Tiket Pesawat Masih Mencekik, Hambat Ekonomi Nasional

Jum'at, 26 April 2019 - 11:03 WIB
Tiket Pesawat Masih...
Tiket Pesawat Masih Mencekik, Hambat Ekonomi Nasional
A A A
JAKARTA - Ketua Dewan Penasehat Asita NTB Lalu Abdul Hadi Faishal hingga kini masih menunggu realisasi harga tiket pesawat normal. Bagi industri perhotelan dan travel agent, harga tiket sangat berpengaruh pada okupansi dan jumlah wisatawan Nusantara.

“Kami yang di Lombok ini, ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah kena bencana alam, gempa, saat proses recovery sudah tertimpa bencana tiket mahal. Dan sejak Januari 2019 sampai sekarang belum bergeming,” ungkap Lalu Abdul Hadi Faishal, Jumat (25/4/2019).

Ia yakin, pemerintah sedang memikirkan nasib industri pariwisata. Saat Gala Dinner HUT PHRI di Jakarta Presiden Jokowi sudah mendengar langsung keluhan yang disampaikan Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani.

“Saya yakin, pasti ada jalan, untuk menghidupkan ekonomi daerah, terutama yang berbisnis di sektor pariwisata,” ungkap Hadi Faishal.

Apalagi, lanjut dia, selama 4.5 tahun ini Presiden Jokowi sudah menempatkan pariwisata sebagai sektor prioritas. Maka semua lembaga yang terkait dengan mendorong pariwisata, harus disupport. Dan mengembangkan destinasi itu, 3 industri besar yang terkait, yakni Atraksi, Akses dan Amenitas.

“Negara harus hadir, jika serius menjadikan sektor pariwisata sebagai unggulan,” kata Hadi yang juga Pengelola Antalia Tour & Travel.

Dia juga sudah mendengar, bahwa informasi tiket mahal ini sudah sampai ke presiden. Sudah ada langkah imbauan dari Kemenhub, bahkan sampai Kemenko Kemaritiman. Banyak pihak juga sudah mendengar, Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) juga sudah turun tangan dengan dugaan kartel, karena saat ini industri penerbangan domestik dikuasai oleh 2 group besar, Garuda Indonesia dan Lion group.

Kebetulan 2 perusahaan inilah yang menguasai market share penerbangan domestik. Dan keduanya sama-sama menerapkan harga mahal, bersamaan.

“Saat industrinya mulai optimal, tiba-tiba semuanya menjadi mentah kembali oleh mahalnya tiket dan bagasi berbayar,” terang Hadi.

Hadi menegaskan kembali, Kemenhub harus melakukan evaluasi menyeluruh. Komunikasi dengan pihak maskapai lebih diintensifkan, lalu bisa bersikap tegas. Sebab, kebijakan tiket menjadi kunci industri pariwisata dan perekonomian masyarakat NTB.

“Pergerakan wisatawan di NTB sangat tipis. Wisatawan juga enggan berbelanja oleh-oleh karena bagasi berbayar. Home industry di NTB mengkhawatirkan karena sepinya pasar, ujungnya length of stay turun.

Tugas Pemerintah, kata Hadi, adalah menjaga ekosistem industri agar bisa tumbuh dan berkembang. Kalau ada salah satu unsur dalam mata rantai bisnis yang tidak patuh, seharusnya dihimbau, diingatkan lagi spirit utamanya dalam membangun negeri.

Menurutnya, batas atas dan batas bawah yang diatur itu sebenarnya sudah baik. Sudah melihat fleksibilitas dan season. Tetapi, airlines selama 4 bulan terakhir menetapkan harga atas terus, meniadakan harga bawah.

Dampaknya, harga naik sampai ada yang 100%, meskipun sudah bukan peak seasons. Jumlah penumpang turun, jumlah wisatawan nusantara anjlok, rantai bisnis lanjutannya terancam semua. Jumlah penumpang domestik turun 25-30%, hotel turun, resto, pedagang pasar sampai petani dan nelayan, penerimaan pajak juga pasti turun.

Hadi juga menyampaikan pendapatnya mengenai tulisan di kumparan . Menurutnya, tulisan itu banyak salah mengutip peraturan.

Pertama, soal Peraturan Menteri No 189 tahun 2015, yang dijadikan landasan. Permen itu sudah dicabut dua kali, dan diganti oleh Permen 122 tahun 2018.

Kedua, Undang Undang No 126 (3) tahun 2019 yang ditulis itu juga salah. UU itu mengatur soal angkutan jalan raya, bukan angkutan darat.

“Ketiga, saya setuju bahwa pemerintah sebagai regulator, tetapi kalau industrinya menerapkan harga batas atas di segala season, tidak wajar, mahal, itu juga mengingkari prinsip dasar UU No 1 tahun 2019 dan Perpres No 40 2015. Tidak ikut memperlancar kegiatan ekonomi nasional, apalagi ada dugaan praktik monopoli,” katanya.

Karenanya, wajar jika pemerintah turun tangan untuk memperbaiki tata niaga untuk menjaga kepentingan umum.

Dalam kondisi seperti ini, Lalu Abdul Hadi Faishal menilai Indonesia beruntung memiliki menteri seperti Arief Yahya.

“Untunglah Indonesia punya Pak Menteri yang punya tangan dingin. Beliau mampu memoles pariwisata NTB menjadi kemilau seperti sekarang ini dan predikat halal. Dan, menjadi magnet pendukung untuk menarik wisatawan datang ke Lombok,” paparnya.

Menurutnya, ia sudah mewacanakan secara nasional program pariwisata yang sukses dan maju bersama Arief Yahya 2018 2024.

“Karena, kita berharap tangan dingin dan program beliau tidak berubah dalam kurun waktu itu. Itu kalau Indonesia mau pariwisatanya di atas Malaysia dan Thailand, bahkan Singapura. Saya optimis kita bisa asal pak AY mau menyiapkan waktu dan fikirannya untuk terus membangun pariwisata indonesia. Indonesia harus bangga punya maestro data dan strategi yang akurat dalam menjual pariwisata Indonesia di pentas dunia,” katanya.

Sedangkan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam Mansyur berharap harga tiket segera diturunkan..

“Sekarang yang penting itu real actionnya, bukan hanya sekedar wacana. Regulasi tarif batas atas-bawah belum menyelesaikan masalah. Sebab, para maskapai akan bertahan dengan tarif batas atasnya,” tambah Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam Mansyur.

Meski regulasi tarif batas atas-bawah diterapkan, faktanya harga tiket pesawat terbang tetap saja tinggi. Sebagai ilustrasi, harga tiket pesawat terbang dengan rute Batam-Jakarta masih saja dibanderol kisaran Rp1,5 Juta. Harga tersebut jauh di atas poros Singapura-Jakarta yang hanya dilabeli sekitar Rp 700 Ribu. Mansyur menambahkan, pesaing bagi maskapai domestik diperlukan untuk mengendalikan harga.

“Ini sudah monopoli. Tiket pesawat Jakarta-Batam masih saja tinggi. Lebih mahal dari Singapura-Jakarta. Kalau kondisinya seperti ini, jelas industri-industri di destinasi mati suri. Sekarang dampaknya terus saja terasa. Biar harga turun, maskapai asing harus diundang melayani rute domestik. Biar ada perang harga yang sehat dan pelayanan bagus dari maskapai,” lanjut Mansyur.

Pelaku industri pariwisata di Batam juga terimbas. Sebab, arus masuk wisatawan di weekdays turun hingga 40%. Parameternya tingkat okupansi hotel yang hanya terisi sekitar 40% di hari normal. Rata-rata length of stay wisatawan hanya semalam. Kondisi itu sudah berlangsung sejak Januari 2019. Imbasnya, jasa porter, taxi, TA/TO, penyedia cenderamata, dan hotel menjadi sektor paling terpukul.

“Masalah maskapai menimbulkan efek domino yang besar. Semua lini industri pariwisata terkena imbas. Hal ini tentu tidak bagus bagi Batam ke depannya. Sekarang MICE di Batam sudah tidak ada. Seharusnya masalah harga tiket ini sudah selesai lebih awal,” kata Masyur.

Minim wisatawan, kebijakan tiket mahal juga menjadi bumerang bagi maskapai. Sepanjang Januari-Maret 2019, maskapai dengan poros bandara di bawah pengelolaan PT Angkasa Pura II kehilangan 4 Juta orang penumpangnya. Pengguna bandara dengan pengelola PT Angkasa Pura II turun hingga 3,5 Juta orang penumpang. Kondisi tersebut otomatis menurunkan inkam maskapai bersangkutan.

“Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan saja. Sebab, fokus kami adalah pergerakan wisatawan di hari normal. Kalau akhir pekan, Batam memang ramai. Kemenhub idealnya ikut memikirkan hal-hal seperti ini. Sekarang bagaimana dengan daerah lain?” kata Mansyur lagi.
(akn)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0858 seconds (0.1#10.140)