Skema Baru Penyediaan Hunian Terjangkau
A
A
A
JAKARTA - JAKARTA masih menghadapi backlog hunian yang diperkirakan mencapai 300.000 unit. Untuk berupaya mengatasi hal tersebut, skema pembangunan dan finansial inovatif menjadi salah satu upaya membantu pemenuhan hunian terjangkau namun juga penataan perkampungan. Skema ini tidak menggusur, tetapi menata warga dengan menggesernya ke unit vertikal di area sama.
“Skema ini merupakan solusi penataan kawasan yang lebih ramah dan tidak merugikan. Karena itu, tidak hanya memberikan kehidupan yang lebih layak, kita juga turut menjaga martabatnya sebagai manusia,” ujar Direktur Eksekutif JPI Wendy Haryanto.
Pada skema ini, lanjut dia, banyak pihak dapat berperan aktif dalam tahap pendanaan dan pembangunan, terutama sektor swasta. Menurut Wendy, ide ini muncul dari kesulitan pengembang dalam mengeksekusi kewajiban fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang bisa jadi terletak di dekat perkampungan. Kewajiban ini tertera pada surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT).
“Apabila lahan pengembang yang harus diserahkan berada di dekat area perkampungan, maka sangat mungkin lahan tersebut digunakan untuk fasos atau fasum dalam membangun lahan hunian vertikal yang pertama.
Tentu biaya ditanggung pengembang untuk memenuhi kewajiban SIPPT tadi. Selanjutnya, warga sekitar bisa pindah ke sana dan lahan sebelumnya dibangun hunian baru,” katanya. Untuk menyukseskan skema ini, kata Wendy, pemerintah bisa merangkul sektor swasta.
Pemerintah memegang peran penting dalam proses relokasi warga, pendataan tiap-tiap keluarga, dan juga sosialisasi. “Terutama sosialisasi bahwa mereka tidak kehilangan asetnya karena unit yang mereka tinggali berstatus hak milik,” katanya.
Wendy mengatakan, kawasan akan dilengkapi fasilitas umum dan sosial yang lengkap seperti kesehatan, pendidikan, rumah ibadah, dan ruang terbuka hijau. Terlebih lagi, dengan tidak adanya perpindahan lokasi, mata pencaharian mereka tidak akan hilang, justru dapat berkembang.
Karena itu, warga dapat tetap bekerja dan berdagang seperti biasa. Di Jakarta, penataan pemukiman kumuh sering kali terkendala resistensi warga setempat yang menolak digusur.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah rumah kumuh di Jakarta mencapai 181.256 unit, dengan kategori kumuh berat sebanyak 21.720 unit yang tersebar di 279 RW kumuh.
Diketahui, terdapat tujuh permasalahan utama pada permukiman kumuh di Jakarta. Permasalahan tersebut adalah kondisi bangunan yang tidak sesuai persyaratan teknis, aksesibilitas jalan lingkungan yang tidak memadai, jaringan drainase dengan kualitas buruk, tidak terpenuhinya layanan air minum, pembuangan air limbah yang bercampur drainase lingkungan, pengelolaan sampah yang buruk, serta tidak adanya sarana proteksi kebakaran.
Banyaknya permasalahan tersebut, tentunya memengaruhi kualitas hidup warga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh. Wajah kota pun ikut tercemar dengan adanya kawasan kumuh di balik megahnya gedung-gedung tinggi.
Dengan begitu, penataan harus dilakukan agar warga di kawasan tersebut dapat hidup lebih layak dan lahan dapat tertata dengan lebih baik. “JPI bersedia untuk menjembatani dialog antara pihak swasta dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam peningkatan kualitas permukiman di Jakarta dalam bentuk hunian vertikal terjangkau,” sebut Wendy.
Terbentuk sejak 2015, JPI adalah lembaga nonprofit yang memiliki misi membantu Jakarta menjadi kota lebih layak huni dan mendorong praktik industri properti modern.
JPI melakukan penelitian, memberi rekomendasi inovasi, dan praktik-praktik pengelolaan kota terbaik dari negara yang sukses, serta memfasilitasi dialog para pemangku kepentingan untuk mengatasi permasalahan di Jakarta yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan standar hidup perkotaan.
Anggota JPI adalah para pelaku industri properti yang siap memberikan kontribusi optimal untuk mewujudkan Jakarta yang berkelanjutan. Diketahui, ketersediaan tanah bagi perumahan dinilai menjadi kunci konsep hunian berimbang yang dirumuskan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Pasalnya, lokasi pembangunan bagi hunian kelas satu memiliki harga tanah yang tinggi. Hal itu membuat pengembang tidak dapat memenuhi pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti yang diwajibkan oleh aturan tersebut.
“Pengembang itu bukan tidak mau, masalahnya harga tanah sudah mahal kalau dipaksakan membangun rumah menengah ke bawah itu tidak mungkin,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda.
Sebelumnya pengembang diwajibkan membuat rumah menengah dan rumah untuk MBR ketika membangun perumahan kelas atas. Namun, hal itu terkendala pada ketersediaan tanah. Ali mencontohkan, harga tanah di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD). (Rendra Hanggara)
“Skema ini merupakan solusi penataan kawasan yang lebih ramah dan tidak merugikan. Karena itu, tidak hanya memberikan kehidupan yang lebih layak, kita juga turut menjaga martabatnya sebagai manusia,” ujar Direktur Eksekutif JPI Wendy Haryanto.
Pada skema ini, lanjut dia, banyak pihak dapat berperan aktif dalam tahap pendanaan dan pembangunan, terutama sektor swasta. Menurut Wendy, ide ini muncul dari kesulitan pengembang dalam mengeksekusi kewajiban fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang bisa jadi terletak di dekat perkampungan. Kewajiban ini tertera pada surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT).
“Apabila lahan pengembang yang harus diserahkan berada di dekat area perkampungan, maka sangat mungkin lahan tersebut digunakan untuk fasos atau fasum dalam membangun lahan hunian vertikal yang pertama.
Tentu biaya ditanggung pengembang untuk memenuhi kewajiban SIPPT tadi. Selanjutnya, warga sekitar bisa pindah ke sana dan lahan sebelumnya dibangun hunian baru,” katanya. Untuk menyukseskan skema ini, kata Wendy, pemerintah bisa merangkul sektor swasta.
Pemerintah memegang peran penting dalam proses relokasi warga, pendataan tiap-tiap keluarga, dan juga sosialisasi. “Terutama sosialisasi bahwa mereka tidak kehilangan asetnya karena unit yang mereka tinggali berstatus hak milik,” katanya.
Wendy mengatakan, kawasan akan dilengkapi fasilitas umum dan sosial yang lengkap seperti kesehatan, pendidikan, rumah ibadah, dan ruang terbuka hijau. Terlebih lagi, dengan tidak adanya perpindahan lokasi, mata pencaharian mereka tidak akan hilang, justru dapat berkembang.
Karena itu, warga dapat tetap bekerja dan berdagang seperti biasa. Di Jakarta, penataan pemukiman kumuh sering kali terkendala resistensi warga setempat yang menolak digusur.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah rumah kumuh di Jakarta mencapai 181.256 unit, dengan kategori kumuh berat sebanyak 21.720 unit yang tersebar di 279 RW kumuh.
Diketahui, terdapat tujuh permasalahan utama pada permukiman kumuh di Jakarta. Permasalahan tersebut adalah kondisi bangunan yang tidak sesuai persyaratan teknis, aksesibilitas jalan lingkungan yang tidak memadai, jaringan drainase dengan kualitas buruk, tidak terpenuhinya layanan air minum, pembuangan air limbah yang bercampur drainase lingkungan, pengelolaan sampah yang buruk, serta tidak adanya sarana proteksi kebakaran.
Banyaknya permasalahan tersebut, tentunya memengaruhi kualitas hidup warga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh. Wajah kota pun ikut tercemar dengan adanya kawasan kumuh di balik megahnya gedung-gedung tinggi.
Dengan begitu, penataan harus dilakukan agar warga di kawasan tersebut dapat hidup lebih layak dan lahan dapat tertata dengan lebih baik. “JPI bersedia untuk menjembatani dialog antara pihak swasta dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam peningkatan kualitas permukiman di Jakarta dalam bentuk hunian vertikal terjangkau,” sebut Wendy.
Terbentuk sejak 2015, JPI adalah lembaga nonprofit yang memiliki misi membantu Jakarta menjadi kota lebih layak huni dan mendorong praktik industri properti modern.
JPI melakukan penelitian, memberi rekomendasi inovasi, dan praktik-praktik pengelolaan kota terbaik dari negara yang sukses, serta memfasilitasi dialog para pemangku kepentingan untuk mengatasi permasalahan di Jakarta yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan standar hidup perkotaan.
Anggota JPI adalah para pelaku industri properti yang siap memberikan kontribusi optimal untuk mewujudkan Jakarta yang berkelanjutan. Diketahui, ketersediaan tanah bagi perumahan dinilai menjadi kunci konsep hunian berimbang yang dirumuskan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Pasalnya, lokasi pembangunan bagi hunian kelas satu memiliki harga tanah yang tinggi. Hal itu membuat pengembang tidak dapat memenuhi pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti yang diwajibkan oleh aturan tersebut.
“Pengembang itu bukan tidak mau, masalahnya harga tanah sudah mahal kalau dipaksakan membangun rumah menengah ke bawah itu tidak mungkin,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda.
Sebelumnya pengembang diwajibkan membuat rumah menengah dan rumah untuk MBR ketika membangun perumahan kelas atas. Namun, hal itu terkendala pada ketersediaan tanah. Ali mencontohkan, harga tanah di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD). (Rendra Hanggara)
(nfl)