Operator dan Dealer Tidak Taat Regulasi Prabayar Akan Terjerat Hukum
A
A
A
JAKARTA - Meski Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sudah mengeluarkan Surat Edaran BRTI No 01 tahun 2018 dan Surat Ketetapan BRTI No 3 tahun 2008, namun tetap saja ada operator telekomunikasi yang 'bandel' dan tidak mengikuti aturan tentang Larangan Penggunaan Data Kependudukan Tanpa Hak atau Melawan Hukum untuk Keperluan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Seharusnya setelah beleid tersebut dikeluarkan, seluruh operator telekomunikasi wajib menjual kartu perdana yang belum aktif atau belum diregistrasi. Selain itu, operator yang sudah terlanjur menjual kartu perdana yang teregistrasi lebih dari 3 nomor per Nomor Induk Kependudukan(NIK), harus segera menonaktifkan kartu prabayarnya tersebut.
Melihat masih banyaknya praktik penjualan kartu perdana yang langsung aktif, membuat miris Komisioner BRTI. Menurut Agung Harsoyo, komisioner BRTI, seharusnya operator telekomunikasi taat pada aturan registrasi yang benar dengan menjual kartu prabayar yang belum aktif.
"Kalau ada operator yang macam-macam akan kami tindak langsung dengan laporan ke Bareskrim Polri. Operator yang masih menjual kartu perdana aktif dan tidak menonaktifkan kartu yang diregistrasi lebih dari 3 per NIK per operator sudah tak bisa kami toleransi lagi. Semua laporan dari masyarakat mengenai penyalahgunaan registrasi prabayar akan langsung masuk ke aduan BRTI. Nanti BRTI akan menindaklanjuti ke Bareskrim," terang Agung, Selasa (8/1/2019).
Menurut Agung setelah masuk di laporan BRTI, dalam waktu 24 jam operator wajib memblokir seluruh no prabayar yang diduga diregistrasi dengan cara yang tidak sesuai perundang-undangan. Agung memastikan minggu depan akan ada penangkapan penjual kartu pradana yang tidak sesuai dengan aturan tersebut.
Agung mengingatkan kepada seluruh operator untuk taat dan tunduk pada seluruh aturan mengenai registrasi prabayar yang telah dikeluarkan oleh Kominfo maupun BRTI. Komisioner BRTI menambahkan seluruh operator sebenarnya sudah membuat surat pernyataan di depan Kabareskrim mengenai akan taat dan tunduk pada regulasi registrasi prabayar. Jika ditemukan ada pelanggaran di registrasi prabayar, para operator tersebut bersedia untuk dituntut secara pidana.
"Jika nantinya terbukti ada operator yang terlibat dalam kejahatan registrasi prabayar ini, Bareskrim akan menggunakan delik kejahatan korporasi. Korporasi bisa dituntut pidana dengan delik turut serta dalam tindak pidana penyalahgunaan NIK," papar Agung.
Selain akan bertindak tegas terhadap operator yang 'nakal' dalam melaksanakan registrasi prabayar, rencananya BRTI akan mengusulkan kepada Menkominfo untuk merevisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12 Tahun 2016 mengenai registrasi prabayar.
Dalam revisi PM tersebut, rencananya BRTI akan menetapkan 1 NIK maksimum hanya boleh diregistrasi maksimal 6 kartu prabayar secara mandiri. Dalam PM 14 Tahun 2017 yang saat ini berlaku, satu NIK bisa melakukan registrasi mandiri maksium 3 no untuk masing-masing operator.
Menurut Agung, jika ada masyarakat yang memiliki kebutuhan kartu prabayar lebih dari jumlah tersebut, mereka bisa datang ke gerai operator untuk mendapatkan dan melakukan proses registrasi yang benar sesuai prosedur perundang-undangan yang berlaku.
"Memasuki peradaban digital baru, dimana handphone tidak hanya untuk bertelekomunikasi, tetapi juga untuk bertransaksi ekonomi, maka konsep know your customer (KYC) yang selama ini dipraktikkan di perbankan, wajib diadopsi pada telepon selular. Sehingga pengetatan dan pelaksanaan registrasi prabayar yang benar mutlak dilakukan," tandas Agung.
Adanya rencana pengetatan dan pelaksanaan registrasi prabayar yang benar disambut baik oleh Ririek Adriansyah, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI). Menurutnya dengan adanya registrasi yang benar tak hanya membuat industri telekomunikasi menjadi sehat, tetapi juga menjaga kepentingan nasional. Dengan regisistrasi kartu prabayar yang benar, pihak keamanan akan mudah untuk mencari setiap pelaku kriminal.
"Memang jangka pendek akan mempengaruhi pendapatan operator. Namun untuk jangka panjang akan membuat industri menjadi lebih sehat. Selain itu, semua pelaku tindak pidana bisa diketahui keberadaannya. Itu salah satu wujud negara hadir untuk melindungi seluruh warganya," pungkas Ririek, Selasa (8/1/2019).
Seharusnya setelah beleid tersebut dikeluarkan, seluruh operator telekomunikasi wajib menjual kartu perdana yang belum aktif atau belum diregistrasi. Selain itu, operator yang sudah terlanjur menjual kartu perdana yang teregistrasi lebih dari 3 nomor per Nomor Induk Kependudukan(NIK), harus segera menonaktifkan kartu prabayarnya tersebut.
Melihat masih banyaknya praktik penjualan kartu perdana yang langsung aktif, membuat miris Komisioner BRTI. Menurut Agung Harsoyo, komisioner BRTI, seharusnya operator telekomunikasi taat pada aturan registrasi yang benar dengan menjual kartu prabayar yang belum aktif.
"Kalau ada operator yang macam-macam akan kami tindak langsung dengan laporan ke Bareskrim Polri. Operator yang masih menjual kartu perdana aktif dan tidak menonaktifkan kartu yang diregistrasi lebih dari 3 per NIK per operator sudah tak bisa kami toleransi lagi. Semua laporan dari masyarakat mengenai penyalahgunaan registrasi prabayar akan langsung masuk ke aduan BRTI. Nanti BRTI akan menindaklanjuti ke Bareskrim," terang Agung, Selasa (8/1/2019).
Menurut Agung setelah masuk di laporan BRTI, dalam waktu 24 jam operator wajib memblokir seluruh no prabayar yang diduga diregistrasi dengan cara yang tidak sesuai perundang-undangan. Agung memastikan minggu depan akan ada penangkapan penjual kartu pradana yang tidak sesuai dengan aturan tersebut.
Agung mengingatkan kepada seluruh operator untuk taat dan tunduk pada seluruh aturan mengenai registrasi prabayar yang telah dikeluarkan oleh Kominfo maupun BRTI. Komisioner BRTI menambahkan seluruh operator sebenarnya sudah membuat surat pernyataan di depan Kabareskrim mengenai akan taat dan tunduk pada regulasi registrasi prabayar. Jika ditemukan ada pelanggaran di registrasi prabayar, para operator tersebut bersedia untuk dituntut secara pidana.
"Jika nantinya terbukti ada operator yang terlibat dalam kejahatan registrasi prabayar ini, Bareskrim akan menggunakan delik kejahatan korporasi. Korporasi bisa dituntut pidana dengan delik turut serta dalam tindak pidana penyalahgunaan NIK," papar Agung.
Selain akan bertindak tegas terhadap operator yang 'nakal' dalam melaksanakan registrasi prabayar, rencananya BRTI akan mengusulkan kepada Menkominfo untuk merevisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12 Tahun 2016 mengenai registrasi prabayar.
Dalam revisi PM tersebut, rencananya BRTI akan menetapkan 1 NIK maksimum hanya boleh diregistrasi maksimal 6 kartu prabayar secara mandiri. Dalam PM 14 Tahun 2017 yang saat ini berlaku, satu NIK bisa melakukan registrasi mandiri maksium 3 no untuk masing-masing operator.
Menurut Agung, jika ada masyarakat yang memiliki kebutuhan kartu prabayar lebih dari jumlah tersebut, mereka bisa datang ke gerai operator untuk mendapatkan dan melakukan proses registrasi yang benar sesuai prosedur perundang-undangan yang berlaku.
"Memasuki peradaban digital baru, dimana handphone tidak hanya untuk bertelekomunikasi, tetapi juga untuk bertransaksi ekonomi, maka konsep know your customer (KYC) yang selama ini dipraktikkan di perbankan, wajib diadopsi pada telepon selular. Sehingga pengetatan dan pelaksanaan registrasi prabayar yang benar mutlak dilakukan," tandas Agung.
Adanya rencana pengetatan dan pelaksanaan registrasi prabayar yang benar disambut baik oleh Ririek Adriansyah, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI). Menurutnya dengan adanya registrasi yang benar tak hanya membuat industri telekomunikasi menjadi sehat, tetapi juga menjaga kepentingan nasional. Dengan regisistrasi kartu prabayar yang benar, pihak keamanan akan mudah untuk mencari setiap pelaku kriminal.
"Memang jangka pendek akan mempengaruhi pendapatan operator. Namun untuk jangka panjang akan membuat industri menjadi lebih sehat. Selain itu, semua pelaku tindak pidana bisa diketahui keberadaannya. Itu salah satu wujud negara hadir untuk melindungi seluruh warganya," pungkas Ririek, Selasa (8/1/2019).
(ven)