Pembangunan Infrastruktur Fisik Pendorong Mobilisasi di Papua
A
A
A
JAKARTA - Pembangunan infrastruktur masih menjadi prioritas pembangunan di Papua. Tersedianya infrastruktur, terutama jalan, diharapkan dapat memacu penurunan harga barang yang sampai saat ini masih sangat mahal di bandingkan wilayah lain. Infrastruktur juga bisa mendorong pengembangan kawasan wisata dan pergerakan ekonomi Papua.
"Harapan kami, kemajuan infrastruktur bisa mengurangi tingkat kemahalan di Papua. Infrastruktur juga bisa mendorong pengembangan kawasan wisata, mendorong pergerakan ekonomi. Pembangunan ini memerlukan kelanjutan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjaga konsistensi desain pembangunan dari waktu ke waktu dan tidak terputus," kata Sekretaris Desk Papua Bappenas Velix V Wanggai, di Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Dia menuturkan membangun Papua tidak mudah dan ada kompleksitas yang dihadapi. Penduduk Papua yang mencapai 3,5 juta jiwa, hampir setengahnya berada di atas pegunungan. "Sehingga fokus pemerintah ke daerah pedalaman," jelas Velix.
Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Pemerataan dan Kewilayahan Oktorialdi yang juga Ketua Tim Pelaksana Desk Papua juga mengakui bahwa pembangunan infrastruktur di Papua, tantangannya sangat berat. Dari sisi luas wilayah, Papua yang meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat, lebih besar tiga kali lipat jika dibandingkan Pulau Jawa. Karakter geografisnya sangat beragam meliputi pantai dan pegunungan.
Mencapai wilayah Papua sangat sulit lantaran tiap wilayah belum terhubung dengan jaringan jalan. Saat ini, pemerintah masih meneruskan proyek pembangunan jalan Trans-Papua sepanjang 4.900 kilometer (km).
"Terbayang betapa besarnya luas wilayahnya. Manusianya ada yang masih berpindah-pindah ada yang sudah menetap. Makanya Presiden Joko Widodo minta pembangunan di Papua untuk dipertajam," tuturnya.
Bappenas, kata Okto, melakukan berbagai pendekatan. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua. Terakhir, keluar Inpres Nomor 10 Tahun 2017 terkait Dukungan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan PON XX Papua Tahun 2020. Ajang pesta olahraga itu membutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur – dari jalan, bandara, air, listrik, dan lain-lain.
PON tidak hanya dilihat sebagai kompetisi saja,tapi percepatan pembangunan ekonomi di Papua. Pembangunan yang terkait dengan PON XX dikoordinasikan lewat Bappenas. Menteri PPN/Kepala Bappenas menugaskan Desk Papua Bappenas untuk mengkoordinasikan Inpres 10/2017, sebagai fokus perhatian Desk Papua Bappenas tahun 2019-2020. Desk Papua Bappenas akan memadukan, mengintegrasikan mensinkronkan Inpres 9/2017 dengan Inpres 10/2017.
Desk Papua juga antara lain bertugas memfasilitasi peluang kerja sama skema pembiyaan dan skema kerja sama lainnya yang bersumber dari BUMN, swasta dan stakeholder lainnya baik melalui CSR, KPBU, PINA, sponsorship maupun sumber dana lainnya yang sah, serta bersama-sama pemda mempertajam usulan program/kegiatan dan anggaran secara terpadu. Biaya pelaksanaan PON 2020 diperkirakan mencapai Rp10 triliun yang akan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan suprastruktur yang dibutuhkan.
"Inpres dikeluarkan Presiden karena banyak kementerian dan lembaga yang terlibat. Bappenas kemudian melakukan pendampingan. Secara menyeluruh tidak mudah, karea dari Kementerian sendiri punya renstra masing-masing," ungkap Okto.
Bappenas menginterpretasikan penajaman pembangunan di Papua dengan membagi pulau tersebut dalam wilayah adat. Seluruh Pulau Papua memiliki tujuh wilayah adat yakni Wilayah Adat Domberay dan Bomberay di Provinsi Papua Barat; dan Wilayah Adat Saereri, Mamta, La Pago, Mee Pago dan Anim Ha di Provinsi Papua. Jumlah Orang Asli Papua (OAP) di Papua Barat mencapai 405,6 ribu jiwa atau sekitar 53,25% dari jumlah penduduk, sementara di Papua mencapai 2,153 juta orang atau 76,37% dari jumlah penduduk.
"Pola pembangunan masyarakat di Papua memerlukan pendekatan situasional yang sesuai dengan tatanan budaya dan adat istiadat masyarakat kampung/lokal. Pengembangan ekonomi wilayah adat disesuaikan berdasarkan potensi pengembangan komoditas, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, serta prospek pasar," terang Kepala Bappeda Provinsi Papua Muhammad Musaad.
Pembangunan yang diamanatkan lewat Inpres Nomor 9 Tahun 2017, sesuai dengan keinginan Presiden, ditekankan untuk infrastruktur dasar, air, lingkungan, dan listrik. Pemerintah berharap pada 2019 seluruh Papua sudah diterangi listrik sehingga mulai dibangun PLTMG sampai LTSHE. Untuk pembangunan jalan, terang Okto, antara lain sudah dimulai dari sisi pertama koridor Trans Papua dari Wamena sepanjang 585 kilometer. Lalu ada pembangunan Jembatan Holtekamp yang hampir rampung, ditargetkan beroperasi penuh pada Mei 2019. "Utamanya di Papua adalah infrastruktur fisik karena ini yang menghalangi mereka untuk mobilisasi," tuturnya.
Seperti diketahui, Jembatan Holtekamp dibangun sejak 9 Mei 2015. Apabila Jembatan Holtekamp terhubung, maka akan bisa membantu perpindahan penduduk dari kota menuju wilayah perbatasan, dari Kota Jayapura menuju Skouw. Waktu perjalanan terpangkas sekitar dua jam. Pemerintah berencana mengambangkan kawasan perbatasan Skouw sebagai pusat ekonomi baru. Biaya pembangunan bentang utama jembatan adalah sebesar Rp943 miliar yang dikerjakan oleh konsorsium kontraktor PT PP sebagai pimpinan, PT Hutama Karya dan PT Nindya Karya.
Jembatan Holtekamp yang dibangun di atas Teluk Youtefa bakal menjadi wisata dan ikon baru Kota Jayapura. Apalagi di sekitar Jembatan Holtekamp terdapat dua kampung tertua di Kota Jayapura yakni Kampung Enggros dan Tobati. Untuk mengembangkan wisata dan perekonomian bagi masyarakat asli setempat, Pemkot Jayapura bahkan merancang wisata air di bawah Jembatan Holtekamp.
Pemerintah telah memiliki Kapal Wisata Youtefa yang melayani wisata ke beberapa pulau di Teluk Youtefa. Kapal dengan kapasitas 50 orang menarik tarif Rp20.000 per orang, setiap kali berkeliling teluk yang bisa dilihat dari ketinggian Bukit Skyland.
Dengan berbagai pembangunan itu, Okto menjelaskan, pertumbuhan ekonomi wilayah Papua pada 2020 diperkirakan mencapai 6% dan melesat menjadi 7,6% pada 2024. Pembangunan itu didukung alokasi dana transfer APBN ke wilayah Papua sejak otsus yang meningkat signifikan mencapai Rp44,8 triliun (Papua) dan Rp15,4 triliun (Papua Barat). Sementara total anggaran Kementerian/Lembaga pada 2016 tercatat sebesar Rp15,9 triliun yang terbagi untuk Papua Rp10,44 triliun dan Papua Barat Rp5,46 triliun.
"Masalah pembangunan Papua bukan masalah uang," tegasnya. Pembiayaan pembangunan di Tanah Papua antara lain dengan dana Otsus, dan masih ada dana lainnya, yaitu DBH, DAU, DAK, DTI maupun pajak.
"Harapan kami, kemajuan infrastruktur bisa mengurangi tingkat kemahalan di Papua. Infrastruktur juga bisa mendorong pengembangan kawasan wisata, mendorong pergerakan ekonomi. Pembangunan ini memerlukan kelanjutan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjaga konsistensi desain pembangunan dari waktu ke waktu dan tidak terputus," kata Sekretaris Desk Papua Bappenas Velix V Wanggai, di Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Dia menuturkan membangun Papua tidak mudah dan ada kompleksitas yang dihadapi. Penduduk Papua yang mencapai 3,5 juta jiwa, hampir setengahnya berada di atas pegunungan. "Sehingga fokus pemerintah ke daerah pedalaman," jelas Velix.
Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Pemerataan dan Kewilayahan Oktorialdi yang juga Ketua Tim Pelaksana Desk Papua juga mengakui bahwa pembangunan infrastruktur di Papua, tantangannya sangat berat. Dari sisi luas wilayah, Papua yang meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat, lebih besar tiga kali lipat jika dibandingkan Pulau Jawa. Karakter geografisnya sangat beragam meliputi pantai dan pegunungan.
Mencapai wilayah Papua sangat sulit lantaran tiap wilayah belum terhubung dengan jaringan jalan. Saat ini, pemerintah masih meneruskan proyek pembangunan jalan Trans-Papua sepanjang 4.900 kilometer (km).
"Terbayang betapa besarnya luas wilayahnya. Manusianya ada yang masih berpindah-pindah ada yang sudah menetap. Makanya Presiden Joko Widodo minta pembangunan di Papua untuk dipertajam," tuturnya.
Bappenas, kata Okto, melakukan berbagai pendekatan. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua. Terakhir, keluar Inpres Nomor 10 Tahun 2017 terkait Dukungan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan PON XX Papua Tahun 2020. Ajang pesta olahraga itu membutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur – dari jalan, bandara, air, listrik, dan lain-lain.
PON tidak hanya dilihat sebagai kompetisi saja,tapi percepatan pembangunan ekonomi di Papua. Pembangunan yang terkait dengan PON XX dikoordinasikan lewat Bappenas. Menteri PPN/Kepala Bappenas menugaskan Desk Papua Bappenas untuk mengkoordinasikan Inpres 10/2017, sebagai fokus perhatian Desk Papua Bappenas tahun 2019-2020. Desk Papua Bappenas akan memadukan, mengintegrasikan mensinkronkan Inpres 9/2017 dengan Inpres 10/2017.
Desk Papua juga antara lain bertugas memfasilitasi peluang kerja sama skema pembiyaan dan skema kerja sama lainnya yang bersumber dari BUMN, swasta dan stakeholder lainnya baik melalui CSR, KPBU, PINA, sponsorship maupun sumber dana lainnya yang sah, serta bersama-sama pemda mempertajam usulan program/kegiatan dan anggaran secara terpadu. Biaya pelaksanaan PON 2020 diperkirakan mencapai Rp10 triliun yang akan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan suprastruktur yang dibutuhkan.
"Inpres dikeluarkan Presiden karena banyak kementerian dan lembaga yang terlibat. Bappenas kemudian melakukan pendampingan. Secara menyeluruh tidak mudah, karea dari Kementerian sendiri punya renstra masing-masing," ungkap Okto.
Bappenas menginterpretasikan penajaman pembangunan di Papua dengan membagi pulau tersebut dalam wilayah adat. Seluruh Pulau Papua memiliki tujuh wilayah adat yakni Wilayah Adat Domberay dan Bomberay di Provinsi Papua Barat; dan Wilayah Adat Saereri, Mamta, La Pago, Mee Pago dan Anim Ha di Provinsi Papua. Jumlah Orang Asli Papua (OAP) di Papua Barat mencapai 405,6 ribu jiwa atau sekitar 53,25% dari jumlah penduduk, sementara di Papua mencapai 2,153 juta orang atau 76,37% dari jumlah penduduk.
"Pola pembangunan masyarakat di Papua memerlukan pendekatan situasional yang sesuai dengan tatanan budaya dan adat istiadat masyarakat kampung/lokal. Pengembangan ekonomi wilayah adat disesuaikan berdasarkan potensi pengembangan komoditas, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, serta prospek pasar," terang Kepala Bappeda Provinsi Papua Muhammad Musaad.
Pembangunan yang diamanatkan lewat Inpres Nomor 9 Tahun 2017, sesuai dengan keinginan Presiden, ditekankan untuk infrastruktur dasar, air, lingkungan, dan listrik. Pemerintah berharap pada 2019 seluruh Papua sudah diterangi listrik sehingga mulai dibangun PLTMG sampai LTSHE. Untuk pembangunan jalan, terang Okto, antara lain sudah dimulai dari sisi pertama koridor Trans Papua dari Wamena sepanjang 585 kilometer. Lalu ada pembangunan Jembatan Holtekamp yang hampir rampung, ditargetkan beroperasi penuh pada Mei 2019. "Utamanya di Papua adalah infrastruktur fisik karena ini yang menghalangi mereka untuk mobilisasi," tuturnya.
Seperti diketahui, Jembatan Holtekamp dibangun sejak 9 Mei 2015. Apabila Jembatan Holtekamp terhubung, maka akan bisa membantu perpindahan penduduk dari kota menuju wilayah perbatasan, dari Kota Jayapura menuju Skouw. Waktu perjalanan terpangkas sekitar dua jam. Pemerintah berencana mengambangkan kawasan perbatasan Skouw sebagai pusat ekonomi baru. Biaya pembangunan bentang utama jembatan adalah sebesar Rp943 miliar yang dikerjakan oleh konsorsium kontraktor PT PP sebagai pimpinan, PT Hutama Karya dan PT Nindya Karya.
Jembatan Holtekamp yang dibangun di atas Teluk Youtefa bakal menjadi wisata dan ikon baru Kota Jayapura. Apalagi di sekitar Jembatan Holtekamp terdapat dua kampung tertua di Kota Jayapura yakni Kampung Enggros dan Tobati. Untuk mengembangkan wisata dan perekonomian bagi masyarakat asli setempat, Pemkot Jayapura bahkan merancang wisata air di bawah Jembatan Holtekamp.
Pemerintah telah memiliki Kapal Wisata Youtefa yang melayani wisata ke beberapa pulau di Teluk Youtefa. Kapal dengan kapasitas 50 orang menarik tarif Rp20.000 per orang, setiap kali berkeliling teluk yang bisa dilihat dari ketinggian Bukit Skyland.
Dengan berbagai pembangunan itu, Okto menjelaskan, pertumbuhan ekonomi wilayah Papua pada 2020 diperkirakan mencapai 6% dan melesat menjadi 7,6% pada 2024. Pembangunan itu didukung alokasi dana transfer APBN ke wilayah Papua sejak otsus yang meningkat signifikan mencapai Rp44,8 triliun (Papua) dan Rp15,4 triliun (Papua Barat). Sementara total anggaran Kementerian/Lembaga pada 2016 tercatat sebesar Rp15,9 triliun yang terbagi untuk Papua Rp10,44 triliun dan Papua Barat Rp5,46 triliun.
"Masalah pembangunan Papua bukan masalah uang," tegasnya. Pembiayaan pembangunan di Tanah Papua antara lain dengan dana Otsus, dan masih ada dana lainnya, yaitu DBH, DAU, DAK, DTI maupun pajak.
(fjo)