United Tractors Catat Kenaikan Laba 21% di Kuartal Pertama 2019
A
A
A
JAKARTA - Kinerja PT United Tractors Tbk (UNTR) sepanjang kuartal pertama-2019, berhasil mencatat kenaikan laba bersih 21% menjadi Rp3,1 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018. Kenaikan didukung oleh peningkatan kinerja pada bisnis kontraktor penambangan dan kontribusi dari operasi penambangan emas yang diakuisisi pada Desember 2018.
Sekretaris Perusahaan UNTR Sara K Loebis mengatakan pertambangan masih menjadi kontributor terbesar pada penjualan alat berat perusahaan. Dia menilai, 2018 merupakan momentum kebangkitan alat berat, namun penjualan melandai tahun ini. "Market alat berat tahun ini kemungkinan lebih lesu dibandingkan 2018, karena adanya normalisasi harga batu bara," kata Sara di Jakarta.
Tahun ini, kontribusi dari sektor pertambangan diperkirakan lebih melesu, begitu juga dengan kehutanan. Adapun sektor perkebunan juga melambat, apalagi alat berat UNTR hanya digunakan untuk membuka lahan perkebunan.
Sara mengatakan ada potensi pertumbuhan di sektor konstruksi, tapi tetap tidak bisa mengalahkan kontribusi dari pertambangan. "Kemungkinan konstruksi naik, tapi secara nilai mungkin tidak signifikan untuk kontribusi pendapatan. Secara volume dan market share tetap bagus, tapi yang signifikan tetap di pertambangan," jelasnya.
Tahun ini, UNTR menargetkan penjualan alat berat hanya 4.100 unit, turun 15,9% dibandingkan total penjualan 2018 sebanyak 4.879 unit. Penurunan target ini mempertimbangkan kondisi pasar, terutama dari sektor pertambangan yang mulai landai karena normalisasi harga batu bara.
Perseroan juga mengaku berminat mengakuisisi tambang lagi sebagai nilai tambah bisnis perusahaan setelah akhir tahun lalu merampungkan akuisisi tambang emas Martabe di Sumatera Utara. Strategi akuisisi tambang sebagai motor penggerak bisnis alat berat dan kontraktor tambang. "Kami memiliki beberapa parameter untuk menilai tambang ini layak diakuisisi. Ada skala cadangan tertentu yang menjadi standar kami, dan tentu tidak terlalu kecil, baik untuk batu bara dan emas," kata Sara.
Perusahaan juga mempertimbangkan risiko sosial dan geografis dalam rencana akuisisi tersebut. Hanya saja Ia masih enggan memerinci berapa belanja modal yang disiapkan perusahaan untuk mengakuisisi tambang.
Dalam belanja modal sebesar USD800 juta tahun ini belum termasuk untuk rencana akuisisi. Induk usaha PT Acset Indonusa Tbk (ACST) ini tengah mempelajari beberapa tambang yang bakal diakuisisi, meski belum ada yang pasti. Menurut dia, pilihannya adalah tambang batu bara jenis coking coal atau tambang emas, yang berbeda risikonya dibandingkan thermal coal atau mineral lain.
Coking coal adalah batu bara yang biasa digunakan dalam proses pembuatan coke atau kokas yang dipakai dalam industri pembuatan baja dan besi, sementara thermal atau steaming coal biasa untuk menggerakkan turbin penghasil listrik.
Sementara itu penjualan alat berat dengan merek Komatsu, pada kuartal I-2019 mencapai 1.181 unit, naik 1% dibandingkan periode yang sama 2018, sebanyak 1.171 unit. Secara nilai, penjualan alat berat Komatsu mencapai Rp3,22 triliun, turun 3,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp3,35 triliun.
Alat berat di sektor pertambangan masih mendominasi penjualan Komatsu sebesar 48%. Sementara, sektor konstruksi menjadi kontributor terbesar kedua dengan porsi 27%, sisanya kehutanan 13% dan 12% agribisnis.
Sebelumnya, Direktur Utama United Tractors Franciscus Kesuma, mengatakan penurunan target penjualan ini karena rendahnya harga jual batu bara, sehingga penambang cenderung menahan pembelian alat berat.Namun demikian, perusahaan optimistis bahwa penjualan yang rendah akan dikompensasi dari bisnis pemeliharaan alat berat, meski diprediksi akan stagnan dibanding tahun lalu.
Sekretaris Perusahaan UNTR Sara K Loebis mengatakan pertambangan masih menjadi kontributor terbesar pada penjualan alat berat perusahaan. Dia menilai, 2018 merupakan momentum kebangkitan alat berat, namun penjualan melandai tahun ini. "Market alat berat tahun ini kemungkinan lebih lesu dibandingkan 2018, karena adanya normalisasi harga batu bara," kata Sara di Jakarta.
Tahun ini, kontribusi dari sektor pertambangan diperkirakan lebih melesu, begitu juga dengan kehutanan. Adapun sektor perkebunan juga melambat, apalagi alat berat UNTR hanya digunakan untuk membuka lahan perkebunan.
Sara mengatakan ada potensi pertumbuhan di sektor konstruksi, tapi tetap tidak bisa mengalahkan kontribusi dari pertambangan. "Kemungkinan konstruksi naik, tapi secara nilai mungkin tidak signifikan untuk kontribusi pendapatan. Secara volume dan market share tetap bagus, tapi yang signifikan tetap di pertambangan," jelasnya.
Tahun ini, UNTR menargetkan penjualan alat berat hanya 4.100 unit, turun 15,9% dibandingkan total penjualan 2018 sebanyak 4.879 unit. Penurunan target ini mempertimbangkan kondisi pasar, terutama dari sektor pertambangan yang mulai landai karena normalisasi harga batu bara.
Perseroan juga mengaku berminat mengakuisisi tambang lagi sebagai nilai tambah bisnis perusahaan setelah akhir tahun lalu merampungkan akuisisi tambang emas Martabe di Sumatera Utara. Strategi akuisisi tambang sebagai motor penggerak bisnis alat berat dan kontraktor tambang. "Kami memiliki beberapa parameter untuk menilai tambang ini layak diakuisisi. Ada skala cadangan tertentu yang menjadi standar kami, dan tentu tidak terlalu kecil, baik untuk batu bara dan emas," kata Sara.
Perusahaan juga mempertimbangkan risiko sosial dan geografis dalam rencana akuisisi tersebut. Hanya saja Ia masih enggan memerinci berapa belanja modal yang disiapkan perusahaan untuk mengakuisisi tambang.
Dalam belanja modal sebesar USD800 juta tahun ini belum termasuk untuk rencana akuisisi. Induk usaha PT Acset Indonusa Tbk (ACST) ini tengah mempelajari beberapa tambang yang bakal diakuisisi, meski belum ada yang pasti. Menurut dia, pilihannya adalah tambang batu bara jenis coking coal atau tambang emas, yang berbeda risikonya dibandingkan thermal coal atau mineral lain.
Coking coal adalah batu bara yang biasa digunakan dalam proses pembuatan coke atau kokas yang dipakai dalam industri pembuatan baja dan besi, sementara thermal atau steaming coal biasa untuk menggerakkan turbin penghasil listrik.
Sementara itu penjualan alat berat dengan merek Komatsu, pada kuartal I-2019 mencapai 1.181 unit, naik 1% dibandingkan periode yang sama 2018, sebanyak 1.171 unit. Secara nilai, penjualan alat berat Komatsu mencapai Rp3,22 triliun, turun 3,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp3,35 triliun.
Alat berat di sektor pertambangan masih mendominasi penjualan Komatsu sebesar 48%. Sementara, sektor konstruksi menjadi kontributor terbesar kedua dengan porsi 27%, sisanya kehutanan 13% dan 12% agribisnis.
Sebelumnya, Direktur Utama United Tractors Franciscus Kesuma, mengatakan penurunan target penjualan ini karena rendahnya harga jual batu bara, sehingga penambang cenderung menahan pembelian alat berat.Namun demikian, perusahaan optimistis bahwa penjualan yang rendah akan dikompensasi dari bisnis pemeliharaan alat berat, meski diprediksi akan stagnan dibanding tahun lalu.
(akr)