UMKM Siap Sambut Pajak E-commerce
A
A
A
JAKARTA - Penerapan pajak pada pelaku e-commercepada 1 April 2019 masih menuai pro dan kontra. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakukan Perpajakan E-Commerce tersebut akan terus disosialisasikan untuk menghindari gejolak akibat distorsi informasi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga menjelaskan terdapat dua tujuan peraturan dari PMK-210. Pertama, sektor industri harus ada yang mengatur agar tertib berkembang dengan baik. Tentu untuk melindungi masyarakat juga yang melakukan konsumsi di industri tersebut.
"Kedua, menjelaskan ketentuan pajak pelaku usaha tidak ada perbedaan dengan konvensional. Tidak ada tarif baru juga serta objek baru. Semua sama untuk yang omzetnya kurang dari Rp4,8 miliar silakan menggunakan PP 23 pajaknya hanya 0,5%," tutur Hestu kepada KORAN SINDO.
Hestu kembali mengingatkan PMK-210 ini juga sebagai jawaban atas pertanyaan yang datang ke Dirjen Pajak yang mengatakan tidak ada peraturan dari kegiatan e-commerce. Menurutnya, semua hal tersebut kembali kepada kesadaran pelaku usaha untuk membayar pajak sesuai kewajiban yang terdapat pada peraturan.
"Kami mengedepankan persuasif, kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Di usaha konvensional kami melakukan sosialisasi untuk bayar pajak, memberi pemahaman mengenai manfaat pajak. Upaya ini nyata dapat membuat pengusaha bayar pajak," jelasnya.
Hasil dari PMK Nomor 210 ini, lanjut Hestu, akan didapat dari wajib pajak marketplace. Ditjen Pajak akan memberi pembinaan secara persuasif kepada mereka seperti yang dilakukan kepada pengusaha konvensional. Hestu juga mengatakan, e-commerce antara negara pun sama saja, terkait barang yang akan dikenai pajak sesuai peraturan bea cukai. Pajak e-commerce memang memungkinkan meningkatkan rasio pajak. Ditjen Pajak saat ini pun bersiap untuk terus memantau e-commerce.
"Jika berbicara sebuah industri yang berkembang, tentu kita tidak bisa berbicara saat ini industri e-commerce akan terus berkembang. Ada proyeksi dua tahun ke depan atau 5-10 tahun ke depan. Ini yang harus dikerjakan Ditjen Pajak untuk memantau jangan sampai persepsi e-commerce tidak membayar pajak itu berkelanjutan dan semakin membesar, baru kita bergerak untuk meluruskan," tuturnya.
Potensi pajaknya pun dilihat dari perkembangan industri ini ke depan. Hestu mengakui potensi pajak juga dipengaruhi oleh pembinaan Ditjen Pajak kepada pelaku industri sebaik mungkin. Ketika e-commerce berkembang, penerimaan pajaknya juga akan makin besar.
Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengungkapkan, penerbitan PMK-210 patut diapresiasi karena cukup lama ditunggu untuk memberi kepastian bagi para pelaku usaha dan fiskus di lapangan. Tidak ada jenis pajak baru sehingga kewajiban yang ada terkait PPh, PPh Final PP 23, dan PPN bagi yang memenuhi syarat."Masih terlalu umum untuk kewajibannya dan masih menekankan registrasi sebagai wajib pajak bagi para pedagang," ucapnya.
Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) ini menyoroti Pasal 3 ayat 3 dan 5 PMK yang mewajibkan pemilik platform menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) meski termasuk pengusaha kecil. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan di UU PPN meski dapat dipahami pewajiban ini dimaksudkan untuk memastikan capturing potensi pajak terlaksana dengan lebih baik. Yustinus mengatakan, diperlukan sosialisasi dan jalan tengah termasuk konsekuensi penalti yang akan ditanggung pemilik platform apabila lalai melaksanakan kewajiban.
Menurutnya, aturan ini akan berhasil jika pemilik platform dapat memastikan pedagang memiliki NPWP sebelum mendaftar di sebuah platform atau menyerahkan NIK. "Jangan lupa untuk menyerahkan laporan rekapitulasi transaksi pedagang yang akan menambah beban administrasi. Maka, jika biaya administrasi tinggi, sebaiknya ada kompensasi atau fasilitas yang memudahkan pelaporan tersebut," tuturnya.
Yustinus berharap masa-masa sosialisasi sebelum 1 April dapat dimaksimalkan agar diperoleh pemahaman yang baik, tidak menimbulkan gejolak, tidak kontradiktif karena distorsi informasi. Sekaligus penyiapan perangkat administrasi untuk registrasi dan pelaporan.
Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengkritisi beberapa pasal di PMK-210. Data idEA menunjukkan sekitar 80% dari 1.765 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berada dalam ekosistem e-commerce merupakan pengusaha mikro.
Menurutnya, para pengusaha e-commerce tersebut masih belum memiliki model bisnis yang kuat sehingga belum tentu dapat bertahan dalam waktu yang lama. Khawatir mereka akan pindah ke media sosial karena peraturan berlaku bagi marketplace. Ini pun yang membuat Untung semakin heran bagaimana dengan pedagang yang berjualan di media sosial.
"Hal itu sempat kami sampaikan kepada Ibu Sri Mulyani. Data kami menyebutkan 95% pedagang online adanya di media sosial. Karena media sosial tidak ada yang menjadi member,kami jadi tidak tahu kelanjutannya. Kami meminta media sosial dilibatkan," ungkap Untung.
Dia menjelakan, PMK-210 pada prinsipnya merupakan sebuah pengumpulan data. Semua platform online akan menyortir pedagang berdasarkan besarannya. Kelompok yang dianggap cukup mapan atau omzet besar harus menyertakan NPWP atau NIK. Kelompok lainnya yang masih kecil tidak akan dimintai NPWP.
Menurutnya, selama ini pelaku industri e-commerce khususnya para platform membayar pajak. "Kalau pedagangnya memang urusan masing-masing. Jika membayar pun tidak melalui online karena masing-masing. Seperti pedagang di Tanah Abang yang tidak membayar pajak ke pengelola Tanah Abang sesuai kesadaran masing-masing," ujar Country Manager Rumah 123.com ini.
Sementara itu, CEO & Founder Bhinneka Hendrik Tio mengungkapkan, sistem Bhinneka telah terhubung dengan kantor pajak. "Jadi setiap transaksi telah dilaporkan, bahkan untuk kepatuhan ini kami sudah mendapat apresiasi dari kantor pajak dan Kominfo atas keterbukaan informasi," jelasnya.
Selama ini e-commerce pertama di Indonesia yang berusia lebih dari 25 tahun ini sebagai pemain business to businesssehingga bagi pengadaan perusahaan, laporan pajak sangat penting. "Namun, di segmen ritel juga kami melakukan hal yang sama. Semua terkoneksi," sambungnya. (Ananda Nararya)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga menjelaskan terdapat dua tujuan peraturan dari PMK-210. Pertama, sektor industri harus ada yang mengatur agar tertib berkembang dengan baik. Tentu untuk melindungi masyarakat juga yang melakukan konsumsi di industri tersebut.
"Kedua, menjelaskan ketentuan pajak pelaku usaha tidak ada perbedaan dengan konvensional. Tidak ada tarif baru juga serta objek baru. Semua sama untuk yang omzetnya kurang dari Rp4,8 miliar silakan menggunakan PP 23 pajaknya hanya 0,5%," tutur Hestu kepada KORAN SINDO.
Hestu kembali mengingatkan PMK-210 ini juga sebagai jawaban atas pertanyaan yang datang ke Dirjen Pajak yang mengatakan tidak ada peraturan dari kegiatan e-commerce. Menurutnya, semua hal tersebut kembali kepada kesadaran pelaku usaha untuk membayar pajak sesuai kewajiban yang terdapat pada peraturan.
"Kami mengedepankan persuasif, kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Di usaha konvensional kami melakukan sosialisasi untuk bayar pajak, memberi pemahaman mengenai manfaat pajak. Upaya ini nyata dapat membuat pengusaha bayar pajak," jelasnya.
Hasil dari PMK Nomor 210 ini, lanjut Hestu, akan didapat dari wajib pajak marketplace. Ditjen Pajak akan memberi pembinaan secara persuasif kepada mereka seperti yang dilakukan kepada pengusaha konvensional. Hestu juga mengatakan, e-commerce antara negara pun sama saja, terkait barang yang akan dikenai pajak sesuai peraturan bea cukai. Pajak e-commerce memang memungkinkan meningkatkan rasio pajak. Ditjen Pajak saat ini pun bersiap untuk terus memantau e-commerce.
"Jika berbicara sebuah industri yang berkembang, tentu kita tidak bisa berbicara saat ini industri e-commerce akan terus berkembang. Ada proyeksi dua tahun ke depan atau 5-10 tahun ke depan. Ini yang harus dikerjakan Ditjen Pajak untuk memantau jangan sampai persepsi e-commerce tidak membayar pajak itu berkelanjutan dan semakin membesar, baru kita bergerak untuk meluruskan," tuturnya.
Potensi pajaknya pun dilihat dari perkembangan industri ini ke depan. Hestu mengakui potensi pajak juga dipengaruhi oleh pembinaan Ditjen Pajak kepada pelaku industri sebaik mungkin. Ketika e-commerce berkembang, penerimaan pajaknya juga akan makin besar.
Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengungkapkan, penerbitan PMK-210 patut diapresiasi karena cukup lama ditunggu untuk memberi kepastian bagi para pelaku usaha dan fiskus di lapangan. Tidak ada jenis pajak baru sehingga kewajiban yang ada terkait PPh, PPh Final PP 23, dan PPN bagi yang memenuhi syarat."Masih terlalu umum untuk kewajibannya dan masih menekankan registrasi sebagai wajib pajak bagi para pedagang," ucapnya.
Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) ini menyoroti Pasal 3 ayat 3 dan 5 PMK yang mewajibkan pemilik platform menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) meski termasuk pengusaha kecil. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan di UU PPN meski dapat dipahami pewajiban ini dimaksudkan untuk memastikan capturing potensi pajak terlaksana dengan lebih baik. Yustinus mengatakan, diperlukan sosialisasi dan jalan tengah termasuk konsekuensi penalti yang akan ditanggung pemilik platform apabila lalai melaksanakan kewajiban.
Menurutnya, aturan ini akan berhasil jika pemilik platform dapat memastikan pedagang memiliki NPWP sebelum mendaftar di sebuah platform atau menyerahkan NIK. "Jangan lupa untuk menyerahkan laporan rekapitulasi transaksi pedagang yang akan menambah beban administrasi. Maka, jika biaya administrasi tinggi, sebaiknya ada kompensasi atau fasilitas yang memudahkan pelaporan tersebut," tuturnya.
Yustinus berharap masa-masa sosialisasi sebelum 1 April dapat dimaksimalkan agar diperoleh pemahaman yang baik, tidak menimbulkan gejolak, tidak kontradiktif karena distorsi informasi. Sekaligus penyiapan perangkat administrasi untuk registrasi dan pelaporan.
Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengkritisi beberapa pasal di PMK-210. Data idEA menunjukkan sekitar 80% dari 1.765 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berada dalam ekosistem e-commerce merupakan pengusaha mikro.
Menurutnya, para pengusaha e-commerce tersebut masih belum memiliki model bisnis yang kuat sehingga belum tentu dapat bertahan dalam waktu yang lama. Khawatir mereka akan pindah ke media sosial karena peraturan berlaku bagi marketplace. Ini pun yang membuat Untung semakin heran bagaimana dengan pedagang yang berjualan di media sosial.
"Hal itu sempat kami sampaikan kepada Ibu Sri Mulyani. Data kami menyebutkan 95% pedagang online adanya di media sosial. Karena media sosial tidak ada yang menjadi member,kami jadi tidak tahu kelanjutannya. Kami meminta media sosial dilibatkan," ungkap Untung.
Dia menjelakan, PMK-210 pada prinsipnya merupakan sebuah pengumpulan data. Semua platform online akan menyortir pedagang berdasarkan besarannya. Kelompok yang dianggap cukup mapan atau omzet besar harus menyertakan NPWP atau NIK. Kelompok lainnya yang masih kecil tidak akan dimintai NPWP.
Menurutnya, selama ini pelaku industri e-commerce khususnya para platform membayar pajak. "Kalau pedagangnya memang urusan masing-masing. Jika membayar pun tidak melalui online karena masing-masing. Seperti pedagang di Tanah Abang yang tidak membayar pajak ke pengelola Tanah Abang sesuai kesadaran masing-masing," ujar Country Manager Rumah 123.com ini.
Sementara itu, CEO & Founder Bhinneka Hendrik Tio mengungkapkan, sistem Bhinneka telah terhubung dengan kantor pajak. "Jadi setiap transaksi telah dilaporkan, bahkan untuk kepatuhan ini kami sudah mendapat apresiasi dari kantor pajak dan Kominfo atas keterbukaan informasi," jelasnya.
Selama ini e-commerce pertama di Indonesia yang berusia lebih dari 25 tahun ini sebagai pemain business to businesssehingga bagi pengadaan perusahaan, laporan pajak sangat penting. "Namun, di segmen ritel juga kami melakukan hal yang sama. Semua terkoneksi," sambungnya. (Ananda Nararya)
(nfl)