Bank Dunia Ungkap Faktor Penghambat Ekonomi Global
A
A
A
WASHINGTON - Bank Dunia memperingatkan peningkatan risiko atau yang disebutnya sebagai 'langit semakin gelap' bagi ekonomi dunia. Dalam penilaian tahunan terhadap prospek kondisi global, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan terus berlanjut meskipun agak lambat untuk tahun ini dan selanjutnya.
Seperti dilansir BBC, perkiraan Bank Dunia untuk ekonomi global yakni ekspansi tahun ini sebesar 2,9% serta 2,8% pada tahun 2020. Tetapi dalam pandangan mereka secara luas, menekankan pada meningkatnya kekhawatiran yang bisa mempengaruhi kinerja ekonomi gagal.
Tentunya ada juga kabar baik dalam laporan Bank Dunia. Saat ekonomi global melambat, kemungkinan besar itulah yang disebut oleh para ekonom sebagai "soft landing". Perlambatan dimulai pada pertengahan tahun lalu dan sejauh ini berjalan teratur, atau tidak ada gejolak berarti.
Perlambatan diprediksi bakal fokus pada negara-negara kaya, terutama Amerika Serikat (AS) meskipun akan terus berkembang lebih cepat daripada zona euro atau Jepang menurut ramalan Bank Dunia. Tertahannya ekonomi AS merupakan, dampak mulai memudarnya kebijakangan pengurangan pajak oleh Presiden Trump.
Ditambah pada tahun 2021, pertumbuhannya diprediksi berkurang hampir setengah menjadi 1,6% dibandingkan dengan 2,9% tahun lalu. Di sisi lain, pertumbuhan pasar negara berkembang dan ekonomi emerging market bakal semakin meningkat ketika China terus melambat, yang dimulai pad awal dekade ini.
Pada tahun 2021, pertumbuhan China diperkirakan mencapai 6%, yang masih cukup kuat, tetapi ini merupakan perubahan signifikan bagi perekonomian yang meningkat rata-rata 10% setiap tahunnya antara periode 1980 dan 2010.
Franziska Ohnsorge, seorang ekonom Bank Dunia dan penulis utama laporan itu mengatakan, dalam sebuah wawancara BBC: "Di China ada rekayasa kebijakan, artinya perlambatan yang disengaja menuju pertumbuhan jangka panjang yang lebih stabil."
Itulah yang menurut Bank Dunia, terkait kemungkinan kinerja ekonomi dunia selama beberapa tahun ke depan. Tetapi ada risiko yang bisa berarti, semuanya bisa saja tidak berjalan dengan baik. Perdagangan internasional sudah melemah dan konflik perdagangan terutama antara AS dan Cina menjadi salah satu risiko utama.
Perang tersebut menjadi yang terbesar, karena melibatkan dua ekonomi nasional terbesar di planet ini. Bank Dunia telah menghitung bahwa 2,5% dari perdagangan global dipengaruhi oleh tarif baru -pajak perdagangan- yang diberlakukan antara keduanya.
Bahkan berpotensi menjadi dua kali lipat, jika tarif terus diimplementasikan. Risikonya tetap tinggi, dan bisa menekan aktivitas ekonomi di dua ekonomi raksasa ini. Pertumbuhan yang lebih lambat di China terutama menjadi masalah bagi negara-negara berkembang yang mengekspor komoditas industri, energi dan logam.
Alasannya karena China adalah pembeli besar produk-produk tersebut. Franziska Ohnsorge mengatakan di antara mereka AS dan China menyumbang 20% dari perdagangan global dan 40% dari PDB global. Jika ekonomi mereka sama-sama terpukul, katanya, "itu adalah sesuatu yang bakal terasa di seluruh (dunia)".
Bank Dunia tidak mengharapkan resesi pada dua ekonomi terebesar dunia itu, meski beberapa komentator sekarang memperkirakan AS menuju pelemahan dalam satu tahun depan. Tetapi jika itu terjadi, risiko resesi global akan meningkat tajam. Di masa lalu, masih dalam laporan Bank Dunia, risiko resesi global dalam satu tahun adalah 7%. Tetapi jika AS mengalami penurunan, probabilitasnya naik hingga 50%.
Risiko Brexit
Pasar keuangan juga berisiko. Kemungkinan perkembangan yang bergejolak telah meningkat. Jika suku bunga AS dinaikkan lagi atau jika dolar naik tajam, itu bisa berdampak pada ekonomi negara berkembang dan emerging markets.
Brexit muncul dalam penilaian Bank Dunia sebagai risiko yang mungkin terjadi bagi negara-negara yang sangat bergantung pada penjualan ke Eropa. Jika keluarnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit terjadi tanpa kesepakatan, ada kemungkinan kerusakan ekonomi yang signifikan bagi Inggris dan Uni Eropa.
Apabila benar terjadi, kondisi itu kemudian dapat juga mempengaruhi negara-negara di Eropa Timur dan Afrika Utara yang terintegrasi erat dengan Eropa. Bahkan dalam gambaran sentral Bank Dunia, yang relatif optimistis, ada beberapa prospek meragukan untuk sebagian dari negara berkembang.
Sekitar sepertiga dari negara-negara tersebut, pertumbuhan per kapita mengkhawatirkan sehingga tidak cukup untuk memulai kembali untuk mengejar ketinggalan dari negara maju serta mempersempit kesenjangan antara standar hidup. Di Afrika Sub-Sahara, pertumbuhan per kapita cenderung kurang dari 1%, tidak cukup untuk mendorong kemajuan yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan.
Seperti dilansir BBC, perkiraan Bank Dunia untuk ekonomi global yakni ekspansi tahun ini sebesar 2,9% serta 2,8% pada tahun 2020. Tetapi dalam pandangan mereka secara luas, menekankan pada meningkatnya kekhawatiran yang bisa mempengaruhi kinerja ekonomi gagal.
Tentunya ada juga kabar baik dalam laporan Bank Dunia. Saat ekonomi global melambat, kemungkinan besar itulah yang disebut oleh para ekonom sebagai "soft landing". Perlambatan dimulai pada pertengahan tahun lalu dan sejauh ini berjalan teratur, atau tidak ada gejolak berarti.
Perlambatan diprediksi bakal fokus pada negara-negara kaya, terutama Amerika Serikat (AS) meskipun akan terus berkembang lebih cepat daripada zona euro atau Jepang menurut ramalan Bank Dunia. Tertahannya ekonomi AS merupakan, dampak mulai memudarnya kebijakangan pengurangan pajak oleh Presiden Trump.
Ditambah pada tahun 2021, pertumbuhannya diprediksi berkurang hampir setengah menjadi 1,6% dibandingkan dengan 2,9% tahun lalu. Di sisi lain, pertumbuhan pasar negara berkembang dan ekonomi emerging market bakal semakin meningkat ketika China terus melambat, yang dimulai pad awal dekade ini.
Pada tahun 2021, pertumbuhan China diperkirakan mencapai 6%, yang masih cukup kuat, tetapi ini merupakan perubahan signifikan bagi perekonomian yang meningkat rata-rata 10% setiap tahunnya antara periode 1980 dan 2010.
Franziska Ohnsorge, seorang ekonom Bank Dunia dan penulis utama laporan itu mengatakan, dalam sebuah wawancara BBC: "Di China ada rekayasa kebijakan, artinya perlambatan yang disengaja menuju pertumbuhan jangka panjang yang lebih stabil."
Itulah yang menurut Bank Dunia, terkait kemungkinan kinerja ekonomi dunia selama beberapa tahun ke depan. Tetapi ada risiko yang bisa berarti, semuanya bisa saja tidak berjalan dengan baik. Perdagangan internasional sudah melemah dan konflik perdagangan terutama antara AS dan Cina menjadi salah satu risiko utama.
Perang tersebut menjadi yang terbesar, karena melibatkan dua ekonomi nasional terbesar di planet ini. Bank Dunia telah menghitung bahwa 2,5% dari perdagangan global dipengaruhi oleh tarif baru -pajak perdagangan- yang diberlakukan antara keduanya.
Bahkan berpotensi menjadi dua kali lipat, jika tarif terus diimplementasikan. Risikonya tetap tinggi, dan bisa menekan aktivitas ekonomi di dua ekonomi raksasa ini. Pertumbuhan yang lebih lambat di China terutama menjadi masalah bagi negara-negara berkembang yang mengekspor komoditas industri, energi dan logam.
Alasannya karena China adalah pembeli besar produk-produk tersebut. Franziska Ohnsorge mengatakan di antara mereka AS dan China menyumbang 20% dari perdagangan global dan 40% dari PDB global. Jika ekonomi mereka sama-sama terpukul, katanya, "itu adalah sesuatu yang bakal terasa di seluruh (dunia)".
Bank Dunia tidak mengharapkan resesi pada dua ekonomi terebesar dunia itu, meski beberapa komentator sekarang memperkirakan AS menuju pelemahan dalam satu tahun depan. Tetapi jika itu terjadi, risiko resesi global akan meningkat tajam. Di masa lalu, masih dalam laporan Bank Dunia, risiko resesi global dalam satu tahun adalah 7%. Tetapi jika AS mengalami penurunan, probabilitasnya naik hingga 50%.
Risiko Brexit
Pasar keuangan juga berisiko. Kemungkinan perkembangan yang bergejolak telah meningkat. Jika suku bunga AS dinaikkan lagi atau jika dolar naik tajam, itu bisa berdampak pada ekonomi negara berkembang dan emerging markets.
Brexit muncul dalam penilaian Bank Dunia sebagai risiko yang mungkin terjadi bagi negara-negara yang sangat bergantung pada penjualan ke Eropa. Jika keluarnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit terjadi tanpa kesepakatan, ada kemungkinan kerusakan ekonomi yang signifikan bagi Inggris dan Uni Eropa.
Apabila benar terjadi, kondisi itu kemudian dapat juga mempengaruhi negara-negara di Eropa Timur dan Afrika Utara yang terintegrasi erat dengan Eropa. Bahkan dalam gambaran sentral Bank Dunia, yang relatif optimistis, ada beberapa prospek meragukan untuk sebagian dari negara berkembang.
Sekitar sepertiga dari negara-negara tersebut, pertumbuhan per kapita mengkhawatirkan sehingga tidak cukup untuk memulai kembali untuk mengejar ketinggalan dari negara maju serta mempersempit kesenjangan antara standar hidup. Di Afrika Sub-Sahara, pertumbuhan per kapita cenderung kurang dari 1%, tidak cukup untuk mendorong kemajuan yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan.
(akr)