Perang Dagang Turunkan Pertumbuhan Ekonomi Kawasan

Rabu, 19 Juni 2019 - 06:14 WIB
Perang Dagang Turunkan...
Perang Dagang Turunkan Pertumbuhan Ekonomi Kawasan
A A A
JAKARTA - Ketegangan perdagangan global yang semakin intens menurut ASEAN+3 Macroeconomy Research Office (AMRO) dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi kawasan sebanyak 40 bps. Di situasi ekstrem ini, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok diasumsikan akan mengenakan tarif sebesar 25% untuk semua impor antara kedua negara.

"Dalam jangka pendek, dampak negatif terhadap pertumbuhan di beberapa negara negara kawasan secara absolut berpotensi lebih besar yaitu mencapai 100 bps," ujar Kepala Ekonom ASEAN+3 Macroeconomy Research Office (AMRO) Dr. Hoe Ee Khor di Jakarta.

Sementara AS dan Tiongkok akan sama-sama dirugikan, terlebih jika tambahan kebijakan non-tarif Juga diterapkan. Dampak absolut perang dagang terhadap AS selama 2019-2020 relatif lebih rendah (-30 bps), dibandingkan terhadap Tiongkok (-60 bps). Namun, dampak relatif terhadap AS akan jauh lebih besar (13% terhadap pertumbuhan rata-rata 2019-2020) dibandingkan terhadap Tiongkok (di bawah 10%).

Menurut dia, Indonesia diyakini tidak terpengaruh secara signifikan dampak perang dagang. HaL tersebut dikarenakan industri di Indonesia belum terlibat sepenuhnya dalam rantai pasok global manufaktur khususnya sektor elektronik.

Dia pun masih memperkirakan, pertumbuhan ekonomi domestik masih bisa tumbuh 5,1% untuk 2019 dan 2020. Namun demikian, otoritas di kawasan harus terus waspada mengingat risiko menjadi semakin nyata.

Beberapa negara kawasan telah menerapkan langkah-langkah kebijakan yang bersifat pre-emptive atau frontloaded yang telah membantu meredakan kekhawatiran pasar. Bahkan, di beberapa negara kebijakan moneter telah diperketat untuk menjaga stabilitas eksternal dan inflasi domestik, serta membendung akumulasi risiko yang mengancam stabilitas keuangan akibat periode suku bunga rendah yang berkepanjangan.

"Langkah-langkah lain seperti penangguhan proyek infrastruktur yang membutuhkan banyak bahan baku Impor juga telah dilakukan untuk mengurangi tekanan pada transaksi berjalan," terang dia.

Di sisi fiskal, anggaran pemerintah yang sehat mendukung kebijakan fiskal untuk memainkan peran countercyclical yang meski terbatas namun penting. Khor mngungkapkan, beberapa negara kawasan juga telah mengadopsi kebijakan yang cenderung ekspansif atau memprioritaskan ulang pengeluaran jika terdapat keterbatasan fiskal.

"Setelah periode pertumbuhan yang tinggi didukung oleh kondisi keuangan global yang longgar beberapa ekonomi kawasan saat ini mengalami pertambatan siklus kredit dan beberapa telah melonggarkan kebijakan makroprudensial untuk mendorong penyaluran kredit," beber dia.

Dalam jangka menengah panjang, lanjutnya, kawasan memerlukan usaha lebih besar lagi untuk mendukung prospek pertumbuhan dan meningkatkan ketahanan ekonomi. Kebijakan jangka panjang seperti pembangunan kapasitas dan konektivitas produktif serta pendalaman pasar modal domestik, harus tetap menjadi prioritas untuk menuju fase pertumbuhan ekonomi kawasan selanjutnya.

Menurut Khor, kawasan secara keseluruhan telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam dua dekade terakhir melalui strategi manufaktur untuk ekspor yang menjadi pilar utama sebagian besar negara kawasan. "Namun, perlaihan ke sektor jasa tidak bisa dihindari dan permasalahan investasi di bidang yang menjadi prioritas perlu segera diselesaikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," tukas dia.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengungkapkan, risiko dari ketegangan perdagangan global akan berdampak pada semester kedua tahun 2019. Tantangan dari pertumbuhan ekonomi global yang lemah akan semakin dirasakan pada semester kedua tahun ini.

"Pada semester kedua, dengan interest rate cenderung turun namun di sisi lain lingkungan global melemah, kita bisa boost investasi. Sebab perhatian terhadap kenaikan suku bunga jadi lebih rendah. Bahkan beberapa negara sudah mulai menurunkan suku bunga," beber dia.

Meski begitu, keputusan investasi tidak hanya dilakukan dari sisi cost of fund, melainkan juga dari sisi prospek ekonomi. Diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tumbuh di atas 5% sehingga memberikan confidence terhadap investor, namun di sisi lain cos of fund juga semakin turun.

Oleh karena itu, Pemeintah harus tetap fokus agar motor penggerak ekonomi Indonesia dari sisi domestik demand, selain konsumsi, government spending, investasi bisa back up. "Sementara itu ekspor akan bisa diminimalkan dampak dari pelemahan global ekonomi," imbuhnya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pun memandang, pemulihan ekonomi global lebih rendah dari prakiraan. Hal ini disebabkan oleh prospek pertumbuhan ekonomi AS yang menurun, perbaikan ekonomi Eropa yang diperkirakan lebih lambat, serta ekonomi China yang diperkirakan belum kuat.

Menurut dia, risiko eskalasi perang dagang yang meningkat turut menurunkan prospek ekonomi global 2019. "BI memperkirakan PDB dunia 2019 dan 2020 mencapai 3,3% dan 3,4%," kata Perry.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1401 seconds (0.1#10.140)