RI Sibuk Kejar Industri 4.0, Jepang Masuki Era Society 5.0
A
A
A
TOKYO - Ketika Indonesia sibuk mengejar revolusi industri 4.0, Jepang lebih maju satu langkah dengan kesiapan mereka menerapkan Society 5.0.
Negeri Sakura kini berambisi mendigitalisasi seluruh aspek kehidupan mengingat semakin memburuknya krisis buruh dan pesatnya penuaan penduduk di negara itu.
Kesiapan Jepang menuju era society 5.0 sebenarnya sudah dimulai diperkenalkan pada Juni 2017 silam. Saat itu, Kantor Perdana Menteri Jepang merilis rincian strategis, termasuk penggunaan teknologi baru untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan ekonomi. Tekad menerapkan era super pintar itu kembali disampaikan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada ajang Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) akhir bulan lalu di Davos, Swiss.
“Kami menemukan solusi untuk berbagai masalah yang sebelumnya sulit diselesaikan,” ujar Abe dikutip Reuters.
Menurut Abe masalah utama Jepang adalah populasi yang menua, di mana sekitar 26% penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun. Kondisi itu membuat Jepang kekurangan tenaga kerja produktif dan menebarkan pesimisme di masyarakat Jepang.
“Lima tahun lalu, ada tembok keputusasaan, tembok pesimisme dan sejak saat itu, populasi usia kerja kami anjlok 4,5 juta orang,” ujar Abe.
Atas kondisi tersebut, Pemerintahan Abe meluncurkan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam tenaga kerja dan dilakukan legislasi yang membuka pintu bagi lebih banyak tenaga kerja asing.
Dilansir dari www.gov-online.go.jap, contoh implementasi Society 5.0 di Jepang ialah seperti pengiriman paket menggunakan drone tanpa awak.
Kehidupan sehari-hari juga akan berubah dengan hadirnya aplikasi pintar berbasis AI yang dipasang di rumah seperti di pintu kulkas. Melalui teknologi tersebut, warga Jepang dapat melihat saran makanan dan bumbu sesuai musim atau resep memasak. Mereka juga dapat melihat data pasokan pangan yang masih tersedia.
Society 5.0 bukan hanya tentang teknologi, tapi juga kebijakan dan regulasi. Pemerintah Jepang mendorong pebisnis setempat untuk berbagi big data dan meningkatkan kerja sama untuk menciptakan inovasi baru. Saat ini, kemampuan perusahaan masih terbatas karena data yang diperlukan dimiliki entitas lain.
Pada masa depan, sektor swasta dan umum dapat bekerja sama untuk menciptakan sistem baru yang lebih aman dan efektif. Hal itu dinilai akan mendorong lebih banyak perusahaan untuk berbagi informasi dan mengizinkan perusahaan lain menggunakan data mereka guna mengembangkan produk yang lebih baik dan bagus.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Saat ini Pemerintah sedang menggalakan penerapan revolusi industri 4.0. Semua sektor terutama di industri gencar mengampanyekan revolusi industri yang memanfaatkan teknologi internet sebagai back bone-nya.
Di samping itu, pemerintah juga juga bersama-sama dengan para pemangku kepentingan terus mengembangkan peran dan kemampuan skill sumber daya manusia (SDM) untuk mengisi era industri 4.0.
Untuk mengejar ketertinggalan dari Jepang yang memasuki era 5.0, Indonesia dinilai masih perlu waktu. Pasalnya, masih banyak kebutuhan dasar masyarakat yang perlu dibenahi. Misalnya saja, transportasi, SDM, hingga infrastruktur.
Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) R Agus Sartono mengakui, saat ini Indonesia masih kalah satu hingga dua langkah dibelakang Jepang.
“Ambil contoh kita masih berkutat mengintegrasikan moda transportasi. Sementara di era Society 5.0 masalah transportasi itu sudah nirdriver atau autodriver,’’ ujar Agus ketika dihubungi KORAN SINDO baru-baru ini.
Profesor di bidang keuangan ini melanjutkan, Jepang memang lebih maju karena sudah membangun big data jauh sebelum Indonesia heboh membahas Revolusi Industri 4.0. Sementara saat ini, kata dia, Indonesia masih jauh dari membangun big data.
Menurut Agus, yang terpenting dilakukan saat ini adalah Indonesia harus menjalankan Revolusi Industri 4.0 sementara di saat bersamaan Jepang menyiapkan untuk masuk ke 5.0.
Dia menambahkan, keberlanjutan sebuah program sangat penting, sebab jika tidak dikejar akan muncul kesenjangan (gap) kemampuan beradaptasi antar era teknologi.
“Kita harus fokus ke 4.0 sambil memperkecil disparitas. Sebab disparitas itu akan membahayakan. Kuncinya yakni di kerja keras, kualitas pendidikan diperbaiki karena dengan pendidikan yang baik maka gap akan mengecil,” ujarnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat berpendapat, perkembangan masyarakat di Indonesia tidak linier dan homogen seperti di Jepang. Di Indonesia, kata dia, populasinya sangat besar, beragam dan tidak merata.
Dia menambahkan, saat ini Indonesia juga menghadapi tantangan yakni anggaran riset yang masih terbagi-bagi sehingga hasilnya tidak optimal untuk mendongkrak inovasi teknologi. Selain itu juga Indonesia saat ini masih menjadi pangsa pasar produk asing. “Padahal kita punya bahan dasarnya. Banyak orang pintar tapi banyak yang idle atau akhirnya kerja diluar negeri,’’ ucapnya.
Perlombaan Teknologi
Pengamat Marketing Yuswohady mengatakan, kemunculan grand inisiatif Society 5.0 yang dicanangkan Jepang tidak lepas dari perlombaan teknologi antar negara-negara maju utama khususnya Amerika Serikat (AS), Jerman, dan Jepang.
Menurut dia, kelahiran teknologi yang mendisrupsi dengan memanfaatkan big data, internet of thing (IoT), artificial intelligence (AI), robotic hingga blockchain telah memicu negara-negara maju untuk berlomba agar bisa memimpin dunia melalui kekuatan ekonomi dan teknologi.
“Itulah yang mendorong Jerman pada 2014 mengeluarkan inisiatif high-tech strategies yang kini dikenal luar sebagai Industry 4.0,” kata pria yang akrab dipanggil Yuswo itu.
Yuswo menambahkan, negara seperti AS sebenarnya tidak memiliki inisiatif khusus dari pemerintahnya. Namun, inisiatif perkembangan teknologi tersebut dijalankan secara efektif oleh swasta melalui raksasa-raksasa digital di Silicon Valley seperti Google, Facebook, Apple, dan Amazon.
Terkait pesatnya perkembangan teknologi di Jepang yang mengarah pada inisiatif Society 5.0, Yuswo menilai hal tersebut sebagai respons atas populasi penduduk di negara itu yang kian menua. Untuk itu, Jepang mengambil spesialisasi di empat bidang yang berbeda dari Jerman maupun AS yaitu: healtcare, mobility, infrastructure, fintech.
“Dari sisi teknologi yang diimplementasi, pendekatan Society 5.0 sesungguhnya tak jauh beda. Yang membedakan adalah titik pandang dan perspektifnya. Kalau Industry 4.0 (Jerman) dan AS lebih fokus kepada pengembangan teknologi, maka Society 5.0 menggunakan pendekatan yang lebih “human-focused”,” ujar Yuswo.
Dengan konsep seperti itu, Pemerintah Jepang melihat bahwa teknologi masa depan seperti AI, harus tetap menempatkan manusia sebagai pengendali dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemanfaatan manusia yaitu dengan menciptakan super-smart society untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Jepang.
Yuswo menambahkan, Jepang terbukti telah berhasil membuat inisiatif dalam pengembangan industri autpomotif pada tahun 1970-an. Saat itu Jepang melakukan hal yang sama dengan konsep lean manufacturing yang kemudian menempatkan Toyota sebagai pemimpin industri otomotif dunia. “Kejayaan itu rupanya mau diulang lagi dengan inisiatif Society 5.0 ini,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Raden Pardede mengatakan, Indonesia mau tidak mau harus mengejar ketertinggalan revolusi industri. Pasalnya Indonesia masih berada pada old industry di mana masih banyak menggunakan Industri 1.0 dengan keterampilan rendah dan menengah.
“Di sini dunia Industri Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan maupun peluang di era industri 4.0, khususnya bagi tenaga kerja Indonesia terjadi job destruction,” kata dia.
Menurut Pardede, pada prosesnya maka harus pandai melihat tantangan maupun peluang Industri 4.0. Adapun tantangan utama menghadapi Industri 4.0 ialah SDM karena revolusi industri keempat ini mengalami dua fase yakni fase job disruption dan fase job creation.
Pemerhati Komunikasi Digital Firman Kurniawan menilai, harus ada pelibatan perguruan tinggi dalam menyiapkan SDM menghadapi Industri 4.0.
Dia mengkritisi, kesiapan SDM menghadapi Industri 4.0 masih gagap. Untuk itu, pemerintah wajib mengejar ketertinggalan revolusi industri untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. (Neneng Zubaidah/Ichsan Amin/Nanang Wijayanto/Muh Shamil)
Negeri Sakura kini berambisi mendigitalisasi seluruh aspek kehidupan mengingat semakin memburuknya krisis buruh dan pesatnya penuaan penduduk di negara itu.
Kesiapan Jepang menuju era society 5.0 sebenarnya sudah dimulai diperkenalkan pada Juni 2017 silam. Saat itu, Kantor Perdana Menteri Jepang merilis rincian strategis, termasuk penggunaan teknologi baru untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan ekonomi. Tekad menerapkan era super pintar itu kembali disampaikan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada ajang Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) akhir bulan lalu di Davos, Swiss.
“Kami menemukan solusi untuk berbagai masalah yang sebelumnya sulit diselesaikan,” ujar Abe dikutip Reuters.
Menurut Abe masalah utama Jepang adalah populasi yang menua, di mana sekitar 26% penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun. Kondisi itu membuat Jepang kekurangan tenaga kerja produktif dan menebarkan pesimisme di masyarakat Jepang.
“Lima tahun lalu, ada tembok keputusasaan, tembok pesimisme dan sejak saat itu, populasi usia kerja kami anjlok 4,5 juta orang,” ujar Abe.
Atas kondisi tersebut, Pemerintahan Abe meluncurkan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam tenaga kerja dan dilakukan legislasi yang membuka pintu bagi lebih banyak tenaga kerja asing.
Dilansir dari www.gov-online.go.jap, contoh implementasi Society 5.0 di Jepang ialah seperti pengiriman paket menggunakan drone tanpa awak.
Kehidupan sehari-hari juga akan berubah dengan hadirnya aplikasi pintar berbasis AI yang dipasang di rumah seperti di pintu kulkas. Melalui teknologi tersebut, warga Jepang dapat melihat saran makanan dan bumbu sesuai musim atau resep memasak. Mereka juga dapat melihat data pasokan pangan yang masih tersedia.
Society 5.0 bukan hanya tentang teknologi, tapi juga kebijakan dan regulasi. Pemerintah Jepang mendorong pebisnis setempat untuk berbagi big data dan meningkatkan kerja sama untuk menciptakan inovasi baru. Saat ini, kemampuan perusahaan masih terbatas karena data yang diperlukan dimiliki entitas lain.
Pada masa depan, sektor swasta dan umum dapat bekerja sama untuk menciptakan sistem baru yang lebih aman dan efektif. Hal itu dinilai akan mendorong lebih banyak perusahaan untuk berbagi informasi dan mengizinkan perusahaan lain menggunakan data mereka guna mengembangkan produk yang lebih baik dan bagus.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Saat ini Pemerintah sedang menggalakan penerapan revolusi industri 4.0. Semua sektor terutama di industri gencar mengampanyekan revolusi industri yang memanfaatkan teknologi internet sebagai back bone-nya.
Di samping itu, pemerintah juga juga bersama-sama dengan para pemangku kepentingan terus mengembangkan peran dan kemampuan skill sumber daya manusia (SDM) untuk mengisi era industri 4.0.
Untuk mengejar ketertinggalan dari Jepang yang memasuki era 5.0, Indonesia dinilai masih perlu waktu. Pasalnya, masih banyak kebutuhan dasar masyarakat yang perlu dibenahi. Misalnya saja, transportasi, SDM, hingga infrastruktur.
Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) R Agus Sartono mengakui, saat ini Indonesia masih kalah satu hingga dua langkah dibelakang Jepang.
“Ambil contoh kita masih berkutat mengintegrasikan moda transportasi. Sementara di era Society 5.0 masalah transportasi itu sudah nirdriver atau autodriver,’’ ujar Agus ketika dihubungi KORAN SINDO baru-baru ini.
Profesor di bidang keuangan ini melanjutkan, Jepang memang lebih maju karena sudah membangun big data jauh sebelum Indonesia heboh membahas Revolusi Industri 4.0. Sementara saat ini, kata dia, Indonesia masih jauh dari membangun big data.
Menurut Agus, yang terpenting dilakukan saat ini adalah Indonesia harus menjalankan Revolusi Industri 4.0 sementara di saat bersamaan Jepang menyiapkan untuk masuk ke 5.0.
Dia menambahkan, keberlanjutan sebuah program sangat penting, sebab jika tidak dikejar akan muncul kesenjangan (gap) kemampuan beradaptasi antar era teknologi.
“Kita harus fokus ke 4.0 sambil memperkecil disparitas. Sebab disparitas itu akan membahayakan. Kuncinya yakni di kerja keras, kualitas pendidikan diperbaiki karena dengan pendidikan yang baik maka gap akan mengecil,” ujarnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat berpendapat, perkembangan masyarakat di Indonesia tidak linier dan homogen seperti di Jepang. Di Indonesia, kata dia, populasinya sangat besar, beragam dan tidak merata.
Dia menambahkan, saat ini Indonesia juga menghadapi tantangan yakni anggaran riset yang masih terbagi-bagi sehingga hasilnya tidak optimal untuk mendongkrak inovasi teknologi. Selain itu juga Indonesia saat ini masih menjadi pangsa pasar produk asing. “Padahal kita punya bahan dasarnya. Banyak orang pintar tapi banyak yang idle atau akhirnya kerja diluar negeri,’’ ucapnya.
Perlombaan Teknologi
Pengamat Marketing Yuswohady mengatakan, kemunculan grand inisiatif Society 5.0 yang dicanangkan Jepang tidak lepas dari perlombaan teknologi antar negara-negara maju utama khususnya Amerika Serikat (AS), Jerman, dan Jepang.
Menurut dia, kelahiran teknologi yang mendisrupsi dengan memanfaatkan big data, internet of thing (IoT), artificial intelligence (AI), robotic hingga blockchain telah memicu negara-negara maju untuk berlomba agar bisa memimpin dunia melalui kekuatan ekonomi dan teknologi.
“Itulah yang mendorong Jerman pada 2014 mengeluarkan inisiatif high-tech strategies yang kini dikenal luar sebagai Industry 4.0,” kata pria yang akrab dipanggil Yuswo itu.
Yuswo menambahkan, negara seperti AS sebenarnya tidak memiliki inisiatif khusus dari pemerintahnya. Namun, inisiatif perkembangan teknologi tersebut dijalankan secara efektif oleh swasta melalui raksasa-raksasa digital di Silicon Valley seperti Google, Facebook, Apple, dan Amazon.
Terkait pesatnya perkembangan teknologi di Jepang yang mengarah pada inisiatif Society 5.0, Yuswo menilai hal tersebut sebagai respons atas populasi penduduk di negara itu yang kian menua. Untuk itu, Jepang mengambil spesialisasi di empat bidang yang berbeda dari Jerman maupun AS yaitu: healtcare, mobility, infrastructure, fintech.
“Dari sisi teknologi yang diimplementasi, pendekatan Society 5.0 sesungguhnya tak jauh beda. Yang membedakan adalah titik pandang dan perspektifnya. Kalau Industry 4.0 (Jerman) dan AS lebih fokus kepada pengembangan teknologi, maka Society 5.0 menggunakan pendekatan yang lebih “human-focused”,” ujar Yuswo.
Dengan konsep seperti itu, Pemerintah Jepang melihat bahwa teknologi masa depan seperti AI, harus tetap menempatkan manusia sebagai pengendali dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemanfaatan manusia yaitu dengan menciptakan super-smart society untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Jepang.
Yuswo menambahkan, Jepang terbukti telah berhasil membuat inisiatif dalam pengembangan industri autpomotif pada tahun 1970-an. Saat itu Jepang melakukan hal yang sama dengan konsep lean manufacturing yang kemudian menempatkan Toyota sebagai pemimpin industri otomotif dunia. “Kejayaan itu rupanya mau diulang lagi dengan inisiatif Society 5.0 ini,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Raden Pardede mengatakan, Indonesia mau tidak mau harus mengejar ketertinggalan revolusi industri. Pasalnya Indonesia masih berada pada old industry di mana masih banyak menggunakan Industri 1.0 dengan keterampilan rendah dan menengah.
“Di sini dunia Industri Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan maupun peluang di era industri 4.0, khususnya bagi tenaga kerja Indonesia terjadi job destruction,” kata dia.
Menurut Pardede, pada prosesnya maka harus pandai melihat tantangan maupun peluang Industri 4.0. Adapun tantangan utama menghadapi Industri 4.0 ialah SDM karena revolusi industri keempat ini mengalami dua fase yakni fase job disruption dan fase job creation.
Pemerhati Komunikasi Digital Firman Kurniawan menilai, harus ada pelibatan perguruan tinggi dalam menyiapkan SDM menghadapi Industri 4.0.
Dia mengkritisi, kesiapan SDM menghadapi Industri 4.0 masih gagap. Untuk itu, pemerintah wajib mengejar ketertinggalan revolusi industri untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. (Neneng Zubaidah/Ichsan Amin/Nanang Wijayanto/Muh Shamil)
(nfl)