah ekosistem.
(akr)