Empat Perusahaan Startup Indonesia Kini Dikuasai Asing

Senin, 28 Januari 2019 - 09:24 WIB
Empat Perusahaan Startup...
Empat Perusahaan Startup Indonesia Kini Dikuasai Asing
A A A
JAKARTA - Serangkaian kucuran dana besar-besaran dari berbagai investor raksasa mancanegara membuat kepemilikan empat perusahaan rintisan atau startup Indonesia, yang kini telah memimpin pasar di segmennya, dikuasai asing.

Suntikan dana besar-besaran yang mendukung perkembangan dan ekspansi bisnis membuat Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka menjelma menjadi unicorn. Unicorn adalah sebutan bagi startup yang valuasi usahanya minimal USD1 miliar.

Yang terbaru, seperti dilaporkan Tech-Crunch, Go-Jek telah mendapat persetujuan suntikan dana dari beberapa investor: Google, JD.com, dan Tencent sebesar USD920 juta (Rp13 triliun) yang bakal menaikkan valuasi perusahaan menjadi sekitar USD9,5 miliar.

Artinya, tinggal selangkah lagi Go-Jek “naik kelas” menjadi decacorn, yaitu startup dengan valuasi USD10 miliar ke atas. Di antara puluhan investor Go-Jek, diketahui hanya ada dua perusahaan dari dalam negeri, yakni Astra International Tbk (Indonesia) dengan kucuran dana USD150 juta (Rp2 triliun) dan Global Digital Niaga, anak perusahaan modal ventura Global Digital Prima (GDP) milik Djarum Group.

Mereka tergabung dalam konsorsium investor yang menyuntikkan dana ke Go-Jek pada putaran penggalangan dana mulai akhir 2017 hingga awal 2018. Para investor lain Go-Jek kebanyakan perusahaan Amerika Serikat, China, dan Singapura.

Dominasi kekuatan ekonomi asing di balik startup lokal yang telah menjelma menjadi unicorn juga bisa dilihat di Tokopedia. Hanya ada satu investor lokal di perusahaan ini, yaitu Indonusa Dwitama, di antara sembilan perusahaan yang terdata oleh crunch base.com.

Indonusa Dwitama merupakan pemodal pertama Tokopedia serta menjadi bagian tak terlepaskan dari sejarah awal perjalanan e-commerce yang didirikan William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison ini.

Kucuran dana terbaru yang diterima Tokopedia berasal dari Alibaba Group (China) dan Softbank Vision Fund (Inggris) senilai USD1,1 miliar melalui penjualan saham seri G pada 21 November 2018. Unicorn lokal lain, Traveloka, juga berkembang dengan kucuran dana dari investor AS, China, Jepang, dan India.

Tak tercatat satu pun investor lokal di perusahaan agregasi jasa perjalanan online ini. Beda dengan itu, mayoritas saham Bukalapak masih dikuasai PT Emtek yang masuk ke e-commerce besutan Achmad Zaky dan Nugroho Heru cahyono ini sejak 2014. Emtek, melalui anak perusahaannya, PT Kreatif Media Karya (KMK) memiliki 49,15% saham Buka lapak dari beberapa putaran investasi yang nilainya ditaksir hampir mencapai Rp500 miliar.

Namun, Emtek hanya satu dari dua investor lokal Bukalapak. Satu investor lokal lainnya adalah Batavia Incubator, perusahaan join Corfina Group dengan mitranya, Rebright Partners, spesialis inkubator dari Negeri Matahari Terbit. Dari lima investor asing Bukalapak, tiga perusahaan dari Jepang, satu dari AS, dan satu perusahaan Korea Selatan yang baru saja mengucurkan USD50 juta pada pekan lalu.

Pengamat ekonomi dari Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan, gencarnya investasi asing masuk ke perusahaan-perusahaan rintisan nasional dalam jangka panjang akan merugikan kedaulatan ekonomi Indonesia. “Mayoritas barang yang dijual e-commerce merupakan barang impor dengan harga semisubsidi. Akhirnya, produk UMKM lokal tidak mungkin bisa bersaing dari sisi harga,” urainya.

Keamanan Data Base

Bhima juga mengingatkan, kita perlu mewaspadai dampak ketika berbagai unicorn yang disuntik dana asing kian besar dan ekspansinya menggurita ke mana-mana. Sebagai perusahaan berbasis teknologi informasi (TI), para unicorn nasional tentu memiliki pusat data para pengakses aplikasinya. Dengan kepemilikan mayoritas, para investor asing ini dapat menguasai dan memanfaatkan database tersebut untuk kepentingan bisnis maupun lainnya.

“Data is the new oil,” ujar Bhima mengutip sebuah ungkapan. Lebih dari itu, data sangat krusial dalam perkembangan ekonomi dan kemandirian digital nasional. Di sisi lain, data juga sangat rentan disalahgunakan. Repatriasi keuntungan keluar negeri turut menjadi isu penting karena investor asing membawa hasil keuntungannya keluar negeri.

“Model ini membuat primary income dalam transaksi berjalan kita semakin defisit. Dam paknya juga membahayakan bagi stabilitas kurs rupiah karena keuntungan bisnis dari Indonesia dikonversi ke mata uang lain,” papar Bhima.

Out sourcing digital juga marak dalam startup yang disuntik pemodal asing. Ada kecenderungan penggunaan tenaga kerja asing dengan outsourcing ahli teknologi informasi (TI) di luar negeri. Dalam konteks Go-Jek, misalnya, pengembangan TI-nya menggunakan tenaga outsourcing dari Bangalore, India.

Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R Sirait mengakui dominasi asing dalam bisnis yang berbasis penguasaan data publik secara jangka panjang bisa berisiko terhadap kedaulatan perekonomian nasional.

“Namun, harus diakui sekarang kita masih kekurangan pendanaan series B level ke atas bagi startup domestik sehingga kita masih butuh investor asing saat ini. Menjadi salah satu tantangan startup nasional juga,” ujar Jefri kemarin.

Meski begitu, Jefri berharap perusahaan besar lokal semakin banyak yang tertarik menjadi investor startup. Hal ini perlu didukung dengan insentif fiskal dan nonfiskal bagi perusahaan yang aktif memperkuat ekosistem dengan lebih cepat.

Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEa) Ignatius Untung menjamin, meski mayoritas investasi dari pihak asing, kendali operasional dan bisnis perusahaan tetap berada di tangan para pendirinya.

“Kan ada perjanjian kerja sama. Selama klausul itu ada, semestinya bisnis amanaman saja,” katanya. Di tempat terpisah, Public Relations Executive Bukalapak Miftachur Rochman mengaku belum bisa memberi tanggapan maupun data mengenai persentase kepemilikan saham di perusahaannya.

Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif, Hari Santosa Sungkari menyarankan agar para unicorn segera melaksanakan penawaran umum perdana saham alias initial public offering (IPO) demi tata kelola lebih baik. “Kalau ingin melebarkan bisnis, perusahaan terbuka dan tercatat di pasar modal akan lebih mudah mendapat pendanaan di pasar modal,” ucap Hari.

Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha menyayangkan adanya unicorn yang mayoritas sahamnya dikuasai asing. “Tapi mesti dicari juga formula regulasinya supaya karya anak bangsa bisa berkembang melalui kemandirian digital, perekonomian jangka panjang nasional aman, dan investor asing juga tidak lari,” katanya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0526 seconds (0.1#10.140)