Millennials Kill Advertising
A
A
A
Note: Menyongsong peluncuran buku saya Millennials Kill Everything (Gramedia Pustaka Utama, 2019) dalam beberapa minggu ke depan saya akan menulis beberapa produk, industri, atau apa pun yang ”dibunuh” oleh milenial.
Kali ini saya menulis salah satu korban milenial yaitu: ”advertising ”.Ada tiga dosa besar iklan yang tidak diampuni oleh milenial.
Pertama, dengan semena-mena iklan menginterupsi saat kita sedang seru-serunya nonton Liverpool vs Chelsea di layar TV. Padahal, milenial tak mau diinterupsi oleh iklan, mereka maunya berinteraksi secara mendalam dengan brand .
Kedua, iklan tidak mampu berdialog dengan audiens karena sifat komunikasinya satu arah. Ia hanya bisa ngomong ke audiens, tapi audiens tidak bisa ngomong balik ke dia.
Iklan bahkan tak mampu mendengar. Padahal, milenial ingin dialog dan conversations bukan komunikasi satu arah. Karena komunikasinya satu arah, maka iklan bisa dengan semena-mena memelintir informasi yang disampaikan sesuai kepentingan jualan mereka.
Inilah yang menyebabkan pesan-pesan iklan tidak jujur dan tidak otentik. Hanya 1% saja milenial yang mengatakan bahwa pesan-pesan jualan dari iklan membuat mereka trust kepada brand. Mereka meyakini bahwa iklan sarat dengan rekayasa dan tidak otentik.
Padahal, 43% milenial lebih mementingkan otentisitas ketimbang konten saat mengonsumsi informasi. Milenial ingin pesanpesan pemasaran yang otentik. Mereka ingin membina hubungan yang dalam dengan brand , bisa berkontribusi, dan menjadi bagian dari brand . Hal ini mustahil terwujud jika format komunikasinya masih satu arah seperti halnya iklan.
Ketiga , iklan selalu nerocos jualan. Padahal, milenial butuh story , bukan sales pitching .
Story menciptakan engagement, sementara sales pitching menciptakan antipati dan kebosanan (boredom).
Karena tiga dosa besar tersebut, tak terhindarkan lagi iklan bakal dicuekin dan dibunuh pelan-pelan oleh milenial. Untuk bisa tetap survive , maka iklan harus bermetamorfosa menjadi bentuk baru yang lebih millennial -friendly .
Studi dari Rapt Media di AS dan Inggris menunjukkan bahwa 63% milenial lebih percaya pada konten yang dia cari dan telusuri sendiri ketimbang iklan yang tiba-tiba nyelonong menginterupsi mereka. Milenial tak mau diinterupsi oleh iklan, maunya mereka mencari sendiri konten yang relevan dengan kemauannya.
Sementara hasil survei lain oleh The McCarthy Group menunjukkan 84% milenial tak lagi merespons iklan tradisional dan tak lagi memercayainya. Iklan juga tidak relevan karena kini milenial lebih memercayai apa yang dikatakan dan direkomendasikan oleh peers ketimbang iklan.
Dengan social circle yang dimilikinya di Facebook, Instagram, atau Twitter, maka milenial begitu mudah memutuskan brand mana yang mereka pilih hanya dengan mendengar comments dan opini dari para peers .
”Millennials donít trust corporations, they trust each other. And they love to share .” Indikator ketidaksukaan milenial kepada iklan paling jelas terlihat dari penggunaan aplikasi pemblokir iklan (adblocker) yang melonjak pesat sejak 2013.
Menurut PageFair, penggunaan adblocking (baik desktop maupun mobile ) tumbuh fantastis 41% setiap tahunnya dan milenial mendownload lebih dari 40% dari seluruh adblocking yang ada. Yang menarik, untuk mobile , penggunaan adblocking di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia di mana penetrasinya mencapai 58%.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
Kali ini saya menulis salah satu korban milenial yaitu: ”advertising ”.Ada tiga dosa besar iklan yang tidak diampuni oleh milenial.
Pertama, dengan semena-mena iklan menginterupsi saat kita sedang seru-serunya nonton Liverpool vs Chelsea di layar TV. Padahal, milenial tak mau diinterupsi oleh iklan, mereka maunya berinteraksi secara mendalam dengan brand .
Kedua, iklan tidak mampu berdialog dengan audiens karena sifat komunikasinya satu arah. Ia hanya bisa ngomong ke audiens, tapi audiens tidak bisa ngomong balik ke dia.
Iklan bahkan tak mampu mendengar. Padahal, milenial ingin dialog dan conversations bukan komunikasi satu arah. Karena komunikasinya satu arah, maka iklan bisa dengan semena-mena memelintir informasi yang disampaikan sesuai kepentingan jualan mereka.
Inilah yang menyebabkan pesan-pesan iklan tidak jujur dan tidak otentik. Hanya 1% saja milenial yang mengatakan bahwa pesan-pesan jualan dari iklan membuat mereka trust kepada brand. Mereka meyakini bahwa iklan sarat dengan rekayasa dan tidak otentik.
Padahal, 43% milenial lebih mementingkan otentisitas ketimbang konten saat mengonsumsi informasi. Milenial ingin pesanpesan pemasaran yang otentik. Mereka ingin membina hubungan yang dalam dengan brand , bisa berkontribusi, dan menjadi bagian dari brand . Hal ini mustahil terwujud jika format komunikasinya masih satu arah seperti halnya iklan.
Ketiga , iklan selalu nerocos jualan. Padahal, milenial butuh story , bukan sales pitching .
Story menciptakan engagement, sementara sales pitching menciptakan antipati dan kebosanan (boredom).
Karena tiga dosa besar tersebut, tak terhindarkan lagi iklan bakal dicuekin dan dibunuh pelan-pelan oleh milenial. Untuk bisa tetap survive , maka iklan harus bermetamorfosa menjadi bentuk baru yang lebih millennial -friendly .
Studi dari Rapt Media di AS dan Inggris menunjukkan bahwa 63% milenial lebih percaya pada konten yang dia cari dan telusuri sendiri ketimbang iklan yang tiba-tiba nyelonong menginterupsi mereka. Milenial tak mau diinterupsi oleh iklan, maunya mereka mencari sendiri konten yang relevan dengan kemauannya.
Sementara hasil survei lain oleh The McCarthy Group menunjukkan 84% milenial tak lagi merespons iklan tradisional dan tak lagi memercayainya. Iklan juga tidak relevan karena kini milenial lebih memercayai apa yang dikatakan dan direkomendasikan oleh peers ketimbang iklan.
Dengan social circle yang dimilikinya di Facebook, Instagram, atau Twitter, maka milenial begitu mudah memutuskan brand mana yang mereka pilih hanya dengan mendengar comments dan opini dari para peers .
”Millennials donít trust corporations, they trust each other. And they love to share .” Indikator ketidaksukaan milenial kepada iklan paling jelas terlihat dari penggunaan aplikasi pemblokir iklan (adblocker) yang melonjak pesat sejak 2013.
Menurut PageFair, penggunaan adblocking (baik desktop maupun mobile ) tumbuh fantastis 41% setiap tahunnya dan milenial mendownload lebih dari 40% dari seluruh adblocking yang ada. Yang menarik, untuk mobile , penggunaan adblocking di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia di mana penetrasinya mencapai 58%.
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
(nfl)