Aset Senilai Rp14.087 Triliun Akan Pindah dari Inggris ke UE

Selasa, 08 Januari 2019 - 12:39 WIB
Aset Senilai Rp14.087...
Aset Senilai Rp14.087 Triliun Akan Pindah dari Inggris ke UE
A A A
LONDON - Aset senilai hampir USD1 triliun (Rp14.087 triliun) akan berpindah dari Inggris ke pusat keuangan baru di Uni Eropa (UE) menjelang Brexit.

Data itu diungkap lembaga konsultan EY kemarin. Inggris yang akan meninggalkan UE pada Maret belum menyetujui kesepakatan untuk menghindari memburuknya hubungan dengan UE.

Meski parlemen Inggris akan menggelar voting untuk kesepakatan yang diusulkan itu pekan depan, masih belum jelas apakah kesepakatan itu akan disetujui. “Semakin dekat kita mencapai 29 Maret tanpa kesepakatan, semakin banyak aset akan berpindah dan tenaga kerja dipekerjakan secara lokal atau direlokasi,” ungkap Omar Ali, pemimpin layanan keuangan Inggris di EY, dilansir Reuters.

EY telah melacak rencana Brexit pada 222 perusahaan keuangan sejak Inggris menggelar referendum pada Juni 2016 untuk meninggalkan UE. Dalam perkembangan terbaru hingga akhir November 2018, sebanyak 80 perusahaan telah mempertimbangkan atau mengonfirmasi relokasi aset dan pegawai.

Perkiraan terbaru dari EY menyatakan sebanyak USD1 triliun aset akan berpindah, berdampak pada sektor perbankan Inggris senilai 8 triliun poundsterling.

Frankfurt Main Finance yang mempromosikan pusat keuangan Jerman menyatakan pihaknya memperkirakan aset senilai 750 hingga 800 miliar euro akan dipindah yang sebagian besar terjadi pada kuartal ini.

“Sekitar 2.000 posisi baru di Eropa telah dibuat oleh perusahaan-perusahaan layanan keuangan untuk merespon Brexit, dengan Dublin, Luxembourg, Frankfurt dan Paris menjadi lokasi paling populer,” ungkap pernyataan EY.

Proyeksi ratusan ribu tenaga kerja keuangan Inggris yang pindah ke UE belum terjadi dan Bank Sentral Inggris memperkirakan sekitar 4.000 tenaga kerja akan pindah pada 29 Maret.

“Meski berbagai peran itu tidak diragukan lagi pindah dari Inggris, banyak perusahaan hanya memintahkan pegawainya yang penting dan mempekerjakan warga lokal,” kata Ali. Langkah tersebut hanya puncak gunung es jika tidak ada kesepakatan Brexit.

Bulan lalu, Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May menyatakan referendum Brexit kedua akan merusak kepercayaan rakyat dan berdampak buruk bagi politik. May menolak ide menggelar referendum Brexit baru yang menurut beberapa pihak dapat menjadi cara mengatasi kebuntuan.

Setelah selamat dari voting mosi tidak percaya dan mengajukan perubahan pada kesepakatan Brexit bulan lalu, May menghadapi kebuntuan agar parlemen mendukung kesepakatan itu. Dengan UE yang hanya memberi sedikit konsesi agar parlemen Inggris menyetujui kesepakatan tersebut, maka semakin banyak politisi menyerukan referendum kedua segera digelar.

Namun, May dan kabinetnya berulang kali menolak referendum baru yang dianggap bisa semakin memecah belah Inggris dan mengkhianati para pemilih yang telah mendukung Brexit pada referendum 2016. Kebuntuan itu dapat membuat Inggris tidak memiliki kesepakatan saat keluar dari UE dalam waktu kurang dari empat pekan.

Skenario ini sangat di khawatirkan sektor bisnis kare na bisa meng akibatkan bencana ekonomi bagi Inggris. Ketidakpastian politik dan ekonomi terkait Brexit memiliki dampak nyata. Data yang dirilis menunjukkan penurunan belanja konsumen, turunnya harga rumah dan tumbuhnya pesimisme dalam keuangan rumah tangga. (Syarifuddin)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1807 seconds (0.1#10.140)