DP 0% Sangat Selektif Bagi Perusahaan Pembiayaan
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, perusahaan pembiayaan yang memiliki tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum sehat dan mempunyai nilai rasio Non Performing Financing (NPF) Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih rendah atau sama dengan 1% maka wajib menerapkan ketentuan uang muka 0% dari harga jual kendaraan.
Hal tersebut berlaku untuk pembiayaan kendaraan bermotor roda dua dan tiga, kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk pembiayaan investasi dan untuk kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk pembiayaan multiguna.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 2B Bambang W. Budiawan mengatakan, ketentuan uang muka 0% ini sangat selektif karena hanya berlaku bagi perusahaan pembiayaan yang sehat. "NPF nya juga di bawah 1% dan diberikan untuk calon debitur yang memiliki profil risiko sangat baik," ujar Bambang di Jakarta, Rabu (16/1/2019).
Dia melanjutkan, karakteristik perusahaan pembiayaan yang sehat ditandai dengan pemilihan atau seleksi segmen market yang jelas dan proses underwriting yang hati-hati. “Dengan demikian tidak perlu dikhawatirkan akan memicu kenaikan NPF, karena Perusahaan Pembiayaan yang layak pun harus memperhitungkan risikonya dan tidak semua calon debitur yang layak juga bisa mendapatkan DP 0% ini,” beber dia.
Selain itu, ketentuan DP 0% ini juga diharapkan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan alternatif transportasi yang sesuai kemampuannya. Sementara itu, bagi perusahaan pembiayaan yang memiliki tingkat kesehatan keuangan dengan nilai Rasio NPF Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih tinggi dari 1% dan lebih rendah atau sama dengan 3%, maka wajib menerapkan ketentuan uang muka paling rendah 10% dari harga jual kendaraan.
Hal tersebut juga berlaku untuk pembiayaan kendaraan bermotor roda dua dan tiga, kendaraan bermotor roda empat atau lebih. Sedangkan bagi Perusahaan pembiayaan yang memiliki nilai Rasio NPF Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih tinggi dari 3% dan lebih rendah atau sama dengan 5% wajib menerapkan ketentuan uang muka paling rendah 15% dari harga jual kendaraan.
Sementara bagi perusahaan pembiayaan yang tidak memenuhi tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum sehat dan mempunyai nilai Rasio NPF Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih rendah atau sama dengan 5% maka wajib menerapkan ketentuan uang muka paling rendah 15% dari harga jual kendaraan.
"Khusus untuk perusahaan pembiayaan yang mempunyai nilai Rasio NPF Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih tinggi dari 5% wajib menerapkan ketentuan uang muka paling rendah 20% dari harga jual kendaraan," imbuhnya.
Hal-hal yang mengatur pemberian uang muka pembiayaan kendaraan bermotor dengan berbagai syarat tergantung tingkat kesehatan keuangan dan nilai Rasio NPF netto tersebut diatur dalam Peraturan OJK (POJK) No.35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. POJK ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan industri Pembiayaan dan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi. "POJK ini merupakan perbaikan dari POJK sebelumnya," imbuh dia.
Sementara itu, POJK ini juga memperbolehkan penagihan melalui pihak ketiga, dengan berbagai syarat ketat seperti harus berbadan hukum, memiliki izin dari instansi berwenang dan memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan. "Perusahaan Pembiayaan wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerja sama dengan pihak lain di bidang penagihan ini," jelas dia.
Adapun per November 2018, terdapat 185 Perusahaan Pembiayaan (PP) yang terdiri dari 182 PP Konvensional dan 3 PP Syariah (full pledge). Selain itu, terdapat 33 PP yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS). Aset mengalami peningkatan menjadi Rp500,39 triliun atau tumbuh sebesar 6,12% yoy.
Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan 1 Indra menambahkan, komposisi Aset Industri PP terdiri dari Aset PP konvensional sebesar Rp477,51 Triliun atau sebesar 95,43% dan Aset PP Syariah (Full Pledge dan UUS) sebesar Rp22,88 Triliun atau sebesar 4,57%.
Sedangkan, berdasarkan status kepemilikan, komposisi aset Industri PP terdiri dari aset PP yang terafiliasi dengan ATPM sebesar Rp213,07 triliun yang terdiri dari 30 PP atau sebesar 42,58%. Sedangkan aset PP yang terafiliasi dengan Bank sebesar Rp158,87 triliun terdiri dari 33 PP atau sebesar 31,75% dan aset PP yang tidak terafiliasi sebesar Rp128,46 triliun terdiri dari 122 PP atau sebesar 25,67%.
"Piutang pembiayaan mengalami pertumbuhan sebesar 5,14% (yoy) dengan nilai outstanding per November 2018 mencapai Rp433,86 Triliun," imbuh Indra. Dia memaparkan, angka tersebut terdiri dari pembiayaan multiguna sebesar Rp254,29 triliun, Pembiayaan Investasi sebesar Rp135,69 triliun, Pembiayaan Modal Kerja sebesar Rp23,87 triliun, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebesar Rp19,87 triliun.
Sedangkan sisanya adalah pembiayaan lainnya berdasarkan persetujuan OJK. Sementara itu, pada periode Desember 2016 sampai dengan November 2018, NPF industri PP menunjukkan perbaikan dari rasio NPF 3,08% pada November 2017 menjadi 2,83% pada November 2018.
Hal tersebut berlaku untuk pembiayaan kendaraan bermotor roda dua dan tiga, kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk pembiayaan investasi dan untuk kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk pembiayaan multiguna.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 2B Bambang W. Budiawan mengatakan, ketentuan uang muka 0% ini sangat selektif karena hanya berlaku bagi perusahaan pembiayaan yang sehat. "NPF nya juga di bawah 1% dan diberikan untuk calon debitur yang memiliki profil risiko sangat baik," ujar Bambang di Jakarta, Rabu (16/1/2019).
Dia melanjutkan, karakteristik perusahaan pembiayaan yang sehat ditandai dengan pemilihan atau seleksi segmen market yang jelas dan proses underwriting yang hati-hati. “Dengan demikian tidak perlu dikhawatirkan akan memicu kenaikan NPF, karena Perusahaan Pembiayaan yang layak pun harus memperhitungkan risikonya dan tidak semua calon debitur yang layak juga bisa mendapatkan DP 0% ini,” beber dia.
Selain itu, ketentuan DP 0% ini juga diharapkan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan alternatif transportasi yang sesuai kemampuannya. Sementara itu, bagi perusahaan pembiayaan yang memiliki tingkat kesehatan keuangan dengan nilai Rasio NPF Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih tinggi dari 1% dan lebih rendah atau sama dengan 3%, maka wajib menerapkan ketentuan uang muka paling rendah 10% dari harga jual kendaraan.
Hal tersebut juga berlaku untuk pembiayaan kendaraan bermotor roda dua dan tiga, kendaraan bermotor roda empat atau lebih. Sedangkan bagi Perusahaan pembiayaan yang memiliki nilai Rasio NPF Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih tinggi dari 3% dan lebih rendah atau sama dengan 5% wajib menerapkan ketentuan uang muka paling rendah 15% dari harga jual kendaraan.
Sementara bagi perusahaan pembiayaan yang tidak memenuhi tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum sehat dan mempunyai nilai Rasio NPF Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih rendah atau sama dengan 5% maka wajib menerapkan ketentuan uang muka paling rendah 15% dari harga jual kendaraan.
"Khusus untuk perusahaan pembiayaan yang mempunyai nilai Rasio NPF Neto untuk pembiayaan kendaraan bermotor lebih tinggi dari 5% wajib menerapkan ketentuan uang muka paling rendah 20% dari harga jual kendaraan," imbuhnya.
Hal-hal yang mengatur pemberian uang muka pembiayaan kendaraan bermotor dengan berbagai syarat tergantung tingkat kesehatan keuangan dan nilai Rasio NPF netto tersebut diatur dalam Peraturan OJK (POJK) No.35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. POJK ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan industri Pembiayaan dan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi. "POJK ini merupakan perbaikan dari POJK sebelumnya," imbuh dia.
Sementara itu, POJK ini juga memperbolehkan penagihan melalui pihak ketiga, dengan berbagai syarat ketat seperti harus berbadan hukum, memiliki izin dari instansi berwenang dan memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan. "Perusahaan Pembiayaan wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerja sama dengan pihak lain di bidang penagihan ini," jelas dia.
Adapun per November 2018, terdapat 185 Perusahaan Pembiayaan (PP) yang terdiri dari 182 PP Konvensional dan 3 PP Syariah (full pledge). Selain itu, terdapat 33 PP yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS). Aset mengalami peningkatan menjadi Rp500,39 triliun atau tumbuh sebesar 6,12% yoy.
Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan 1 Indra menambahkan, komposisi Aset Industri PP terdiri dari Aset PP konvensional sebesar Rp477,51 Triliun atau sebesar 95,43% dan Aset PP Syariah (Full Pledge dan UUS) sebesar Rp22,88 Triliun atau sebesar 4,57%.
Sedangkan, berdasarkan status kepemilikan, komposisi aset Industri PP terdiri dari aset PP yang terafiliasi dengan ATPM sebesar Rp213,07 triliun yang terdiri dari 30 PP atau sebesar 42,58%. Sedangkan aset PP yang terafiliasi dengan Bank sebesar Rp158,87 triliun terdiri dari 33 PP atau sebesar 31,75% dan aset PP yang tidak terafiliasi sebesar Rp128,46 triliun terdiri dari 122 PP atau sebesar 25,67%.
"Piutang pembiayaan mengalami pertumbuhan sebesar 5,14% (yoy) dengan nilai outstanding per November 2018 mencapai Rp433,86 Triliun," imbuh Indra. Dia memaparkan, angka tersebut terdiri dari pembiayaan multiguna sebesar Rp254,29 triliun, Pembiayaan Investasi sebesar Rp135,69 triliun, Pembiayaan Modal Kerja sebesar Rp23,87 triliun, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebesar Rp19,87 triliun.
Sedangkan sisanya adalah pembiayaan lainnya berdasarkan persetujuan OJK. Sementara itu, pada periode Desember 2016 sampai dengan November 2018, NPF industri PP menunjukkan perbaikan dari rasio NPF 3,08% pada November 2017 menjadi 2,83% pada November 2018.
(akr)