Hidup Hemat dan Jauh dari Budaya Konsumtif
A
A
A
AROKIASWAMY Velumani, 57, merupakan seorang wiraswasta teladan di India. Dia sendiri tak menyangka dapat sukses menjalankan bisnis diagnostik dan patologi di bawah payung Thyrocare Technologies Limited yang kini memiliki valuasi sekitar 3,6 triliun rupee India. Kesuksesan itu dia panjat dari kemiskinan dan kemelaratan.
Velumani juga memiliki cara dan jalan tersendiri dalam men ja lankan bisnisnya. Dia tidak meng ikuti praktik mainstream atau strategi konvensional. Dalam hal perekrutan karyawan misalnya, ilmuwan India itu lebih senang mem pekerjakan dan melatih karyawan baru di perusahaannya dibanding karyawan berpengalaman.
“Saat ini saya memiliki lebih dari 1.000 karyawan. Hampir semuanya melihat saya sebagai majikan pertama, hanya sekitar 2% karyawan saya yang memiliki pengalaman kerja sebelumnya,” ujar Velumani sambil duduk di kantor perusahaannya di Navi Mumbai, dikutip theweekend leader. com. “Usianya rata-rata 25 tahun,” sebutnya.
Velumani menambahkan, Thyrocare memperoleh omzet sekitar 2,35 miliar rupee India pada 2015-2016 dan memberikan rata-rata gaji kepada kar yawan sekitar 270.000 rupee India per tahun.
Pada April 2016, Thyrocare membuat sebuah kejutan di bursa saham India karena kelebihan permintaan sebanyak 73 kali lipat saat me lakukan IPO. Thyrocare memiliki 1.200 waralaba di seluruh India, tempat sampel darah dan serum yang dikumpulkan langsung dari pasien atau rumah sakit.
Semua sampel itu kemudian dibawa menuju laboratorium yang dilengkapi teknologi otomatis di Mumbai untuk pengujian. Pangsa pasarnya untuk pengujian tiroid mencapai 10%. Velumani merupakan seorang pengusaha yang tumbuh di sebuah wilayah terpencil di dekat Coimbatore, Tamil Nadu.
Saat kecil, sepulang sekolah, dia bekerja di ladang untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Meski orang tuanya petani, mereka tidak me miliki tanah sejengkal pun dan bekerja di tanah orang.
Dengan penghasilan yang pas-pasan, Velumani dan ketiga saudaranya; 1 kakak sulung dan 2 adik, kesulitan membayar biaya sekolah. Dia mengandalkan subsidi dan beasiswa dari pemerintah untuk dapat terus mencari ilmu hingga keperguruan tinggi.
Dengan kegigihan dan kecerdasannya, Velumani akhirnya kuliah. “Dalam piramida, saya berada di barisan paling bawah, tapi kini berada paling atas. Dulu, saya tidak punya uang, tapi banyak waktu. Kini, saya punya banyak uang, tapi tidak punya banyak waktu,” ujar Velumani.
“Dulu, saya kelaparan, tapi tidak punya makanan. Kini, saya punya banyak makanan dan tidak kelaparan lagi,” tukasnya. Velumani tidak lupa daratan dan selalu mengingat masa lalunya yang suram.
Dia mengaku selalu membawa piring ke sekolah untuk mengambil makanan yang dibagikan pemerintah pada siang hari. Dia juga menjadi satusatunya murid sekolah yang tidak menerima album perpisahan karena tidak mampu membayar.
Meski demikian, Velumani patut bersyukur karena banyak anak lain yang lebih menderita dari dirinya. “Saya tetap optimistis dan merasa tetap lebih kaya. Saya masih bisa makan 60 kali dalam sebulan ketika anak-anak seusia saya yang lain bahkan tidak makan sampai 30 kali sebulan. Mereka lebih miskin,” katanya.
Velumani mulai mendaki piramida kesuksesan pada 1978 saat memperoleh pekerjaan pertama sebagai ahli kimia di Gemini Cap sules, perusahaan pembuat tablet, dengan gaji 150 rupee India.
Lulusan Rama krishna Mission Vidyalaya tersebut berharap dapat bekerja di India South Viscose, perusahaan besar rayon yang kini bangkrut.
“Karyawan Viscose mendapatkan bonus sebesar 40% dari gaji mereka dan itu menarik saya untuk bekerja di sana. Namun, saya tidak masuk karena tidak memiliki pengalaman mumpuni. Banyak perusahaan lain yang juga menolak lamaran saya dengan alasan yang sama,” papar Velumani. “Cap sules pun tidak lama bertahan,” ucapnya.
Pada usia 23 tahun, Velumani mencari pekerjaan baru dan di terima di Pusat Penelitian Atom Bhaba (BARC) di Mumbai pada 1982. Bagi dirinya, gaji sebesar 880 rupee India merupakan sebuah kemewahan. Faktanya, dia dapat membantu mengangkat kesejahteraan keluarganya di kampung dan merayakan pesta pernikahan dengan Sumathi.
Saat bekerja di BARC, Velumani melanjutkan pendidikan S-2 melalui program kolaboratif antara BARC dan Universitas Mumbai dan mendapatkan gelar doktor di bidang biokimia tiroid. Pada 1995 atau hampir 15 tahun setelah bergabung dengan BARC, Velumani merasa terlalu nyaman dan menginginkan tantangan baru.
“Ketika saya resign, keluarga saya menangis. Namun, istri saya mendukung saya dan meninggalkan pekerjaannya untuk membantu bisnis saya,” terang Velumani. “Kami menghasilkan 10.000 rupee India per bulan dan mengelola keuangan sebaik mungkin. Kami bukan kikir, tapi tidak ingin diperbudak dengan perilaku konsumtif,” tandasnya. (Muh Shamil)
Velumani juga memiliki cara dan jalan tersendiri dalam men ja lankan bisnisnya. Dia tidak meng ikuti praktik mainstream atau strategi konvensional. Dalam hal perekrutan karyawan misalnya, ilmuwan India itu lebih senang mem pekerjakan dan melatih karyawan baru di perusahaannya dibanding karyawan berpengalaman.
“Saat ini saya memiliki lebih dari 1.000 karyawan. Hampir semuanya melihat saya sebagai majikan pertama, hanya sekitar 2% karyawan saya yang memiliki pengalaman kerja sebelumnya,” ujar Velumani sambil duduk di kantor perusahaannya di Navi Mumbai, dikutip theweekend leader. com. “Usianya rata-rata 25 tahun,” sebutnya.
Velumani menambahkan, Thyrocare memperoleh omzet sekitar 2,35 miliar rupee India pada 2015-2016 dan memberikan rata-rata gaji kepada kar yawan sekitar 270.000 rupee India per tahun.
Pada April 2016, Thyrocare membuat sebuah kejutan di bursa saham India karena kelebihan permintaan sebanyak 73 kali lipat saat me lakukan IPO. Thyrocare memiliki 1.200 waralaba di seluruh India, tempat sampel darah dan serum yang dikumpulkan langsung dari pasien atau rumah sakit.
Semua sampel itu kemudian dibawa menuju laboratorium yang dilengkapi teknologi otomatis di Mumbai untuk pengujian. Pangsa pasarnya untuk pengujian tiroid mencapai 10%. Velumani merupakan seorang pengusaha yang tumbuh di sebuah wilayah terpencil di dekat Coimbatore, Tamil Nadu.
Saat kecil, sepulang sekolah, dia bekerja di ladang untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Meski orang tuanya petani, mereka tidak me miliki tanah sejengkal pun dan bekerja di tanah orang.
Dengan penghasilan yang pas-pasan, Velumani dan ketiga saudaranya; 1 kakak sulung dan 2 adik, kesulitan membayar biaya sekolah. Dia mengandalkan subsidi dan beasiswa dari pemerintah untuk dapat terus mencari ilmu hingga keperguruan tinggi.
Dengan kegigihan dan kecerdasannya, Velumani akhirnya kuliah. “Dalam piramida, saya berada di barisan paling bawah, tapi kini berada paling atas. Dulu, saya tidak punya uang, tapi banyak waktu. Kini, saya punya banyak uang, tapi tidak punya banyak waktu,” ujar Velumani.
“Dulu, saya kelaparan, tapi tidak punya makanan. Kini, saya punya banyak makanan dan tidak kelaparan lagi,” tukasnya. Velumani tidak lupa daratan dan selalu mengingat masa lalunya yang suram.
Dia mengaku selalu membawa piring ke sekolah untuk mengambil makanan yang dibagikan pemerintah pada siang hari. Dia juga menjadi satusatunya murid sekolah yang tidak menerima album perpisahan karena tidak mampu membayar.
Meski demikian, Velumani patut bersyukur karena banyak anak lain yang lebih menderita dari dirinya. “Saya tetap optimistis dan merasa tetap lebih kaya. Saya masih bisa makan 60 kali dalam sebulan ketika anak-anak seusia saya yang lain bahkan tidak makan sampai 30 kali sebulan. Mereka lebih miskin,” katanya.
Velumani mulai mendaki piramida kesuksesan pada 1978 saat memperoleh pekerjaan pertama sebagai ahli kimia di Gemini Cap sules, perusahaan pembuat tablet, dengan gaji 150 rupee India.
Lulusan Rama krishna Mission Vidyalaya tersebut berharap dapat bekerja di India South Viscose, perusahaan besar rayon yang kini bangkrut.
“Karyawan Viscose mendapatkan bonus sebesar 40% dari gaji mereka dan itu menarik saya untuk bekerja di sana. Namun, saya tidak masuk karena tidak memiliki pengalaman mumpuni. Banyak perusahaan lain yang juga menolak lamaran saya dengan alasan yang sama,” papar Velumani. “Cap sules pun tidak lama bertahan,” ucapnya.
Pada usia 23 tahun, Velumani mencari pekerjaan baru dan di terima di Pusat Penelitian Atom Bhaba (BARC) di Mumbai pada 1982. Bagi dirinya, gaji sebesar 880 rupee India merupakan sebuah kemewahan. Faktanya, dia dapat membantu mengangkat kesejahteraan keluarganya di kampung dan merayakan pesta pernikahan dengan Sumathi.
Saat bekerja di BARC, Velumani melanjutkan pendidikan S-2 melalui program kolaboratif antara BARC dan Universitas Mumbai dan mendapatkan gelar doktor di bidang biokimia tiroid. Pada 1995 atau hampir 15 tahun setelah bergabung dengan BARC, Velumani merasa terlalu nyaman dan menginginkan tantangan baru.
“Ketika saya resign, keluarga saya menangis. Namun, istri saya mendukung saya dan meninggalkan pekerjaannya untuk membantu bisnis saya,” terang Velumani. “Kami menghasilkan 10.000 rupee India per bulan dan mengelola keuangan sebaik mungkin. Kami bukan kikir, tapi tidak ingin diperbudak dengan perilaku konsumtif,” tandasnya. (Muh Shamil)
(nfl)