China Rayu ASEAN Gunakan Yuan, Tinggalkan Dominasi Dolar AS
A
A
A
SINGAPURA - Republik Rakyat China merayu negara-negara ASEAN dan Asia Timur untuk menambahkan mata uang yuan dan yen Jepang ke dalam jaring pengaman pertukaran mata uang senilai USD240 miliar.
Langkah ini untuk mengurangi ketergantungan negara-negara ASEAN dan Asia Timur terhadap penggunaan dolar Amerika Serikat (USD), sekaligus meningkatkan kekuatan ekonomi China.
Melansir dari Nikkei Asian Review, Jumat (26/4/2019), 10 negara-negara ASEAN ditambah China, Jepang, dan Korea Selatan akan membahas penggunaan yuan dan yen dalam Chiang Mai Initiatiive yang akan dihadiri para menteri keuangan dan gubernur bank sentral pada 2 Mei mendatang di Fiji.
China yang memimpin pertemuan bersama dengan Thailand, telah menambahkan rancangan pernyataan bersama soal penggunaan mata uang lokal ke dalam kelompok ini.
Para negara peserta nantinya dapat mengakses penggunaan mata uang Asia dalam keadaan darurat, termasuk cadangan devisa. Gagasan ini sekaligus untuk mengantisipasi kenaikan permintaan jangka panjang atas yen dan yuan dalam investasi dan perdagangan regional.
China sendiri melihat langkah ini sebagai cara internasionaliasi yuan dan memperluas pengaruh ekonominya di wilayah Asia. Namun, proposal ini diperkirakan tidak akan mudah. Amerika Serikat tentunya akan mempersulit langkah Beijing dalam memperluas peran mata uangnya karena bisa meninggalkan dominasi dolar AS di Asia.
Selama ini, greenback--sebutan untuk dolar AS--masih menjadi mata uang populer untuk pembayaran internasional, dengan pangsa pasar 45,6%. Sedangkan yuan hanya menyumbang 1,2% dari pangsa pasar uang dunia. Dan yen berada di angka 4,3% menurut catatan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication.
Sementara itu, dengan penggunaan yen maka Jepang bisa meraup keuntungan komersial lebih besar. Saat ini, sekitar 45% ekspor Jepang ke negara-negara Asia dibayar dalam bentuk yen. Penggunaan mata uang lokal yang lebih luas dapat membantu perusahaan-perusahaan Jepang mengurangi risiko nilai tukar mata uang asing ketika melakukan bisnis di wilayah Asia.
Didirikan tahun 2000, Chiang Mai Initiative bertujuan untuk mencegah terulangnya krisis mata uang Asia di 1997. Dalam kerangka kerja ini, negara-negara yang berada dalam kesulitan keuangan dapat mengakses kumpulan dolar AS untuk dijual demi menopang kejatuhan mata uang mereka.
Dan strategi memasukkan mata uang Asia lainnya, juga bisa menambah lapisan ke jaring pengaman jika terjadi krisis. Negara-negara ASEAN sendiri telah membangun cadangan mata uang asing mereka sejak krisis 1997, namun hal tersebut belum berjalan maksimal.
Yen dan yuan sendiri telah masuk dalam perjanjian perdagangan di Asia. Dan dengan Chiang Mai Initiative ini akan semakin memberikan fleksibilitas lebih lanjut bagi kedua mata uang Asia ini.
Langkah ini untuk mengurangi ketergantungan negara-negara ASEAN dan Asia Timur terhadap penggunaan dolar Amerika Serikat (USD), sekaligus meningkatkan kekuatan ekonomi China.
Melansir dari Nikkei Asian Review, Jumat (26/4/2019), 10 negara-negara ASEAN ditambah China, Jepang, dan Korea Selatan akan membahas penggunaan yuan dan yen dalam Chiang Mai Initiatiive yang akan dihadiri para menteri keuangan dan gubernur bank sentral pada 2 Mei mendatang di Fiji.
China yang memimpin pertemuan bersama dengan Thailand, telah menambahkan rancangan pernyataan bersama soal penggunaan mata uang lokal ke dalam kelompok ini.
Para negara peserta nantinya dapat mengakses penggunaan mata uang Asia dalam keadaan darurat, termasuk cadangan devisa. Gagasan ini sekaligus untuk mengantisipasi kenaikan permintaan jangka panjang atas yen dan yuan dalam investasi dan perdagangan regional.
China sendiri melihat langkah ini sebagai cara internasionaliasi yuan dan memperluas pengaruh ekonominya di wilayah Asia. Namun, proposal ini diperkirakan tidak akan mudah. Amerika Serikat tentunya akan mempersulit langkah Beijing dalam memperluas peran mata uangnya karena bisa meninggalkan dominasi dolar AS di Asia.
Selama ini, greenback--sebutan untuk dolar AS--masih menjadi mata uang populer untuk pembayaran internasional, dengan pangsa pasar 45,6%. Sedangkan yuan hanya menyumbang 1,2% dari pangsa pasar uang dunia. Dan yen berada di angka 4,3% menurut catatan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication.
Sementara itu, dengan penggunaan yen maka Jepang bisa meraup keuntungan komersial lebih besar. Saat ini, sekitar 45% ekspor Jepang ke negara-negara Asia dibayar dalam bentuk yen. Penggunaan mata uang lokal yang lebih luas dapat membantu perusahaan-perusahaan Jepang mengurangi risiko nilai tukar mata uang asing ketika melakukan bisnis di wilayah Asia.
Didirikan tahun 2000, Chiang Mai Initiative bertujuan untuk mencegah terulangnya krisis mata uang Asia di 1997. Dalam kerangka kerja ini, negara-negara yang berada dalam kesulitan keuangan dapat mengakses kumpulan dolar AS untuk dijual demi menopang kejatuhan mata uang mereka.
Dan strategi memasukkan mata uang Asia lainnya, juga bisa menambah lapisan ke jaring pengaman jika terjadi krisis. Negara-negara ASEAN sendiri telah membangun cadangan mata uang asing mereka sejak krisis 1997, namun hal tersebut belum berjalan maksimal.
Yen dan yuan sendiri telah masuk dalam perjanjian perdagangan di Asia. Dan dengan Chiang Mai Initiative ini akan semakin memberikan fleksibilitas lebih lanjut bagi kedua mata uang Asia ini.
(ven)