Tata Niaga Unggas Diminta Harus Diperbaiki
A
A
A
JAKARTA - Para peternak ayam nasional mengeluhkan harga ayam yang turun drastis. Hal ini ditandai dengan unjuk rasa yang digelar kemarin, yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia, antara lain Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
”Hingga saat ini di Jawa bagian selatan harga ayam hidup di kisaran Rp15.000 per kilogram. Kalau di Pantura malah lebih parah. Harganya Rp13–13,5 ribu saja per kilogram. Terlebih di sana suplainya besar,” papar Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Pedaging Jawa Tengah Parjuni.
Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi menambahkan, demo ini digelar karena harga ayam di pasar lebih murah dibandingkan harga pokok produksi. "Harga ayam terlalu murah dan sarana peternak yang dibeli memberatkan. Jika terus menerus berlangsung para peternak rakyat dan mandiri bisa bangkrut," kata Sugeng saat menjadi orator.
Salah satu peternak saat menyampaikan orasi turut menyampaikan bahwa saat ini banyak sektor-sektor produksi lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar mulai dari hulu hingga hilir. Atau menguasai mulai dari bibit ayam (day old chicken), pakan ayam hingga obat-obatan.
Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin menyebutkan naik turunnya harga ayam sudah menjadi hukum dagang. Tapi dirinya mensinyalir anjloknya harga ayam kali ini terjadi karena ada ulah perusahaan besar yang mengendalikan harga.
“Ini ada yang nakal di tingkat tata niaganya. Saya menduga ada permainan mafia. Sekarang kasihan peternak ayam karena mereka dikuasai oleh korporasi dari hulu ke hilirnya. Korporasi ini bermain mulai dari pakan hingga yang lain-lain,” tandas Andi saat dimintai keterangan via telepon.
Dugaan Andi didasarkan pada temuan Komisi IV DPR RI di lapangan. Selama ini korporasi besar nyaris menentukan naik turunnya harga dari hulu ke hilir. Mereka juga disebut menjadi penyebab bangkrutnya usaha ternak kecil. Korporasi besar menciptakan ketergantungan pelaku usaha ternak kecil terhadap mereka.
"Kalau untuk peternak yang saya dapatkan di lapangan keluhannya rata-rata permainan koorporasi besar. Mereka bahkan sampai mampu menentukan harga. Nah, pada saat mereka menentukan harga turun pasti bangkrut lah ini peternak kecil," katanya.
Andi meminta pemerintah tegas memberangus perusahaan nakal. Selain itu, Ia juga meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) bisa menentukan titik harga jual yang pantas untuk komoditas ayam. “Pemerintah sudah berhasil meningkatkan produksi. Tapi penurunan harga kali ini bukan hanya persoalan produksi. Menteri Perdagangan atau bahkan Menko yang mengkordinir lintas kementerian harus ikut campur," tukasnya.
Pengamat ekonomi lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Defiyan Cori menyebutkan produksi ayam saat ini memang surplus. Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Indonesia saat ini sebanyak 268.075 ribu jiwa, konsumsi per kapita 12,13 kilogram per tahun.
Proyeksi produksi daging ayam nasional tahun ini berdasarkan data dari Kementerian Pertanian sebanyak 3.647,81 ribu ton, sedangkan kebutuhan daging ayam nasional tahun ini mencapai 3.251,75 ribu ton, sehingga mengalami surplus sebanyak 396,06 ribu ton.
Untuk mengatasi kelebihan produksi daging ayam, Defiyan melihat peluang bagi pemerintah untuk membuka pasar ekspor daging ayam dan produk-produk turunannya ke berbagai negara. “Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan bisa mendorong produk daging ayam nasional untuk masuk ke pasar luar negeri. Atase-atase perdagangan bisa diaktifkan,” ujarnya.
Kemendag dinilai Defiyan terlalu fokus pada pengelolaan harga acuan di tingkat konsumen. Sementara harga di tingkat peternak maupun petani belum dikelola dengan baik. “Begitu harga di tingkat konsumen naik, pemerintah langsung cepat turun tangan melakukan operasi pasar, atau bahkan jika produksi kurang langsung dipenuhi dengan impor. Langkah responsif juga seharusnya diambil ketika harga anjlok di tingkat peternak,” ungkapnya.
Berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan disebutkan pada pasal 26 bahwa Kementerian Perdagangan menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor/impor dalam rangka menjamin stabilisasi harga kebutuhan pokok.
“Inilah yang perlu disinergikan untuk memformulasikan kebijakan yang tepat, manakala harga acuan baik di level petani maupun konsumen dibawah atau di atas harga acuan yang ditetapkan. Tentunya dalam hal ini Kementerian Perdagangan mempunyai peran penting terkait informasi dan stabilisasi harga,” tambah Defiyan.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa kondisi daging ayam nasional pada saat ini memang mengalami surplus. Kementan telah mengatur kebijakan dari aspek hulu yaitu dengan pengaturan bibit ayam, pengaturan mutu benih bibit yang bersertifikat, menyeimbangkan supply - demand dalam hal pengaturan impor Grand Parent Stock.
Sebagai langkah cepat untuk stabilkan harga, I Ketut meminta para pelaku usaha integrator meningkatkan serapan pemotongan di Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) dan memaksimalkan penyerapan karkas untuk ditampung dalam cold storage sebagai cadangan.
Hal ini untuk menyelamatkan para peternak dari jumlah kerugian yang semakin besar, menyusul turunnya harga ayam hidup (live bird). Terlebih pasar untuk komoditas unggas di Indonesia saat ini didominasi fresh commodity, sehingga produk mudah rusak.
"Kami berharap hasil usaha peternak agar tidak lagi dijual sebagai ayam segar melainkan ayam beku, ayam olahan, ataupun inovasi produk lainnya. Jika hal ini dilaksanakan dengan baik, maka harga di peternak dapat segera kembali normal”, ujar I Ketut.
”Hingga saat ini di Jawa bagian selatan harga ayam hidup di kisaran Rp15.000 per kilogram. Kalau di Pantura malah lebih parah. Harganya Rp13–13,5 ribu saja per kilogram. Terlebih di sana suplainya besar,” papar Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Pedaging Jawa Tengah Parjuni.
Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi menambahkan, demo ini digelar karena harga ayam di pasar lebih murah dibandingkan harga pokok produksi. "Harga ayam terlalu murah dan sarana peternak yang dibeli memberatkan. Jika terus menerus berlangsung para peternak rakyat dan mandiri bisa bangkrut," kata Sugeng saat menjadi orator.
Salah satu peternak saat menyampaikan orasi turut menyampaikan bahwa saat ini banyak sektor-sektor produksi lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar mulai dari hulu hingga hilir. Atau menguasai mulai dari bibit ayam (day old chicken), pakan ayam hingga obat-obatan.
Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin menyebutkan naik turunnya harga ayam sudah menjadi hukum dagang. Tapi dirinya mensinyalir anjloknya harga ayam kali ini terjadi karena ada ulah perusahaan besar yang mengendalikan harga.
“Ini ada yang nakal di tingkat tata niaganya. Saya menduga ada permainan mafia. Sekarang kasihan peternak ayam karena mereka dikuasai oleh korporasi dari hulu ke hilirnya. Korporasi ini bermain mulai dari pakan hingga yang lain-lain,” tandas Andi saat dimintai keterangan via telepon.
Dugaan Andi didasarkan pada temuan Komisi IV DPR RI di lapangan. Selama ini korporasi besar nyaris menentukan naik turunnya harga dari hulu ke hilir. Mereka juga disebut menjadi penyebab bangkrutnya usaha ternak kecil. Korporasi besar menciptakan ketergantungan pelaku usaha ternak kecil terhadap mereka.
"Kalau untuk peternak yang saya dapatkan di lapangan keluhannya rata-rata permainan koorporasi besar. Mereka bahkan sampai mampu menentukan harga. Nah, pada saat mereka menentukan harga turun pasti bangkrut lah ini peternak kecil," katanya.
Andi meminta pemerintah tegas memberangus perusahaan nakal. Selain itu, Ia juga meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) bisa menentukan titik harga jual yang pantas untuk komoditas ayam. “Pemerintah sudah berhasil meningkatkan produksi. Tapi penurunan harga kali ini bukan hanya persoalan produksi. Menteri Perdagangan atau bahkan Menko yang mengkordinir lintas kementerian harus ikut campur," tukasnya.
Pengamat ekonomi lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Defiyan Cori menyebutkan produksi ayam saat ini memang surplus. Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Indonesia saat ini sebanyak 268.075 ribu jiwa, konsumsi per kapita 12,13 kilogram per tahun.
Proyeksi produksi daging ayam nasional tahun ini berdasarkan data dari Kementerian Pertanian sebanyak 3.647,81 ribu ton, sedangkan kebutuhan daging ayam nasional tahun ini mencapai 3.251,75 ribu ton, sehingga mengalami surplus sebanyak 396,06 ribu ton.
Untuk mengatasi kelebihan produksi daging ayam, Defiyan melihat peluang bagi pemerintah untuk membuka pasar ekspor daging ayam dan produk-produk turunannya ke berbagai negara. “Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan bisa mendorong produk daging ayam nasional untuk masuk ke pasar luar negeri. Atase-atase perdagangan bisa diaktifkan,” ujarnya.
Kemendag dinilai Defiyan terlalu fokus pada pengelolaan harga acuan di tingkat konsumen. Sementara harga di tingkat peternak maupun petani belum dikelola dengan baik. “Begitu harga di tingkat konsumen naik, pemerintah langsung cepat turun tangan melakukan operasi pasar, atau bahkan jika produksi kurang langsung dipenuhi dengan impor. Langkah responsif juga seharusnya diambil ketika harga anjlok di tingkat peternak,” ungkapnya.
Berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan disebutkan pada pasal 26 bahwa Kementerian Perdagangan menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor/impor dalam rangka menjamin stabilisasi harga kebutuhan pokok.
“Inilah yang perlu disinergikan untuk memformulasikan kebijakan yang tepat, manakala harga acuan baik di level petani maupun konsumen dibawah atau di atas harga acuan yang ditetapkan. Tentunya dalam hal ini Kementerian Perdagangan mempunyai peran penting terkait informasi dan stabilisasi harga,” tambah Defiyan.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa kondisi daging ayam nasional pada saat ini memang mengalami surplus. Kementan telah mengatur kebijakan dari aspek hulu yaitu dengan pengaturan bibit ayam, pengaturan mutu benih bibit yang bersertifikat, menyeimbangkan supply - demand dalam hal pengaturan impor Grand Parent Stock.
Sebagai langkah cepat untuk stabilkan harga, I Ketut meminta para pelaku usaha integrator meningkatkan serapan pemotongan di Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) dan memaksimalkan penyerapan karkas untuk ditampung dalam cold storage sebagai cadangan.
Hal ini untuk menyelamatkan para peternak dari jumlah kerugian yang semakin besar, menyusul turunnya harga ayam hidup (live bird). Terlebih pasar untuk komoditas unggas di Indonesia saat ini didominasi fresh commodity, sehingga produk mudah rusak.
"Kami berharap hasil usaha peternak agar tidak lagi dijual sebagai ayam segar melainkan ayam beku, ayam olahan, ataupun inovasi produk lainnya. Jika hal ini dilaksanakan dengan baik, maka harga di peternak dapat segera kembali normal”, ujar I Ketut.
(akr)