Data Kemiskinan Kerap Jadi Gorengan Politik, Ini Kata Kepala BPS
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto angkat bicara mengenai data dan angka kemiskinan Indonesia keluaran BPS yang kerap dijadikan gorengan politik jelang pemilihan umum (Pemilu). Bahkan, beberapa pihak sampai meragukan data yang dikeluarkan oleh lembaga statistik negara tersebut.
Dia mengatakan, pernyataan yang dikeluarkan oleh tim dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) seharusnya berdasarkan data yang valid dan lebih menyentuh substansif. Bukan justru pernyataan kosong dan menggiring opini negatif dari publik.
"Kita jelaskan berulang bahwa ketika ada capaian kita bilang capaian. Tapi kedepan saya pinginlah diskusi disana itu didasarkan pada data yang valid dan lebih menyentuh pada substansi. Tidak pada statement yang isinya kosong tapi menggiring ke hal yang menurut saya kurang produktif," katanya di sela Workshop Peningkatan Wawasan Statistik Kepada Media di Sentul, Bogor, Sabtu (24/11/2018).
Pria yang akrab disapa Kecuk ini menjelaskan, BPS menghitung angka kemiskinan sejak 1976. Metodologinya pun tidak berubah dan mengacu pada arahan Internasional. "Tidak hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga Thailand dan Vietnam. Semua mengacu pada kebutuhan dasar," imbuh dia.
Jelang tahun politik, tambah Kecuk, menjadi hal yang wajar berbagai data dipandang dari sudut pandang yang berbeda-beda. Namun, dia memastikan bahwa BPS tetap independen dan tidak memihak ke salah satu paslon.
"Yang jadi goreng-gorengan itu garis kemiskinan yang sekitar 380. Itu kan per kapita. Tapi kalau menghitung garis kemiskinan dikali jumlah anggota rumah tangga, tinggi sebenarnya. Garis kemiskinannya DKI hampir 3 juta. Di NTT bahkan lebih tinggi dari Jogja. Ya karena tahun politik cara menyampaikannya dari sudut pandang yang berbeda. Tapi BPS melihatnya tetap objektif," tandasnya.
Dia mengatakan, pernyataan yang dikeluarkan oleh tim dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) seharusnya berdasarkan data yang valid dan lebih menyentuh substansif. Bukan justru pernyataan kosong dan menggiring opini negatif dari publik.
"Kita jelaskan berulang bahwa ketika ada capaian kita bilang capaian. Tapi kedepan saya pinginlah diskusi disana itu didasarkan pada data yang valid dan lebih menyentuh pada substansi. Tidak pada statement yang isinya kosong tapi menggiring ke hal yang menurut saya kurang produktif," katanya di sela Workshop Peningkatan Wawasan Statistik Kepada Media di Sentul, Bogor, Sabtu (24/11/2018).
Pria yang akrab disapa Kecuk ini menjelaskan, BPS menghitung angka kemiskinan sejak 1976. Metodologinya pun tidak berubah dan mengacu pada arahan Internasional. "Tidak hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga Thailand dan Vietnam. Semua mengacu pada kebutuhan dasar," imbuh dia.
Jelang tahun politik, tambah Kecuk, menjadi hal yang wajar berbagai data dipandang dari sudut pandang yang berbeda-beda. Namun, dia memastikan bahwa BPS tetap independen dan tidak memihak ke salah satu paslon.
"Yang jadi goreng-gorengan itu garis kemiskinan yang sekitar 380. Itu kan per kapita. Tapi kalau menghitung garis kemiskinan dikali jumlah anggota rumah tangga, tinggi sebenarnya. Garis kemiskinannya DKI hampir 3 juta. Di NTT bahkan lebih tinggi dari Jogja. Ya karena tahun politik cara menyampaikannya dari sudut pandang yang berbeda. Tapi BPS melihatnya tetap objektif," tandasnya.
(akr)