Dampak Pemilu ke Pasar Modal Tidak Sekuat Pemilu Sebelumnya

Senin, 22 April 2019 - 19:00 WIB
Dampak Pemilu ke Pasar...
Dampak Pemilu ke Pasar Modal Tidak Sekuat Pemilu Sebelumnya
A A A
JAKARTA - Dampak Pemilihan Umum terhadap pasar modal pada tahun 2019 ini tidak sekuat dibanding Pemilu sebelumnya sejak era reformasi. Berakhirnya era booming komoditas telah memicu defisit neraca berjalan selama lima tahun terakhir dan menjadi faktor pembeda secara fundamental.

Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM), Budi Hikmat, menjelaskan pada pemilu sebelumnya, era booming komoditas mendorong surplus neraca berjalan sehingga memperkuat daya beli masyarakat. Dampaknya pada peningkatan uang beredar (M1).

Hal ini membuat penjualan kendaraan bermotor, properti, semen cenderung meningkat sehingga meningkatkan laba emiten di bursa.

"Itu sebabnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melambung naik setiap tahun Pemilu. Namun Pemilu kali ini ditandai dengan pelemahan pertumbuhan M1 yang sejalan dengan defisit neraca berjalan yang berisiko membatasi kenaikan IHSG,” kata Budi di Jakarta, Senin (22/4/2019).

Secara umum, Bahana memcermati ada lima faktor utama mengapa Pemilu 2019 tidak berdampak besar ke pasar modal, yang disingkat ELVIS.

Pertama, Earning sebagai faktor utama untuk menarik investor saham. Kedua, Liquidity terutama dari luar negeri. Selanjutnya faktor Valuation seperti price to earning ratio. Lalu faktor Interest Rate terutama kebijakan bank sentral, dan terakhir faktor Sentiment yang bisa diukur berdasarkan angka credit default swap (CDS) Indonesia.

Selain itu, antusiasme para pelaku pasar di tahun Pemilu ini sudah ditandai dengan meningkatnya arus modal asing, baik di pasar modal maupun obligasi sejak awal tahun (year to date/ytd) hingga akhir pekan lalu.

Menurut Budi, sentiment menjadi faktor utama terutama sebagai dampak perubahan drastis kebijakan the Fed yang mengakhiri pengetatan likuiditas dan berakhirnya stimulus pajak Presiden Trump.

Berbeda dibandingkan tahun 2018, arus modal asing mulai kembali menuju negara berkembang. Indonesia mendapat apresiasi khusus tidak hanya Pemilu yang berlangsung lancar, namun kesigapan dan independensi kebijakan moneter dan fiskal dalam menghadapi gejolak global selama tahun 2018.

Selain itu, ada peluang Bank Indonesia yang bakal melonggarkan likuiditas termasuk melalui penurunan suku bunga bila the Fed memang tidak lagi menaikkan bunga sementara penyaluran kredit masih belum memuaskan.

Budi juga melihat alokasi arus modal asing di pasar surat berharga negara (SBN) akan lebih besar ketimbang pasar modal.

"Investor asing memanfaatkan imbal hasil SBN yang masih relatif tinggi sejalan dengan penurunan yield T-bond dan peluang penguatan rupiah hingga akhir tahun," ungkapnya. Terlebih lagi risiko kelebihan penawaran SBN relatif terbatas mengingat pemerintah telah lebih awal menerbitkan (front-loading) jelang akhir tahun lalu.

"Semarak pada pasar SBN menjadi semacam prasyarat peluang kenaikan di pasar saham yang juga menunggu penguatan daya beli sekira pemerintah mampu memacu kinerja ekspor manufaktur dan pariwisata sebagai mesin penghasil valas selain komoditas primer," terang Budi.

Dia pun memproyeksikan imbal hasil saham selama tahun 2019 ini sejalan dengan pertumbuhan laba perusahaan sebesar 10%-12%. Sehingga IHSG berpeluang ditutup pada level 6.800-6.900 pada akhir tahun.

Imbal hasil ini menarik dibandingkan inflasi yang diproyeksikan sekitar 3% hingga 4%. Adapun saat ini arus modal asing yang masuk ke pasar modal telah mencapai Rp15,21 triliun sejak awal tahun. Sementara, total dana asing yang masuk di pasar modal dan obligasi telah mencapai USD 6 miliar, jauh lebih besar dari tahun 2018.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0922 seconds (0.1#10.140)