Tidak Bisa Dihindari, Mata Uang Digital Sudah di Depan Mata

Senin, 19 November 2018 - 15:15 WIB
Tidak Bisa Dihindari, Mata Uang Digital  Sudah di Depan Mata
Tidak Bisa Dihindari, Mata Uang Digital Sudah di Depan Mata
A A A
JAKARTA - Dunia telah cepat berubah. Kebutuhan uang tunai makin berkurang seiring pesatnya pertumbuhan uang digital dan mata uang digital yang terbukti lebih praktis, aman, dan efisien. Siapkah Indonesia akan perubahan-perubahan ini?

Di sejumlah negara, mata uang digital sudah menjadi kebutuhan tak terelakkan. China, Kanada, Swedia, dan Uruguay misalnya saat ini menerapkan perubahan dan pemikiran baru untuk menyuplai mata uang digital ke publik. Bank sentral Swedia, Riks bank, bahkan merencanakan versi perdana mata uang digital yang disebut e-krona pada 2019.

Data Riksbank menunjukkan bahwa warga Swedia termasuk salah satu masyarakat yang paling sedikit menggunakan uang tunai di dunia. Tercatat hanya 13% warganya menggunakan uang tunai untuk sebagian besar pembelian terbaru di toko.

Publik dunia kini tak terasa juga makin dimanjakan dengan kehadiran uang elektronik (e-money ) yang dihadirkan para penyedia metode pembayaran. Di Indonesia misalnya bermunculan uang elektronik Go-Pay, OVO, DOKUm, T-Cash dan LINE Pay. Di China dikenal Ali Pay dan WeChat, India dengan Pay TM, dan Kenya dengan M-Pesa. Perkembangan uang digital pun tak sekadar nontunai (cashless).

Kemajuan teknologi juga memunculkan mata uang kripto (crypto cur rency). Penggunaan mata uang digital secara aman juga mengemuka pada The Bali Fintech Agenda yang diluncurkan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Bali, Oktober lalu.

Pekan lalu saat Singapore Fintech Festival, Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde kembali mengingatkan kepada bank-bank sentral di dunia untuk merespons perkembangan teknologi dengan baik. Lagarde meminta bank sentral seperti halnya Bank Indonesia (BI) mempertimbangkan untuk menerbitkan mata uang digital saat uang menghadapi titik balik bersejarah.

Menurutnya, saat ini permintaan untuk uang tunai berkurang di berbagai penjuru dunia. Pada kondisi ini bank sentral memiliki peran menyuplai uang untuk ekonomi digital.

“Saya yakin bahwa kita harus mempertimbangkan kemungkinan mengeluarkan mata uang digital,” kata Lagarde seperti di lansir CNBC. Tabungan yang saat ini disimpan di perbankan komersial telah berbentuk digital. “Namun mata uang digital mungkin bisa didukung oleh pemerintah dengan cara yang sama uang tunai saat ini,” tandasnya.

Dorongan Lagarde tak berlebihan. Bagi dia, mata uang digital yang didukung bank sentral dapat membantu mempromosikan inklusi keuangan, keamanan, dan privasi dalam pembayaran sebagai alternatif yang murah dan efisien dibandingkan mata uang kertas. Meski demikian dia mewanti-wanti soal berbagai risiko bagi stabilitas dan inovasi keuangan.

“Pesansaya ialah meski kasus untuk mata uang digital itu tidak universal, kita harus menyelidiki lebih lanjut, secara serius, hati-hati, dan kreatif,” ujarnya. IMF menilai mata uang digital dapat berbentuk token yang didukung negara atau melalui rekening yang dipegang langsung di bank sentral.

Mata uang kripto seperti Bitcoin di sisi lain juga menawarkan pilihan desentralisasi sehingga tidak perlu dikontrol oleh otoritas pusat. Namun Lagarde belum yakin sepenuhnya dengan mata uang kripto yang bertumpu pada kepercayaan atas teknologi.

“Regulasi yang lebih baik pada entitas ini akan tetap menjadi pilar kepercayaan,” tutur Lagarde. Bahkan mata uang kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan Ripple mendapat porsi di dunia tanpa uang tunai (cashless ) yang terus memperbarui diri mereka sendiri dengan harapan menawarkan nilai lebih stabil dan lebih cepat, lebih murah. Lagarde menambahkan, di dunia teknologi keuangan (fintech), negara harus memanfaatkan perubahan sehingga adil, aman, efisien, dan dinamis. Hal ini juga menjadi tujuan dari Bali Fintech Agenda bulan lalu.

Eksperimen dan Mitigasi

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengungkapkan, saat ini 99% uang yang beredar di Indonesia masih berbentuk fisik dan masih sedikit yang menggunakan transaksi cash less. Uang digital tentunya punya banyak keunggulan seperti menghemat biaya cetak uang, kecepatan transaksi, dan administrasi lebih tercatat dengan baik.

“Sehingga mengurangi potensi korupsi dan menurunkan peredaran uang palsu,” ujarnya. Namun, catatannya, uang digital yang dikeluarkan bank sentral harus terjamin keamanannya dari fraud atau serangan hacker. Selain itu harus bisa digunakan secara luas baik di seluruh transaksi keuangan maupun luar negeri.

Pengamat ekonomi dari UGM Muhammad Edhie Purnawan menuturkan, mata uang digital dari bank sentral di masa depan akan menyediakan instrumen baru kebijakan moneter modern dan mempercepat inklusi keuangan. Memasuki era milenium ini, tandas Edhie, dunia berubah.

Satu-satunya yang tetap adalah perubahan itu sendiri. “Dan teknologi telah mengambil peran yang sedemikian dominan dalam kehidupan kita, termasuk teknologi mata uang yang dikeluarkan bank sentral,” katanya. Menurut Edhi, apa yang disampaikan Christine Lagarde dalam Singapore Fintech Festival cukup masuk akal.

Bank sentral-bank sentral dunia perlu secara sangat serius setelah meneliti mencobakan hasil penelitiannya tentang Centrak Bank Digital Currency (CBDC) seperti dalam sebuah arena sand-box secara terbatas. Eksperimen-eksperimen yang maju sangat diperlukan dan amat-sangat penting untuk mempersiapkan segala sesuatunya tentang berlakunya mata uang digital dari bank sentral di masa depan dengan desain teknologi yang mengikuti perkembangan terbaru tentang teknologi informasi. “Sekali lagi, karena mata uang digital ini adalah sesuatu yang tak terhindarkan, pasti akan terjadi,” tandasnya.

Menurut dia, siapa yang sangat kuat melakukan eksperimen-eksperimen mata uang bank sentral dengan teknologi paling maju, dialah yang akan menang dalam pasar masa depan. “Karena untuk kasus ini, bagi bank sentral berlaku konsep first mover advantage, siapa yang jalan duluan, dialah yang akan memimpin,” ucapnya.

Tentu mitigasi faktor risiko dan kerumitan sistem dan manajemen teknologi harus menjadi prioritas utama untuk di prioritaskan. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai, fenomena uang digital khususnya crypto currency yang saat ini tengah berlangsung menyiratkan bahwa dunia tengah memasuki masa peralihan menuju digital money yang bahkan bisa diterbitkan lembaga yang tidak diketahui.

Digital money adalah keniscayaan. Bank-bank sentral harus lebih proaktif menyongsong era uang digital. Dia menuturkan, yang perlu dipahami uang digital bukan sekadar cashless. Ketua Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengingatkan, ada dua istilah dalam tren digital, yaitu uang digital seperti e-money dan mata uang di gital seperti Bitcoin.

Untuk mengembangkan ekosistem uang di gital bisa jadi tidak memerlukan ekosistem mata uang digital karena tetap menggunakan mata uang yang sama. Uang digital di Indonesia diprediksi akan tumbuh terus dan diharapkan pada 2020 masuk level matang.

“Mata uang digital seperti Bitcoin juga bagian dari uang digital,” ujar Heru kemarin. Untuk uang digital Indonesia belum siap secara infrastruktur meski sudah mulai dipakai dan bahkan ada yang menginvestasikan. Walau secara aturan mata uang resmi di Indonesia adalah rupiah, tidak berarti bank sentral hanya berpangku tangan terhadap perkembangan mata uang digital. Dikha watirkan, jika tidak dilakukan percepatan regulasi dan infrastruktur, nantinya masyarakat dan industri bisa jadi korban.

“Contohnya dalam investasi uang kripto atau juga penggunaan uang digital oleh wisataan yang disebut dengan turis zero dolar,” ujarnya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3386 seconds (0.1#10.140)