DJSN: Jaminan Sosial ASN Harus Dikelola BPJS Ketenagakerjaan
A
A
A
JAKARTA - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menegaskan bahwa program perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan pekerja non-Aparatur Sipil Negara (ASN) sejatinya hanya diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Penegasan DJSN tersebut mengacu pada terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Dimana PP tersebut merupakan implementasi dari isi UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menegaskan bahwa, program perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Anggota DJSN dari unsur pemberi kerja Soeprayitno mengatakan, berdasarkan UU SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT Taspen tidak termasuk dalam badan yang menyelenggarakan jaminan sosial. Sehingga yang berhak untuk menyelenggarakan jaminan sosial berupa jaminan kematian dan kecelakaan kerja bagi ASN dan non-ASN adalah BPJS Ketenagakerjaan.
"PT Taspen mengklaim bahwa dia itu adalah BPJS untuk ASN, tapi di UU SJSN maupun BPJS, PT Taspen sendiri harus terintegrasi dengan BPJS. Artinya jika PP itu terbit maka konsiderannya harus disesuaikan dengan UU SJSN dan UU BPJS, dimana sebenarnya itu (Taspen) itu tidak ada, harus terintegrasi dengan BPJS," ujar Soeprayitno saat dikonfirmasi wartawan, di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Dia menegaskan jika PT Taspen ingin mengelola jaminan sosial ketenagakerjaan untuk ASN, PPPK serta pekerja non ASN, prosesnya menjadi lebih rumit karena harus mengamandemen UU BPJS. "Harusnya aturan yang diterbitkan diselaraskan dengan UU yang ada yakni UU SJSN dan UU BPJS. Jika Taspen ingin menyelenggarakan Jaminan Kematian dan Kecelakaan Kerja, maka perlu mengamandemen UU BPJS,” tegasnya.
Dia menyarankan, agar tidak terjadi polemik antara Taspen dan BPJS Ketenagakerjaan, seharusnya dua institusi ini bisa berdialog untuk menemukan solusi terhadap jaminan sosial bagi ASN dan non-ASN. Pasalnya, jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan sudah komprehensif ada jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
"UU BPJS harus jadi acuan dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Harus diselaraskan aturannya. Kalau tidak mau yah Undang-undangnya direvisi atau dikeluarkan Perpu," tandasnya.
Hal senada juga ditegaskan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar yang menilai seharusnya tidak ada lagi polemik terkait pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, karena jika mengacu kepada UU SJSN, seharusnya pelaksanaan jaminan sosial PPPK dan honorer harus kelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Lebih jauh Timboel menilai ada dampak positif dari segi pembiayaan jika ASN gabung ke BPJS Ketenagakerjaan. "Kalau melihat sisi pembiayaan ASN gabung BPJS Ketenagakerjaan, maka akan membantu APBN, kalau PP 66/2017 di pasal 30 bilang iuran JKM naik 0,72% (dari gaji pokok) sebelumnya 0,3% naik ke 0,72% jadi iuran segitu, sementara JKK tetap," kata dia.
Poinnya, jelas dia, kalau 0,72% dibanding 0,3% PPPK dan sebagainya dibayar bisa lebih mahal. Namun, jika dibayarkan ke BPJS Ketenagakerjaan ada kelebihan 0,42%. "Saya sudah hitung PNS dengan kelebihan 0,42% nilainya sampai Rp1,2 triliun. Jadi ada inefisiensi segitu. PPPK honorer dan sebagainya kalau diberlakukan juga akan jadi defisit lagi ini rugikan APBN," paparnya.
Selain itu, lanjut Timboel, PT Taspen sendiri bukan lembaga nirlaba seperti prinsip SJSN yang selama ini dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan, dimana BPJS memastikan dengan iuran yang tidak memberatkan dan harus dikelola dengan optimal untuk kepentingan peserta, termasuk terus meningkatkan manfaat, bukan untuk mencari keuntungan.
Dari segi manfaat yang didapatkan oleh peserta, Timboel juga mnilai pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan ASN lebih tepat dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
"BPJS Ketenagakerjaan menjalankan prinsip gotong royong. Mereka mampu memberikan pelayanan lebih. Potensi peningkatan manfaat lebih banyak. Dibandingkan segmented. Lagi pula kenapa JKM dan JKK harus dipisah pisah," kata Timboel.
Penegasan DJSN tersebut mengacu pada terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Dimana PP tersebut merupakan implementasi dari isi UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menegaskan bahwa, program perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Anggota DJSN dari unsur pemberi kerja Soeprayitno mengatakan, berdasarkan UU SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT Taspen tidak termasuk dalam badan yang menyelenggarakan jaminan sosial. Sehingga yang berhak untuk menyelenggarakan jaminan sosial berupa jaminan kematian dan kecelakaan kerja bagi ASN dan non-ASN adalah BPJS Ketenagakerjaan.
"PT Taspen mengklaim bahwa dia itu adalah BPJS untuk ASN, tapi di UU SJSN maupun BPJS, PT Taspen sendiri harus terintegrasi dengan BPJS. Artinya jika PP itu terbit maka konsiderannya harus disesuaikan dengan UU SJSN dan UU BPJS, dimana sebenarnya itu (Taspen) itu tidak ada, harus terintegrasi dengan BPJS," ujar Soeprayitno saat dikonfirmasi wartawan, di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Dia menegaskan jika PT Taspen ingin mengelola jaminan sosial ketenagakerjaan untuk ASN, PPPK serta pekerja non ASN, prosesnya menjadi lebih rumit karena harus mengamandemen UU BPJS. "Harusnya aturan yang diterbitkan diselaraskan dengan UU yang ada yakni UU SJSN dan UU BPJS. Jika Taspen ingin menyelenggarakan Jaminan Kematian dan Kecelakaan Kerja, maka perlu mengamandemen UU BPJS,” tegasnya.
Dia menyarankan, agar tidak terjadi polemik antara Taspen dan BPJS Ketenagakerjaan, seharusnya dua institusi ini bisa berdialog untuk menemukan solusi terhadap jaminan sosial bagi ASN dan non-ASN. Pasalnya, jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan sudah komprehensif ada jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
"UU BPJS harus jadi acuan dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Harus diselaraskan aturannya. Kalau tidak mau yah Undang-undangnya direvisi atau dikeluarkan Perpu," tandasnya.
Hal senada juga ditegaskan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar yang menilai seharusnya tidak ada lagi polemik terkait pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, karena jika mengacu kepada UU SJSN, seharusnya pelaksanaan jaminan sosial PPPK dan honorer harus kelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Lebih jauh Timboel menilai ada dampak positif dari segi pembiayaan jika ASN gabung ke BPJS Ketenagakerjaan. "Kalau melihat sisi pembiayaan ASN gabung BPJS Ketenagakerjaan, maka akan membantu APBN, kalau PP 66/2017 di pasal 30 bilang iuran JKM naik 0,72% (dari gaji pokok) sebelumnya 0,3% naik ke 0,72% jadi iuran segitu, sementara JKK tetap," kata dia.
Poinnya, jelas dia, kalau 0,72% dibanding 0,3% PPPK dan sebagainya dibayar bisa lebih mahal. Namun, jika dibayarkan ke BPJS Ketenagakerjaan ada kelebihan 0,42%. "Saya sudah hitung PNS dengan kelebihan 0,42% nilainya sampai Rp1,2 triliun. Jadi ada inefisiensi segitu. PPPK honorer dan sebagainya kalau diberlakukan juga akan jadi defisit lagi ini rugikan APBN," paparnya.
Selain itu, lanjut Timboel, PT Taspen sendiri bukan lembaga nirlaba seperti prinsip SJSN yang selama ini dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan, dimana BPJS memastikan dengan iuran yang tidak memberatkan dan harus dikelola dengan optimal untuk kepentingan peserta, termasuk terus meningkatkan manfaat, bukan untuk mencari keuntungan.
Dari segi manfaat yang didapatkan oleh peserta, Timboel juga mnilai pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan ASN lebih tepat dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
"BPJS Ketenagakerjaan menjalankan prinsip gotong royong. Mereka mampu memberikan pelayanan lebih. Potensi peningkatan manfaat lebih banyak. Dibandingkan segmented. Lagi pula kenapa JKM dan JKK harus dipisah pisah," kata Timboel.
(fjo)