Faktor Eksternal Hambat Kinerja Ekspor
A
A
A
JAKARTA - Tantangan untuk memperbaiki kinerja perdagangan tahun 2019 masih sangat besar. Faktor-faktor eksternal yang menekan ekspor pada tahun 2018 masih akan dirasakan tahun ini, khususnya perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama dan sentimen perang dagang.
Selain itu, harga komoditas andalan diprediksi akan terus melemah tahun 2019, termasuk di antaranya sawit, batu bara, karet, dan tembaga.
“Harga minyak yang memperlebar defisit migas memang sudah mengalami penurunan tajam pada akhir 2018. Akan tetapi, potensi untuk kembali meningkat tahun 2019 masih sa ngat terbuka,” kata Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal di Jakarta, akhir pekan lalu.
Hal itu sejalan dengan rencana negara-negara OPEC dan Rusia untuk melakukan production cut secara signifikan, walau kemungkinan besar peningkatan harga tidak akan melebihi rata-rata harga minyak tahun 2018.
Dia mengatakan, tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang mendorong lonjakan impor tahun 2018 juga diprediksi masih akan dirasakan tahun ini mes kipun dengan kadar lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Meski demikian, kata Faisal, pemerintah masih bisa memperbaiki kinerja perdagangan masih sangat terbuka, setidaknya untuk memperkecil defisit.
Sejumlah kebijakan untuk meredam impor yang sudah dikeluarkan, seperti kebijakan PPh 22 impor untuk barang konsumsi, program B20, maupun kebijakan TKDN, yang selama 2018 masih belum banyak terasa efektivitasnya, perlu di evaluasi, dipertajam, dan diperkuat agar lebih terlihat efektivitasnya pada tahun 2019.
Menurut Faisal, dalam jangka menengah panjang, revitalisasi industri manufaktur mutlak dilakukan untuk mendongkrak daya saing produk-produk manufaktur dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekspor manufaktur, apalagi mengingat harga komoditas ekspor terus tertekan.
Selain itu, kata dia, untuk jangka lebih pendek, pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi ke negara-negara tujuan ekspor nontradisional sehingga ketergantungan terhadap pasar ekspor utama tidak terlalu besar.
Kinerja perdagangan Indonesia pada Desember 2018 terjadi defisit sebesar USD1,1 miliar. Meskipun lebih rendah di bandingkan dengan defisit bulan sebelumnya yang mencapai USD2 miliar, secara kumulatif sepanjang 2018 defisit perdagangan Indonesia mencapai USD8,6 miliar.
Peneliti CORE Indonesia Dwi Rahmayani mengungkapkan, ini merupakan sebuah rekor kinerja perdagangan terburuk sepanjang sejarah lebih buruk dibanding defisit yang terjadi pada 2013 mencapai USD4 miliar.
“Buruknya kinerja perdagangan tahun 2018 didorong dua sisi, yakni anjloknya pertumbuhan ekspor serta akselerasi impor yang tajam. Ekspor hanya tumbuh 6,7%, jauh di bawah performa tahun 2017 yang tumbuh sampai 16,2%. Sementara impor malah mengalami akselerasi dari 15,7% pada 2017 menjadi 20,2% tahun 2018,” ujarnya.
Memang pendorong penting dari lonjakan defisit perdagangan tahun 2018 adalah pelebaran defisit di sektor migas yang mencapai USD12,4 miliar. Bahkan, peningkatan harga minyak dunia hampir sepanjang 2018 telah mendorong lonjakan impor minyak negara-negara net importir minyak seperti Indonesia.
“Idealnya, saat harga minyak dunia meningkat, tidak hanya berdampak pada kenaikan impor minyak, tetapi juga pada peningkatan ekspor minyak. Uniknya, dampak kenaikan harga minyak terhadap peningkatan ekspor minyak jauh lebih kecil dibandingkan impor minyak,” kata Dwi.
Selain migas, sektor non migas juga menghadapi masalah tidak kalah serius. Walaupun masih surplus, terjadi penciutan tajam surplus nonmigas dari USD20,4 miliar pada 2017 menjadi USD3,8 miliar pada 2018 atau kontraksi sebesar 81,4%. Bank Indonesia menyatakan, meski masih mengalami defisit neraca dagang pada Desember 2018 namun aliran modal asing masih berlanjut.
Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan, aliran modal asing masuk(inflow) sebesar Rp14,75 triliun ke pasar keuangan domestik telah menambah suplai valuta asing dan menopang penguatan nilai tukar rupiah pada awal 2019.
Menurut dia, masuknya aliran modal asing menambah suplai di valuta asing atau valas. Pergerakan nilai tukar rupiah juga ditopang keyakinan pelaku pasar global terhadap perbaikan dan kebijakan yang diterapkan BI dan Pemerintah Indonesia.
“Kami akan terus mencermati risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai funda mentalnya dengan tetap mendorong berjalannya mekanisme pasar, dan mendukung upaya pengembangan pasar keuangan,” ujar dia. (Kunthi Fahmar Sandy)
Selain itu, harga komoditas andalan diprediksi akan terus melemah tahun 2019, termasuk di antaranya sawit, batu bara, karet, dan tembaga.
“Harga minyak yang memperlebar defisit migas memang sudah mengalami penurunan tajam pada akhir 2018. Akan tetapi, potensi untuk kembali meningkat tahun 2019 masih sa ngat terbuka,” kata Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal di Jakarta, akhir pekan lalu.
Hal itu sejalan dengan rencana negara-negara OPEC dan Rusia untuk melakukan production cut secara signifikan, walau kemungkinan besar peningkatan harga tidak akan melebihi rata-rata harga minyak tahun 2018.
Dia mengatakan, tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang mendorong lonjakan impor tahun 2018 juga diprediksi masih akan dirasakan tahun ini mes kipun dengan kadar lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Meski demikian, kata Faisal, pemerintah masih bisa memperbaiki kinerja perdagangan masih sangat terbuka, setidaknya untuk memperkecil defisit.
Sejumlah kebijakan untuk meredam impor yang sudah dikeluarkan, seperti kebijakan PPh 22 impor untuk barang konsumsi, program B20, maupun kebijakan TKDN, yang selama 2018 masih belum banyak terasa efektivitasnya, perlu di evaluasi, dipertajam, dan diperkuat agar lebih terlihat efektivitasnya pada tahun 2019.
Menurut Faisal, dalam jangka menengah panjang, revitalisasi industri manufaktur mutlak dilakukan untuk mendongkrak daya saing produk-produk manufaktur dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekspor manufaktur, apalagi mengingat harga komoditas ekspor terus tertekan.
Selain itu, kata dia, untuk jangka lebih pendek, pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi ke negara-negara tujuan ekspor nontradisional sehingga ketergantungan terhadap pasar ekspor utama tidak terlalu besar.
Kinerja perdagangan Indonesia pada Desember 2018 terjadi defisit sebesar USD1,1 miliar. Meskipun lebih rendah di bandingkan dengan defisit bulan sebelumnya yang mencapai USD2 miliar, secara kumulatif sepanjang 2018 defisit perdagangan Indonesia mencapai USD8,6 miliar.
Peneliti CORE Indonesia Dwi Rahmayani mengungkapkan, ini merupakan sebuah rekor kinerja perdagangan terburuk sepanjang sejarah lebih buruk dibanding defisit yang terjadi pada 2013 mencapai USD4 miliar.
“Buruknya kinerja perdagangan tahun 2018 didorong dua sisi, yakni anjloknya pertumbuhan ekspor serta akselerasi impor yang tajam. Ekspor hanya tumbuh 6,7%, jauh di bawah performa tahun 2017 yang tumbuh sampai 16,2%. Sementara impor malah mengalami akselerasi dari 15,7% pada 2017 menjadi 20,2% tahun 2018,” ujarnya.
Memang pendorong penting dari lonjakan defisit perdagangan tahun 2018 adalah pelebaran defisit di sektor migas yang mencapai USD12,4 miliar. Bahkan, peningkatan harga minyak dunia hampir sepanjang 2018 telah mendorong lonjakan impor minyak negara-negara net importir minyak seperti Indonesia.
“Idealnya, saat harga minyak dunia meningkat, tidak hanya berdampak pada kenaikan impor minyak, tetapi juga pada peningkatan ekspor minyak. Uniknya, dampak kenaikan harga minyak terhadap peningkatan ekspor minyak jauh lebih kecil dibandingkan impor minyak,” kata Dwi.
Selain migas, sektor non migas juga menghadapi masalah tidak kalah serius. Walaupun masih surplus, terjadi penciutan tajam surplus nonmigas dari USD20,4 miliar pada 2017 menjadi USD3,8 miliar pada 2018 atau kontraksi sebesar 81,4%. Bank Indonesia menyatakan, meski masih mengalami defisit neraca dagang pada Desember 2018 namun aliran modal asing masih berlanjut.
Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan, aliran modal asing masuk(inflow) sebesar Rp14,75 triliun ke pasar keuangan domestik telah menambah suplai valuta asing dan menopang penguatan nilai tukar rupiah pada awal 2019.
Menurut dia, masuknya aliran modal asing menambah suplai di valuta asing atau valas. Pergerakan nilai tukar rupiah juga ditopang keyakinan pelaku pasar global terhadap perbaikan dan kebijakan yang diterapkan BI dan Pemerintah Indonesia.
“Kami akan terus mencermati risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai funda mentalnya dengan tetap mendorong berjalannya mekanisme pasar, dan mendukung upaya pengembangan pasar keuangan,” ujar dia. (Kunthi Fahmar Sandy)
(nfl)