Dewas BPJSTK Akui Lemah dalam Pelanggaran Kasus Etika

Sabtu, 12 Januari 2019 - 01:39 WIB
Dewas BPJSTK Akui Lemah...
Dewas BPJSTK Akui Lemah dalam Pelanggaran Kasus Etika
A A A
JAKARTA - Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan mengakui kasus dugaan asusila yang dilakukan anggotanya terhadap stafnya disebabkan lemahnya pengawasan etika dan moral. Kasus asusila ini dinilai berbeda dengan pengawasan proses bisnis yang memiliki aturan main dan sanksi yang jelas. Pelanggaran etika yang lebih umum seperti marah dan menggebrak meja juga merupakan wilayah abu-abu untuk ditindak.

Ketua Dewan Pengawas BPJS TK, Guntur Witjaksono, menjelaskan selama ini dalam hal kinerja untuk proses bisnis mendapatkan pengawasan ketat. Pihaknya diaudit banyak pihak seperti OJK, BPK, KPK, hingga dua akuntan publik. Sanksi yang diberikan juga jelas seperti teguran hingga denda uang apabila ada keterlambatan terutama pelanggaran.

Namun dalam hal etika bekerja, dirinya mengaku masih sulit menanganinya. Sikap seperti marah berlebihan, memukul meja, atau semacamnya dapat saja terjadi hingga yang fatal seperti tindakan asusila.

"Kami tidak tahu menangani kalau ada hubungan khusus seperti itu karena itu masalah personal. Saya tidak mau ungkit kalau masalah pribadi. Kasus berbeda sebelumnya juga pernah terjadi namun tidak ada tindakan dari DJSN," ujar Guntur di Jakarta, Jumat (11/1/2019).

Namun dia juga mengeluhkan penilaian publik semakin melebar tanpa memandang relevansi atas permasalahan utama yang sedang diproses oleh pihak yang berwenang. Menurutnya kinerja Dewan Pengawas BPJS TK dan jajaran direksi BPJSTK dalam kondisi baik. Pihaknya juga menolak disebut melindungi pelaku sesama Dewas BPJS TK.

"Kami dituding dalam kasus ini, jajaran Dewas sengaja melindungi saudara SAB atas tuduhan asusila yang dialamatkan kepadanya. Kami sampaikan bahwa itu tidak benar," ungkap Guntur.

Dirinya menjelaskan bahwa laporan atas dugaan asusila ini baru diketahui oleh dirinya dan anggota Dewas yang lain, setelah mendapatkan surat tembusan dari RA, korban pelecehan asusila, yang mengajukan laporan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada tanggal 6 Desember 2018 atas tindakan pelecehan oleh SAB.

"Kami mendukung pihak berwenang untuk terus melanjutkan proses penyidikan agar kebenaran yang sesungguhnya dapat segera terungkap," tutur Guntur.

Dirinya menyayangkan ada pihak-pihak yang membuat kasus ini melebar tanpa memperhatikan relevansi atas kasus pelecehan asusila tersebut. Seperti tuduhan bahwa tata kelola Dewas BPJS Ketenagakerjaan dinilai buruk serta adanya overlapping wewenang dalam perekrutan staf komite Dewas BPJS Ketenagakerjaan.

"Hal itu tidak benar. Kegiatan operasional organ BPJSTK setiap tahun pasti diaudit di samping kegiatan monitoring dan evaluasi dari DJSN yang mendapatkan predikat Baik. Kami juga memiliki komitmen dengan KPK terkait pencegahan gratifikasi," ungkap Guntur.

Sementara terkait rekrutmen, penyelenggara FGD, seminar dan lain sebagainya, itu semua sudah diatur dan sesuai dengan regulasi yang tertera dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan Peraturan turunan yang terkait.

Dewas dalam melakukan tugasnya melakukan pengawasan, memberikan saran, pertimbangan dan nasehat, memerlukan SDM dan instrumen kerja yang diatur dalam Peraturan Dewas, sesuai dengan amanah Undang-undang No. 24 tentang BPJS.

Dia berharap semua pihak dapat berpikir dengan jernih dalam melihat kasus yang menimpa saudara SAB ini. Jangan sampai ada pihak-pihak yang memiliki niat menggulirkan hal ini sebagai isu politis, mengingat tahun ini adalah tahun politik yang kental dan berbagai hal dapat dipolitisasi.

"Saya harap hal ini tidak dimanfaatkan untuk menjatuhkan kredibilitas BPJS Ketenagakerjaan sebagai Badan Hukum Publik yang profesional," ujar Guntur.

Anggota Dewas BPJS TK, Poempida Hidayatullah, juga menilai masalah etika kerja seperti temperamental kerap terjadi karena profesinya sebagai pengawas. Menurutnya dalam menjadi pengawas, wajar marah untuk menyelesaikan target. "Namun gaya marah beda untuk setiap orang. Tapi itu bagian dari leadership," Poempida menambahkan.

Sementara, Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, menilai tindakan asusila dan kekerasan disebabkan oleh relasi kuasa antara atasan dan bawahan. Apabila salah satu pihak merasa lebih berkuasa, maka kecenderungan untuk melakukan kekerasan meningkat. Hal ini terjadi dalam banyak kasus ketika atasan memanfaatkan jabatannya untuk mengintimidasi bawahannya.

"Karena itu, kita harus berani menolak dan jangan diam. Juga dibutuhkan kode etik di tempat bekerja. Supaya tahu batasnya dimana dan mencegah kasus kekerasan," ujar Budi di Jakarta.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0630 seconds (0.1#10.140)