Defisit Neraca Perdagangan Januari 2019 Terdalam Sejak 2013
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2019 defisit mencapai USD1,16 miliar. Defisit periode Januari tahun ini menjadi yang terdalam sejak 2013.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit pada Januari 2019 menjadi yang terbesar disebabkan adanya gejolak perekonomian global yang masih berlangsung . Hal itu memberikan dampak negatif bagi perdagangan internasional, termasuk perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utamanya.
"Jadi lebih karena harga komoditas yang enggak pasti. Dan ini semua kalau kita lihat, dari prediksi sampai Desember 2019 akan cenderung menurun harga komoditas," ujar Suhariyanto di Gedung Pusat BPS, Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Dia menambahkan, kondisi ini juga yang menyebabkan selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014, neraca perdagangan pada Januari trennya mengalami defisit. Terlebih komposisi ekspor Indonesia masih belum berubah, yakni didominasi barang-barang komoditas yang sangat sensitif terhadap perkembangan harga global.
Dia mencontohkan, komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang jadi komoditas utama ekspor Indonesia, harus mengalami penurunan kinerja ekspor. Pasalnya, meski volume ekspor meningkat 23,77%, namun harganya anjlok mencapai 13,56%.
"Sehingga kinerjanya jatuh, tercermin dari turunnya ekspor golongan barang lemak dan minyak hewan atau nabati mencapai 9,56%," kata dia.
Selain itu, ada komoditas batu bara yang harganya turun 7,76%, padahal volume ekspor naik 14,56%. "Tapi untuk karet, karena volume dan harganya turun yakni 8,8% dan 7,56%, itu membuat karet dan barang dari karet memang turun cukup dalam (kinerja ekspornya)," jelasnya.
Oleh sebab itu, lanjut dia, ke depan pemerintah harus mengganti komponen ekspor Indonesia, dari barang komoditas menjadi barang olahan yanng memang memberikan nilai tambah. Hal ini untuk menekan defisit neraca perdagangan.
"Jadi industri pengolahan yang menjadi solusinya. Bagaimana itu diolah dulu, mendapatkan nilai tambah, sehingga tidak dipengaruhi harga komoditas. Kita sangat sadar kesana dan sebetulnya pemerintah di bawah Menko Perekonomian (Darmin Nasution) sudah buat roadmap untuk itu," jelasnya.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit pada Januari 2019 menjadi yang terbesar disebabkan adanya gejolak perekonomian global yang masih berlangsung . Hal itu memberikan dampak negatif bagi perdagangan internasional, termasuk perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utamanya.
"Jadi lebih karena harga komoditas yang enggak pasti. Dan ini semua kalau kita lihat, dari prediksi sampai Desember 2019 akan cenderung menurun harga komoditas," ujar Suhariyanto di Gedung Pusat BPS, Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Dia menambahkan, kondisi ini juga yang menyebabkan selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014, neraca perdagangan pada Januari trennya mengalami defisit. Terlebih komposisi ekspor Indonesia masih belum berubah, yakni didominasi barang-barang komoditas yang sangat sensitif terhadap perkembangan harga global.
Dia mencontohkan, komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang jadi komoditas utama ekspor Indonesia, harus mengalami penurunan kinerja ekspor. Pasalnya, meski volume ekspor meningkat 23,77%, namun harganya anjlok mencapai 13,56%.
"Sehingga kinerjanya jatuh, tercermin dari turunnya ekspor golongan barang lemak dan minyak hewan atau nabati mencapai 9,56%," kata dia.
Selain itu, ada komoditas batu bara yang harganya turun 7,76%, padahal volume ekspor naik 14,56%. "Tapi untuk karet, karena volume dan harganya turun yakni 8,8% dan 7,56%, itu membuat karet dan barang dari karet memang turun cukup dalam (kinerja ekspornya)," jelasnya.
Oleh sebab itu, lanjut dia, ke depan pemerintah harus mengganti komponen ekspor Indonesia, dari barang komoditas menjadi barang olahan yanng memang memberikan nilai tambah. Hal ini untuk menekan defisit neraca perdagangan.
"Jadi industri pengolahan yang menjadi solusinya. Bagaimana itu diolah dulu, mendapatkan nilai tambah, sehingga tidak dipengaruhi harga komoditas. Kita sangat sadar kesana dan sebetulnya pemerintah di bawah Menko Perekonomian (Darmin Nasution) sudah buat roadmap untuk itu," jelasnya.
(fjo)