Pangsa Ekspor Produk Halal RI Masih Tertinggal dari Malaysia
A
A
A
SURABAYA - Pangsa ekspor produk halal Indonesia saat ini baru mencapai 10,7%. Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Indonesia masih tertinggal, di mana pangsa ekspor halal Negeri Jiran itu telah mencapai 13,8%.
"Kalau dibandingkan negara-negara Organization of Islamic Cooperation (OIC), market share kita baru 10,7%. Malaysia itu nomor satu, tapi Indonesia masih ada potensi besar dalam negeri karena kita negara muslim," kata Staf Ahli Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Amalia Adininggar di Indonesia Shari'a Economic Festival (ISEF) 2018 di Surabaya, Kamis (13/12/2018).
Indonesia, kata Amalia, mempunyai peluang pasar untuk menjadi pasar halal yang lebih luas lagi. Namun, hal itu tentunya perlu diimbangi dengan pengembangan dan penyusunan kerangka kerja halal value chain Indonesia.
Saat halal value chain dibangun, kata dia, maka dapat mendorong peluang ekonomi di setiap rantai suplai termasuk nantinya pengembangan Islamic financing. "Karena, untuk mengembangkan proses produksi halal mulai dari bahan mentah sampai dengan konsumen itu perlu ada garansi, nanti Islamic financing nanti bisa masuk ke sana," ujar Amalia.
Menurut dia, halal value chain nantinya akan menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi. Peluang ekspor pun akan lebih besar dan kesadaran dari produk halal, tidak hanya di domestik melainkan juga di tingkat internasional. "Jadi jangan sampai ada negara lain yang ambil peluang ini," tegasnya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menambahkan, potensi dan pertumbuhan industri halal global sangat besar. Banyak perusahaan saat ini telah mengadopsi teknologi blockchain untuk memastikan kepatuhan halal, pembayaran halal atau melacak produk halal dari fasilitas manufaktur ke pengecer.
"Dengan demikian, mengembangkan rantai nilai halal juga tidak dapat dipisahkan dengan teknologi dan inovasi. Semakin inovatif industri, semakin kuat ekonomi suatu negara," beber Dody.
Akan tetapi, kata dia, menciptakan rantai nilai halal yang kuat tidak bisa hanya meninggalkan pasar menjadi inovatif sendiri. Kompleksitas rantai nilai halal global juga perlu didukung oleh kebijakan yang kuat dari lembaga ekonomi tingkat tinggi.
Baru-baru ini BI pun telah mengambil bagian dalam mengembangkan industri halal dengan mengusulkan suatu model rantai nilai halal yang menghidupi pesantren dan usaha kecil menengah (UKM) untuk memperluas industri keuangan Islam dan ekonomi Islam di Indonesia.
BI juga mendorong pelaku local value chain usaha syariah domestik untuk memasuki pasar ekspor agar mampu mengendalikan pasar global. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ekspor sekaligus sebagai produk substitusi dari impor.
"lni diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru sekaligus dapat menjawab permasalahan CAD (current acount deficit)," tandasnya.
"Kalau dibandingkan negara-negara Organization of Islamic Cooperation (OIC), market share kita baru 10,7%. Malaysia itu nomor satu, tapi Indonesia masih ada potensi besar dalam negeri karena kita negara muslim," kata Staf Ahli Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Amalia Adininggar di Indonesia Shari'a Economic Festival (ISEF) 2018 di Surabaya, Kamis (13/12/2018).
Indonesia, kata Amalia, mempunyai peluang pasar untuk menjadi pasar halal yang lebih luas lagi. Namun, hal itu tentunya perlu diimbangi dengan pengembangan dan penyusunan kerangka kerja halal value chain Indonesia.
Saat halal value chain dibangun, kata dia, maka dapat mendorong peluang ekonomi di setiap rantai suplai termasuk nantinya pengembangan Islamic financing. "Karena, untuk mengembangkan proses produksi halal mulai dari bahan mentah sampai dengan konsumen itu perlu ada garansi, nanti Islamic financing nanti bisa masuk ke sana," ujar Amalia.
Menurut dia, halal value chain nantinya akan menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi. Peluang ekspor pun akan lebih besar dan kesadaran dari produk halal, tidak hanya di domestik melainkan juga di tingkat internasional. "Jadi jangan sampai ada negara lain yang ambil peluang ini," tegasnya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menambahkan, potensi dan pertumbuhan industri halal global sangat besar. Banyak perusahaan saat ini telah mengadopsi teknologi blockchain untuk memastikan kepatuhan halal, pembayaran halal atau melacak produk halal dari fasilitas manufaktur ke pengecer.
"Dengan demikian, mengembangkan rantai nilai halal juga tidak dapat dipisahkan dengan teknologi dan inovasi. Semakin inovatif industri, semakin kuat ekonomi suatu negara," beber Dody.
Akan tetapi, kata dia, menciptakan rantai nilai halal yang kuat tidak bisa hanya meninggalkan pasar menjadi inovatif sendiri. Kompleksitas rantai nilai halal global juga perlu didukung oleh kebijakan yang kuat dari lembaga ekonomi tingkat tinggi.
Baru-baru ini BI pun telah mengambil bagian dalam mengembangkan industri halal dengan mengusulkan suatu model rantai nilai halal yang menghidupi pesantren dan usaha kecil menengah (UKM) untuk memperluas industri keuangan Islam dan ekonomi Islam di Indonesia.
BI juga mendorong pelaku local value chain usaha syariah domestik untuk memasuki pasar ekspor agar mampu mengendalikan pasar global. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ekspor sekaligus sebagai produk substitusi dari impor.
"lni diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru sekaligus dapat menjawab permasalahan CAD (current acount deficit)," tandasnya.
(fjo)