Pembatasan Penjualan Senjata ke Saudi dan Dampak Indhan AS
A
A
A
WASHINGTON - Kongres Amerika Serikat mempertimbangkan untuk membatasi penjualan senjata ke Kerajaan Arab Saudi. Pertimbangan tersebut seiring kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi dan perang yang dilakukan Saudi di Yaman.
Arab Saudi sendiri dikenal sebagai mitra utama Amerika Serikat di Timur Tengah dan yang paling gandrung membeli senjata buatan Abang Sam. Kegemaran Saudi membeli mesin perang buatan AS, merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga hubungan kedua negara.
Pada akhir Maret 2018, Putera Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman melakukan pertemuan khusus dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, untuk meningkatkan belanja militer Saudi.
Menurut laporan dari Stockholm International Peace Research Institute, Arab Saudi merupakan pembeli senjata nomor satu dari AS. Tahun 2017, Saudi berkontribusi 18% dari total penjualan senjata Amerika atau sebesar USD9 miliar atau setara Rp130 triliun (estimasi kurs Rp14.474 per USD).
Dengan adanya rencana pembatasan di atas, dinilai akan berisiko pada keuangan industri pertahanan (indhan) Amerika. Melansir dari CNBC, Selasa (27/11/2018), analis bidang pertahanan Cowen Research menilai pembatasan tidak akan berpengaruh besar bagi keuangan perusahaan-perusahaan pertahanan AS.
"Memang perusahaan pemasok utama senjata ke Saudi seperti Lockheed Martin memiliki eksposur besar. Tetapi dampaknya (pembatasan) relatif kecil terhadap bisnis perusahaan. Jadi pembatasan ini tidak akan berpengaruh besar bagi perusahaan pertahanan AS," tulis para analis dari Cowen Research.
Kalkulasi Cowen Research, jika Kongres jadi memberlakukan pembatasan penjualan senjata ke Saudi, dampaknya hanya berkurang sekitar 2% dari penjualan bisnis Lockheed Martin, Raytheon, Boeing dan General Dynamics.
Berikut uraian tentang dampak pembatasan penjualan senjata ke Saudi terhadap perusahaan pertahanan Amerika.
Lockheed Martin
Perusahaan yang bermarkas di Negara Bagian Maryland, AS, ini memiliki eksposur paling besar ke Kerajaan Saudi. Maklum, perusahaan ini menjual senjata dari rudal, pesawat tempur, pesawat pembom, helikopter hingga kapal perang. Selain memasok senjata ke Pentagon, Lockheed Martin memandang Arab Saudi adalah pembeli yang royal.
Tahun ini saja, Lockheed Martin telah mengantongi USD400 juta alias Rp5,78 triliun dari penjualan senjata ke Saudi. Tahun depan, mereka menargetkan mengumpulkan USD900 juta (Rp13 triliun) dari penjualan senjata ke Saudi.
Dalam sebuah kesepakatan yang dilaporkan, perusahan pertahanan ini akan menjual sistem rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) senilai USD15 miliar atau setara Rp217 triliun. Pangeran Mohammed bin Salman dikabarkan sangat tertarik dengan sistem rudal THAAD.
Selain sistem rudal THAAD, Kerajaan Arab Saudi juga ingin membeli rudal Pac-3, helikopter Black Hawk, munisi, pesawat C-130 dan kapal perang litoral. Jika Kongres melakukan pembatasan, maka Lockheed Martin akan kehilangan 1,5% penjualan di tahun 2019.
Raytheon
Perusahaan yang bermarkas di Negara Bagian Massachusetts ini, dikenal sebagai pemasok terbesar dalam sistem pertahanan Saudi. Merupakan industri pertahanan terbesar kelima di dunia. Memproduksi sistem pertahanan udara dan rudal.
Kerajaan Arab Saudi menginginkan sistem rudal Patriot, radar TYP-2 yang digunakan oleh sistem rudal THAAD Lockheed Martin, dan pencegat rudal dari Raytheon. Dengan pembatasan penjualan ke Saudi, maka akan mengurangi penjualan Raytheon hingga 5% di tahun 2019. Raytheon dikabarkan akan melakukan perlawanan terhadap Kongres.
Namun menurut catatan Cowen Research, pembatasan penjualan akan terjadi pada munisi dan rudal. Artinya akan ada risiko sekitar USD500 juta atau Rp7,23 triliun atau kurang dari 2% dari total penjualan Raytheon.
Boeing
Mirip dengan Lockheed Martin, Boeing banyak menjual beragam senjata ke Arab Saudi. Perusahaan kedirgantaraan terbesar di dunia kerap mengirim jet F-15, helikopter Apache dan Chinook, serta sejumlah munisi ke Saudi. Boeing merupakan penjual senjata terbesar ke Saudi dengan nilai USD1,7 miliar atau Rp24,60 triliun.
Hanya saja analisa Cowen, program terbesar Boeing yaitu pengiriman jet F-15 yang bernilai USD1 miliar, sudah hampir selesai dan akan serah terima secara keseluruhan pada 2019. Artinya tidak berdampak terlalu besar. "Jadi paling berkurang 1,5% dari total penjualan," tulis mereka.
General Dynamics
Perusahaan berbasis di Negara Bagian Virginia ini, dikenal karena kesuksesannya dengan produk F-16 dan tank M1 Abrams. General Dynamics memiliki kontrak multiyear dengan Kerajaan Saudi untuk pengiriman 100 unit tank M1 A1 Abrams. Kesepakatan tersebut menghasilkan nilai USD1,3 miliar alias Rp18,81 triliun.
Selain dengan General Dynamics, Arab Saudi juga melakukan kontrak pembelian kendaraan tempur dari Kanada. Hingga tahun 2024, kontrak mencapai USD5,9 miliar alias Rp85,3 triliun.
Arab Saudi sendiri dikenal sebagai mitra utama Amerika Serikat di Timur Tengah dan yang paling gandrung membeli senjata buatan Abang Sam. Kegemaran Saudi membeli mesin perang buatan AS, merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga hubungan kedua negara.
Pada akhir Maret 2018, Putera Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman melakukan pertemuan khusus dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, untuk meningkatkan belanja militer Saudi.
Menurut laporan dari Stockholm International Peace Research Institute, Arab Saudi merupakan pembeli senjata nomor satu dari AS. Tahun 2017, Saudi berkontribusi 18% dari total penjualan senjata Amerika atau sebesar USD9 miliar atau setara Rp130 triliun (estimasi kurs Rp14.474 per USD).
Dengan adanya rencana pembatasan di atas, dinilai akan berisiko pada keuangan industri pertahanan (indhan) Amerika. Melansir dari CNBC, Selasa (27/11/2018), analis bidang pertahanan Cowen Research menilai pembatasan tidak akan berpengaruh besar bagi keuangan perusahaan-perusahaan pertahanan AS.
"Memang perusahaan pemasok utama senjata ke Saudi seperti Lockheed Martin memiliki eksposur besar. Tetapi dampaknya (pembatasan) relatif kecil terhadap bisnis perusahaan. Jadi pembatasan ini tidak akan berpengaruh besar bagi perusahaan pertahanan AS," tulis para analis dari Cowen Research.
Kalkulasi Cowen Research, jika Kongres jadi memberlakukan pembatasan penjualan senjata ke Saudi, dampaknya hanya berkurang sekitar 2% dari penjualan bisnis Lockheed Martin, Raytheon, Boeing dan General Dynamics.
Berikut uraian tentang dampak pembatasan penjualan senjata ke Saudi terhadap perusahaan pertahanan Amerika.
Lockheed Martin
Perusahaan yang bermarkas di Negara Bagian Maryland, AS, ini memiliki eksposur paling besar ke Kerajaan Saudi. Maklum, perusahaan ini menjual senjata dari rudal, pesawat tempur, pesawat pembom, helikopter hingga kapal perang. Selain memasok senjata ke Pentagon, Lockheed Martin memandang Arab Saudi adalah pembeli yang royal.
Tahun ini saja, Lockheed Martin telah mengantongi USD400 juta alias Rp5,78 triliun dari penjualan senjata ke Saudi. Tahun depan, mereka menargetkan mengumpulkan USD900 juta (Rp13 triliun) dari penjualan senjata ke Saudi.
Dalam sebuah kesepakatan yang dilaporkan, perusahan pertahanan ini akan menjual sistem rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) senilai USD15 miliar atau setara Rp217 triliun. Pangeran Mohammed bin Salman dikabarkan sangat tertarik dengan sistem rudal THAAD.
Selain sistem rudal THAAD, Kerajaan Arab Saudi juga ingin membeli rudal Pac-3, helikopter Black Hawk, munisi, pesawat C-130 dan kapal perang litoral. Jika Kongres melakukan pembatasan, maka Lockheed Martin akan kehilangan 1,5% penjualan di tahun 2019.
Raytheon
Perusahaan yang bermarkas di Negara Bagian Massachusetts ini, dikenal sebagai pemasok terbesar dalam sistem pertahanan Saudi. Merupakan industri pertahanan terbesar kelima di dunia. Memproduksi sistem pertahanan udara dan rudal.
Kerajaan Arab Saudi menginginkan sistem rudal Patriot, radar TYP-2 yang digunakan oleh sistem rudal THAAD Lockheed Martin, dan pencegat rudal dari Raytheon. Dengan pembatasan penjualan ke Saudi, maka akan mengurangi penjualan Raytheon hingga 5% di tahun 2019. Raytheon dikabarkan akan melakukan perlawanan terhadap Kongres.
Namun menurut catatan Cowen Research, pembatasan penjualan akan terjadi pada munisi dan rudal. Artinya akan ada risiko sekitar USD500 juta atau Rp7,23 triliun atau kurang dari 2% dari total penjualan Raytheon.
Boeing
Mirip dengan Lockheed Martin, Boeing banyak menjual beragam senjata ke Arab Saudi. Perusahaan kedirgantaraan terbesar di dunia kerap mengirim jet F-15, helikopter Apache dan Chinook, serta sejumlah munisi ke Saudi. Boeing merupakan penjual senjata terbesar ke Saudi dengan nilai USD1,7 miliar atau Rp24,60 triliun.
Hanya saja analisa Cowen, program terbesar Boeing yaitu pengiriman jet F-15 yang bernilai USD1 miliar, sudah hampir selesai dan akan serah terima secara keseluruhan pada 2019. Artinya tidak berdampak terlalu besar. "Jadi paling berkurang 1,5% dari total penjualan," tulis mereka.
General Dynamics
Perusahaan berbasis di Negara Bagian Virginia ini, dikenal karena kesuksesannya dengan produk F-16 dan tank M1 Abrams. General Dynamics memiliki kontrak multiyear dengan Kerajaan Saudi untuk pengiriman 100 unit tank M1 A1 Abrams. Kesepakatan tersebut menghasilkan nilai USD1,3 miliar alias Rp18,81 triliun.
Selain dengan General Dynamics, Arab Saudi juga melakukan kontrak pembelian kendaraan tempur dari Kanada. Hingga tahun 2024, kontrak mencapai USD5,9 miliar alias Rp85,3 triliun.
(ven)