Lompatan Besar Manufaktur
A
A
A
INDUSTRI 4.0 merupakan sebuah lompatan besar pada sektor manufaktur melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara maksimal. Tak hanya dari segi produksi, namun juga keseluruhan rantai nilai untuk mencapai efisiensi yang optimal sehingga melahirkan model bisnis baru berbasis digital.
Tak hanya dari segi produksi, namun juga keseluruhan rantai nilai untuk mencapai efisiensi yang optimal sehingga melahirkan model bisnis baru berbasis digital. Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia sebagaimana pada revolusi industri 1.0 melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan oleh kemunculan mesin uap pada abad ke-18.
Revolusi 1.0 ini bisa meningkatkan perekonomian yang luar biasa. Sepanjang dua abad setelah revolusi industri pendapatan perkapita negara-negara di dunia meningkat enam kali lipat. Pada revolusi industri 2.0 ditandai dengan berkembangnya energi listrik dan motor penggerak. Ini ditandai oleh produksi manufaktur seperti pesawat telepon, mobil, dan pesawat terbang.
Selanjutnya, pada revolusi industri 3.0 ditandai dengan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi. Kehadiran teknologi digital dan internet semakin dikenal hingga para revolusi industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya Internet of Things (IoT).
Kehadiran revolusi industri 4.0 mampu menghadirkan usaha baru, lapangan kerja baru, profesi baru yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan. Adapun lima teknologi utama yang menopang implementasi industri 4.0 yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing. “Penguasaan teknologi menjadi kunci penentu daya saingnya,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto.
Revolusi industri 4.0 diyakini akan membawa banyak perubahan dengan segala konsekuensinya. Bahkan, ada pula risiko yang mungkin muncul, seperti berkurangnya sumber daya manusia (SDM) karena perannya diganti oleh mesin atau robot. Tren ini juga telah mengubah banyak bidang kehidupan manusia, termasuk ekonomi, dunia kerja, bahkan gaya hidup manusia itu sendiri.
Airlangga mengatakan bahwa Indonesia sudah siap memasuki era industri 4.0. Hal ini ditandai melalui peluncuran peta jalan Making Indonesia 4.0 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 4 April 2018. Peta jalan tersebut menjadi strategi dan arah yang jelas dalam upaya merevitalisasi sektor manufaktur. Adapun lima sektor industri yang akan menjadi tulang punggung untuk mencapai aspirasi besar Making Indonesia 4.0, yakni industri makanan dan minuman (mamin), tekstil dan pakaian, automotif, kimia, serta elektronika.
Kelompok manufaktur ini dipilih karena berkontribusi besar terhadap ekonomi nasional, dengan sumbangsih hingga 60% pada PDB, nilai ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. Sasaran Making Indonesia 4.0 adalah menjadikan Indonesia berperingkat 10 besar ekonomi dunia pada 2030 dengan meningkatkan nett export, meningkatkan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, dan mencapai produktivitas yang kompetitif.
Selain meningkatkan nett export sebesar 10% atau 13 kali lipat dibandingkan saat ini, sasaran Making Indonesia 4.0 juga meliputi peningkatan produktivitas tenaga kerja hingga dua kali lipat dibandingkan peningkatan biaya tenaga kerja, dan alokasi aktivitas R&D teknologi dan inovasi sebesar 2% dari PDB.
Penerapan industri 4.0 juga akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga 1-2%, penyerapan tambahan lebih dari 10 juta tenaga kerja, dan peningkatan kontribusi industri manufaktur pada perekonomian. Dalam penerapan revolusi industri 4.0, Indonesia tak akan meninggalkan atau menggantikan sektor industri yang saat ini masih menggunakan teknologi di era industri generasi pertama hingga ketiga.
Saat ini, industri generasi pertama yang masih ada di Indonesia berada di sektor agrikultur atau pertanian. Kemudian, industri generasi kedua seperti sektor pembuatan rokok kretek tangan dan industri batik yang menggunakan canting hingga saat ini masih beroperasi.
Sementara itu, industri generasi ketiga, yang telah menggunakan mesin otomatis dengan melibatkan hubungan antara manusia dan mesin pun tidak akan ditinggalkan. “Terhadap sektor tersebut, pemerintah berkomitmen untuk terus mengembangkannya dengan lebih produktif dan inovatif,” kata Menperin.
Pada revolusi industri keempat, akan membutuhkan banyak pekerjaan di bidang analisa data atau artifical intellegence. Kekhawatiran akan tergantikannya tenaga manusia dengan tenaga mesin justru sudah terjadi pada revolusi industri ketiga. Untuk itu, pemerintah mendorong SDM yang mumpuni melalui reskilling.
Guna memacu peningkatan pendidikan vokasi industri untuk menunjang SDM kompeten dalam menghadapi era industri 4.0, Kemenperin telah menjalankan program link and match dengan menggandeng 2.074 SMK dan 745 perusahaan di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain itu dilakukan pelatihan industri berbasis kompetensi dengan sistem 3 in 1, pembangunan infrastruktur kompetensi (SKKNI, LSP dan Sertifikasi Kompetensi), serta pembangunan pusat inovasi dan pengembangan SDM industri 4.0.
Kemampuan Industri Nasional
Menperin menegaskan sejumlah industri nasional telah mampu berdaya saing global di era digital. Perusahaan yang sudah menjadi percontohan dalam penerapan industri 4.0, di antaranya PT Schneider Electric Manufacturing Batam di sektor industri elektronika dan PT Chandra Asri Petrochemical di industri kimia. Selanjutnya, PT Mayora Indah Tbk di industri mamin, Sritex di industri tekstil dan pakaian, serta PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia di industri automotif.
Di industri-industri tersebut sudah diaplikasikan teknologi digital, seperti artificial intelligent dan internet of things. “Beberapa industri itu tidak hanya menjadi percontohan di Indonesia, tetapi juga bagi Singapura. Bahkan, mereka akan dijadikan sebagai lighthouse di negara-negara Asean lain,” jelasnya.
Indonesia dinilai menjadi negara di ASEAN yang memiliki optimisme tinggi terhadap kesiapan implementasi industri 4.0. Dengan industri 4.0, Indonesia akan keluar sebagai salah satu bangsa juara pada 2030. Berdasarkan hasil riset McKinsey, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan optimisme tertinggi dalam menerapkan industri 4.0, yakni sebesar 78%.
Di atas Indonesia terdapat Vietnam sebesar 79%, sedangkan di bawah Indonesia ditempati Thailand sekitar 72%, Singapura 53%, Filipina 52% dan Malaysia 38%. Riset McKinsey juga menunjukkan, industri 4.0 akan berdampak signifikan pada sektor manufaktur di Indonesia.
Misalnya, digitalisasi bakal mendorong pertambahan sebanyak USD150 miliar atas hasil ekonomi Indonesia pada 2025. Sekitar seperempat dari angka tersebut, atau senilai USD38 miliar dihasilkan sektor manufaktur.
KORAN SINDO-Oktiani Endarwati
Tak hanya dari segi produksi, namun juga keseluruhan rantai nilai untuk mencapai efisiensi yang optimal sehingga melahirkan model bisnis baru berbasis digital. Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia sebagaimana pada revolusi industri 1.0 melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan oleh kemunculan mesin uap pada abad ke-18.
Revolusi 1.0 ini bisa meningkatkan perekonomian yang luar biasa. Sepanjang dua abad setelah revolusi industri pendapatan perkapita negara-negara di dunia meningkat enam kali lipat. Pada revolusi industri 2.0 ditandai dengan berkembangnya energi listrik dan motor penggerak. Ini ditandai oleh produksi manufaktur seperti pesawat telepon, mobil, dan pesawat terbang.
Selanjutnya, pada revolusi industri 3.0 ditandai dengan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi. Kehadiran teknologi digital dan internet semakin dikenal hingga para revolusi industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya Internet of Things (IoT).
Kehadiran revolusi industri 4.0 mampu menghadirkan usaha baru, lapangan kerja baru, profesi baru yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan. Adapun lima teknologi utama yang menopang implementasi industri 4.0 yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing. “Penguasaan teknologi menjadi kunci penentu daya saingnya,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto.
Revolusi industri 4.0 diyakini akan membawa banyak perubahan dengan segala konsekuensinya. Bahkan, ada pula risiko yang mungkin muncul, seperti berkurangnya sumber daya manusia (SDM) karena perannya diganti oleh mesin atau robot. Tren ini juga telah mengubah banyak bidang kehidupan manusia, termasuk ekonomi, dunia kerja, bahkan gaya hidup manusia itu sendiri.
Airlangga mengatakan bahwa Indonesia sudah siap memasuki era industri 4.0. Hal ini ditandai melalui peluncuran peta jalan Making Indonesia 4.0 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 4 April 2018. Peta jalan tersebut menjadi strategi dan arah yang jelas dalam upaya merevitalisasi sektor manufaktur. Adapun lima sektor industri yang akan menjadi tulang punggung untuk mencapai aspirasi besar Making Indonesia 4.0, yakni industri makanan dan minuman (mamin), tekstil dan pakaian, automotif, kimia, serta elektronika.
Kelompok manufaktur ini dipilih karena berkontribusi besar terhadap ekonomi nasional, dengan sumbangsih hingga 60% pada PDB, nilai ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. Sasaran Making Indonesia 4.0 adalah menjadikan Indonesia berperingkat 10 besar ekonomi dunia pada 2030 dengan meningkatkan nett export, meningkatkan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, dan mencapai produktivitas yang kompetitif.
Selain meningkatkan nett export sebesar 10% atau 13 kali lipat dibandingkan saat ini, sasaran Making Indonesia 4.0 juga meliputi peningkatan produktivitas tenaga kerja hingga dua kali lipat dibandingkan peningkatan biaya tenaga kerja, dan alokasi aktivitas R&D teknologi dan inovasi sebesar 2% dari PDB.
Penerapan industri 4.0 juga akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga 1-2%, penyerapan tambahan lebih dari 10 juta tenaga kerja, dan peningkatan kontribusi industri manufaktur pada perekonomian. Dalam penerapan revolusi industri 4.0, Indonesia tak akan meninggalkan atau menggantikan sektor industri yang saat ini masih menggunakan teknologi di era industri generasi pertama hingga ketiga.
Saat ini, industri generasi pertama yang masih ada di Indonesia berada di sektor agrikultur atau pertanian. Kemudian, industri generasi kedua seperti sektor pembuatan rokok kretek tangan dan industri batik yang menggunakan canting hingga saat ini masih beroperasi.
Sementara itu, industri generasi ketiga, yang telah menggunakan mesin otomatis dengan melibatkan hubungan antara manusia dan mesin pun tidak akan ditinggalkan. “Terhadap sektor tersebut, pemerintah berkomitmen untuk terus mengembangkannya dengan lebih produktif dan inovatif,” kata Menperin.
Pada revolusi industri keempat, akan membutuhkan banyak pekerjaan di bidang analisa data atau artifical intellegence. Kekhawatiran akan tergantikannya tenaga manusia dengan tenaga mesin justru sudah terjadi pada revolusi industri ketiga. Untuk itu, pemerintah mendorong SDM yang mumpuni melalui reskilling.
Guna memacu peningkatan pendidikan vokasi industri untuk menunjang SDM kompeten dalam menghadapi era industri 4.0, Kemenperin telah menjalankan program link and match dengan menggandeng 2.074 SMK dan 745 perusahaan di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain itu dilakukan pelatihan industri berbasis kompetensi dengan sistem 3 in 1, pembangunan infrastruktur kompetensi (SKKNI, LSP dan Sertifikasi Kompetensi), serta pembangunan pusat inovasi dan pengembangan SDM industri 4.0.
Kemampuan Industri Nasional
Menperin menegaskan sejumlah industri nasional telah mampu berdaya saing global di era digital. Perusahaan yang sudah menjadi percontohan dalam penerapan industri 4.0, di antaranya PT Schneider Electric Manufacturing Batam di sektor industri elektronika dan PT Chandra Asri Petrochemical di industri kimia. Selanjutnya, PT Mayora Indah Tbk di industri mamin, Sritex di industri tekstil dan pakaian, serta PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia di industri automotif.
Di industri-industri tersebut sudah diaplikasikan teknologi digital, seperti artificial intelligent dan internet of things. “Beberapa industri itu tidak hanya menjadi percontohan di Indonesia, tetapi juga bagi Singapura. Bahkan, mereka akan dijadikan sebagai lighthouse di negara-negara Asean lain,” jelasnya.
Indonesia dinilai menjadi negara di ASEAN yang memiliki optimisme tinggi terhadap kesiapan implementasi industri 4.0. Dengan industri 4.0, Indonesia akan keluar sebagai salah satu bangsa juara pada 2030. Berdasarkan hasil riset McKinsey, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan optimisme tertinggi dalam menerapkan industri 4.0, yakni sebesar 78%.
Di atas Indonesia terdapat Vietnam sebesar 79%, sedangkan di bawah Indonesia ditempati Thailand sekitar 72%, Singapura 53%, Filipina 52% dan Malaysia 38%. Riset McKinsey juga menunjukkan, industri 4.0 akan berdampak signifikan pada sektor manufaktur di Indonesia.
Misalnya, digitalisasi bakal mendorong pertambahan sebanyak USD150 miliar atas hasil ekonomi Indonesia pada 2025. Sekitar seperempat dari angka tersebut, atau senilai USD38 miliar dihasilkan sektor manufaktur.
KORAN SINDO-Oktiani Endarwati
(nfl)