Perang Dagang Pangkas Pertumbuhan Ekonomi 1%
A
A
A
JAKARTA - ASEAN+3 Macroeconomy Research Office (AMRO) menyatakan ketegangan perdagangan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi kawasan sebanyak 40 bps. Bahkan dalam jangka pendek, dampak negatif terhadap pertumbuhan di beberapa negara kawasan secara absolut berpotensi lebih besar mencapai 100 bps (1%).
Kepala Ekonom ASEAN+3 Macroeconomy Research Office (AMRO) Hoe Ee Khor mengatakan, di situasi ekstrem ini, Amerika Serikat (AS) dan China diasumsikan akan mengenakan tarif sebesar 25% untuk semua impor antara kedua negara. “AS dan Tiongkok akan sama-sama dirugikan, terlebih jika tambahan kebijakan non-tarif Juga diterapkan,” ujar Khor di Jakarta, kemarin.
Menurut Khor, dampak absolut perang dagang terhadap pertumbuhan ekonomi AS selama 2019-2020 relatif lebih rendah yang diperkirakan terpangkas 30 bps dibandingkan terhadap China yang pertumbuhan ekonominya bisa melorot 60 bps. Namun, dampak relatif terhadap AS akan jauh lebih besar yakni sekitar 13% terhadap pertumbuhan rata-rata 2019-2020 dibandingkan terhadap Chinya yang masih di bawah 10%.
Sementara untuk Indonesia, lanjut dia, diyakini tidak terpengaruh secara signifikan dampak perang dagang. Hal tersebut dikarenakan industri di Indonesia belum terlibat sepenuhnya dalam rantai pasok global manufaktur khususnya sektor elektronik.
Dia pun masih memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5,1% untuk 2019 dan 2020. Namun demikian, otoritas di kawasan harus terus waspada mengingat risiko menjadi semakin nyata.
Khor menuturkan, beberapa negara kawasan telah menerapkan langkah-langkah kebijakan yang bersifat pre-emptive atau frontloaded yang telah membantu meredakan kekhawatiran pasar. Bahkan, di beberapa negara kebijakan moneter telah diperketat untuk menjaga stabilitas eksternal dan inflasi domestik, serta membendung akumulasi risiko yang mengancam stabilitas keuangan akibat periode suku bunga rendah yang berkepanjangan.
"Langkah-langkah lain seperti penangguhan proyek infrastruktur yang membutuhkan banyak bahan baku Impor juga telah dilakukan untuk mengurangi tekanan pada transaksi berjalan," terang dia.
Di sisi fiskal, anggaran pemerintah yang sehat mendukung kebijakan fiskal untuk memainkan peran countercyclical yang meski terbatas namun penting. Khor mengungkapkan, beberapa negara kawasan juga telah mengadopsi kebijakan yang cenderung ekspansif atau memprioritaskan ulang pengeluaran jika terdapat keterbatasan fiskal.
"Setelah periode pertumbuhan yang tinggi didukung oleh kondisi keuangan global yang longgar beberapa ekonomi kawasan saat ini mengalami pertambatan siklus kredit dan beberapa telah melonggarkan kebijakan makroprudensial untuk mendorong penyaluran kredit," beber dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengungkapkan, risiko dari ketegangan perdagangan global akan berdampak pada semester kedua tahun 2019. Tantangan dari pertumbuhan ekonomi global yang lemah akan semakin dirasakan pada semester kedua tahun ini.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memandang, pemulihan ekonomi global lebih rendah dari perkiraan. Hal ini disebabkan oleh prospek pertumbuhan ekonomi AS yang menurun, perbaikan ekonomi Eropa yang diperkirakan lebih lambat, serta ekonomi China yang diperkirakan belum kuat.
Menurut dia, risiko eskalasi perang dagang yang meningkat turut menurunkan prospek ekonomi global 2019. "BI memperkirakan PDB dunia 2019 dan 2020 mencapai 3,3% dan 3,4%," kata Perry. (Kunthi Fahmar Sandy)
Kepala Ekonom ASEAN+3 Macroeconomy Research Office (AMRO) Hoe Ee Khor mengatakan, di situasi ekstrem ini, Amerika Serikat (AS) dan China diasumsikan akan mengenakan tarif sebesar 25% untuk semua impor antara kedua negara. “AS dan Tiongkok akan sama-sama dirugikan, terlebih jika tambahan kebijakan non-tarif Juga diterapkan,” ujar Khor di Jakarta, kemarin.
Menurut Khor, dampak absolut perang dagang terhadap pertumbuhan ekonomi AS selama 2019-2020 relatif lebih rendah yang diperkirakan terpangkas 30 bps dibandingkan terhadap China yang pertumbuhan ekonominya bisa melorot 60 bps. Namun, dampak relatif terhadap AS akan jauh lebih besar yakni sekitar 13% terhadap pertumbuhan rata-rata 2019-2020 dibandingkan terhadap Chinya yang masih di bawah 10%.
Sementara untuk Indonesia, lanjut dia, diyakini tidak terpengaruh secara signifikan dampak perang dagang. Hal tersebut dikarenakan industri di Indonesia belum terlibat sepenuhnya dalam rantai pasok global manufaktur khususnya sektor elektronik.
Dia pun masih memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5,1% untuk 2019 dan 2020. Namun demikian, otoritas di kawasan harus terus waspada mengingat risiko menjadi semakin nyata.
Khor menuturkan, beberapa negara kawasan telah menerapkan langkah-langkah kebijakan yang bersifat pre-emptive atau frontloaded yang telah membantu meredakan kekhawatiran pasar. Bahkan, di beberapa negara kebijakan moneter telah diperketat untuk menjaga stabilitas eksternal dan inflasi domestik, serta membendung akumulasi risiko yang mengancam stabilitas keuangan akibat periode suku bunga rendah yang berkepanjangan.
"Langkah-langkah lain seperti penangguhan proyek infrastruktur yang membutuhkan banyak bahan baku Impor juga telah dilakukan untuk mengurangi tekanan pada transaksi berjalan," terang dia.
Di sisi fiskal, anggaran pemerintah yang sehat mendukung kebijakan fiskal untuk memainkan peran countercyclical yang meski terbatas namun penting. Khor mengungkapkan, beberapa negara kawasan juga telah mengadopsi kebijakan yang cenderung ekspansif atau memprioritaskan ulang pengeluaran jika terdapat keterbatasan fiskal.
"Setelah periode pertumbuhan yang tinggi didukung oleh kondisi keuangan global yang longgar beberapa ekonomi kawasan saat ini mengalami pertambatan siklus kredit dan beberapa telah melonggarkan kebijakan makroprudensial untuk mendorong penyaluran kredit," beber dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengungkapkan, risiko dari ketegangan perdagangan global akan berdampak pada semester kedua tahun 2019. Tantangan dari pertumbuhan ekonomi global yang lemah akan semakin dirasakan pada semester kedua tahun ini.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memandang, pemulihan ekonomi global lebih rendah dari perkiraan. Hal ini disebabkan oleh prospek pertumbuhan ekonomi AS yang menurun, perbaikan ekonomi Eropa yang diperkirakan lebih lambat, serta ekonomi China yang diperkirakan belum kuat.
Menurut dia, risiko eskalasi perang dagang yang meningkat turut menurunkan prospek ekonomi global 2019. "BI memperkirakan PDB dunia 2019 dan 2020 mencapai 3,3% dan 3,4%," kata Perry. (Kunthi Fahmar Sandy)
(nfl)