Perlambatan Ekonomi China Berpotensi Kurangi Ekspor RI
A
A
A
JAKARTA - Perlambatan ekonomi China berpotensi mengurangi permintaan bahan baku dari Indonesia baik komoditas energi, tambang, perkebunan maupun perikanan. Efeknya kinerja ekspor tahun ini diperkirakan hanya tumbuh di kisaran 6-7%.
Pertumbuhan ekonomi China 2018 yang hanya tumbuh 6,6% ini merupakan yang terendah dalam 28 tahun terakhir atau sejak tahun 1990. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, porsi ekspor Indonesia ke China tercatat 15% di 2018 atau sebesar USD24,3 miliar.
"Melemahnya permintaan China membuat harga komoditas dalam proses pemulihan yang lebih lama baik minyak mentah, batu bara, sawit, dan karet," kata Bhima saat dihubungi, Senin (21/1/2019).
Hal itu menurutnya otomatis akan membuat pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas khususnya di Kalimantan dan Sumatera menjadi tertekan.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi di daerah berbasis komoditas prospeknya akan turun. Sementara di sektor keuangan, investor akan mencari aman dengan mengalihkan dana ke surat utang dan mata uang yen Jepang.
Hal itu menurutnya terlihat dari respons rupiah yang melemah di level Rp14.220 atau 0,35% pada sesi perdagangan siang tadi. Menurut Bhima, investor akan menunda masuk ke Indonesia melihat outlook ekonomi global yang melambat.
Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung luar negeri di tahun 2019 sulit untuk diharapkan. "Apalagi ada event Pilpres. Investor cenderung wait and see perbaikan data ekonomi China. Tapi unlikely China akan membaik dalam waktu dekat, selama perang dagang belum diakhiri," jelas dia.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menambahkan, melambatnya pertumbuhan ekonomi China memiliki dua dimensi. Pertama, perlambatan ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi serta permintaan global di tahun ini akan tetap rendah.
"Kondisi ini menegaskan bahwa akan sulit mengharapkan pertumbuhan ekspor indonesia yang cukup tinggi pada tahun ini," katanya saat dihubungi. Kedua, perlambatan pertumbuhan ini akan mengundang respons dari pemerintah China dalam bentuk kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar.
Kebijakan fiskal dan moneter yang longgar di china, bersamaan dengan kebijakan longgar di Amerika dan Eropa, akan berdampak positif mendorong aliran modal ke negara negara berkembang termasuk Indonesia.
"Saya memperkirakan apabila perekonomian terus melambat dan diikuti oleh kebijakan fiskal dan monetrr yang lebih longgar pada tahun ini maka tekanan pelemahan nilai tukar rupiah akan relatif berkurang," jelas Piter.
Pertumbuhan ekonomi China 2018 yang hanya tumbuh 6,6% ini merupakan yang terendah dalam 28 tahun terakhir atau sejak tahun 1990. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, porsi ekspor Indonesia ke China tercatat 15% di 2018 atau sebesar USD24,3 miliar.
"Melemahnya permintaan China membuat harga komoditas dalam proses pemulihan yang lebih lama baik minyak mentah, batu bara, sawit, dan karet," kata Bhima saat dihubungi, Senin (21/1/2019).
Hal itu menurutnya otomatis akan membuat pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas khususnya di Kalimantan dan Sumatera menjadi tertekan.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi di daerah berbasis komoditas prospeknya akan turun. Sementara di sektor keuangan, investor akan mencari aman dengan mengalihkan dana ke surat utang dan mata uang yen Jepang.
Hal itu menurutnya terlihat dari respons rupiah yang melemah di level Rp14.220 atau 0,35% pada sesi perdagangan siang tadi. Menurut Bhima, investor akan menunda masuk ke Indonesia melihat outlook ekonomi global yang melambat.
Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung luar negeri di tahun 2019 sulit untuk diharapkan. "Apalagi ada event Pilpres. Investor cenderung wait and see perbaikan data ekonomi China. Tapi unlikely China akan membaik dalam waktu dekat, selama perang dagang belum diakhiri," jelas dia.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menambahkan, melambatnya pertumbuhan ekonomi China memiliki dua dimensi. Pertama, perlambatan ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi serta permintaan global di tahun ini akan tetap rendah.
"Kondisi ini menegaskan bahwa akan sulit mengharapkan pertumbuhan ekspor indonesia yang cukup tinggi pada tahun ini," katanya saat dihubungi. Kedua, perlambatan pertumbuhan ini akan mengundang respons dari pemerintah China dalam bentuk kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar.
Kebijakan fiskal dan moneter yang longgar di china, bersamaan dengan kebijakan longgar di Amerika dan Eropa, akan berdampak positif mendorong aliran modal ke negara negara berkembang termasuk Indonesia.
"Saya memperkirakan apabila perekonomian terus melambat dan diikuti oleh kebijakan fiskal dan monetrr yang lebih longgar pada tahun ini maka tekanan pelemahan nilai tukar rupiah akan relatif berkurang," jelas Piter.
(fjo)