Pemerintahan Jokowi Perlu Dorong Penerapan Trilogi Maritim
A
A
A
JAKARTA - Gagasan Trilogi Maritim sebagai strategi pengembangan kemaritiman di Tanah Air harus diikuti dengan fokus pada aspek kebijakan dan tata kelola (governance), khusunya sektor-sektor yang berorientasi komersial.
“Pemerintah perlu lebih aktif mendorong adanya sinergi dan kolaborasi ketiga unsur yang ada dalam konsep trilogi maritim yaitu standarisasi pelabuhan, aliansi pelayaran, dan industri yang terakses baik dengan pelabuhan,” ujar Pakar Kemaritiman dari ITS Saut Gurning dalam keterangan persnya kemarin.
Menurutnya, selain itu pemerintah juga perlu lebih berpartisipasi dalam hal finansial dengan mengeluarkan kebijakan fiskal di bidang jasa kepalabuhanan serta penganggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara bagi wilayah jasa yang non-komersial partisipasi pemerintah perlu aktif dan hadir dalam urusan penyediaan biaya kapital bagi insfrastruktur dermaga, peralatan bongkar-muat, sumber daya manusia (SDM), hingga armada kapal serta infastruktur.
“Ke depannya, usaha menstimulasi pendanaan daerah lewat BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) serta perbankan daerah perlu dilakukan guna mengeksplorasi kepentingan daerah, dengan memberikan manfaat langsung bagi pengembangan usaha jasa kepelabuhanan di daerah,” ujar Saut.
Lebih jauh dia menjelaskan, konsep trilogi maritim yang diusulkan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II/IPC Elvyn G Masassya merupakan ide dan pola yang baik guna meningkatkan kinerja pengelola kepelabuhanan, pelaku industri pelayaran, serta dunia usaha yang berorientasi ekspor. Jika direalisasikan, kata Saut, ide Trilogi Maritim akan menekan biaya logistik nasional, sehingga bisa lebih bersaing dengan sejumlah negara tetangga.
"Sebenarnya dari tiga parameter yang diusulkan tidak ada yang baru. Namun karena ketiga faktor tersebut menjadi satu paket usulan, maka ketiga variabel yang diusulkan menjadi menarik, yaitu standarisasi (kinerja dan fasilitas) pelabuhan, kolaborasi dengan pelayaran, serta aksesibilitas bagi kawasan industri,” katanya.
Menurut Saut, standardisasi pelabuhan telah diinisiasi pemerintah, khususnya terkait kinerja operasi pelabuhan. Terkait aliansi dengan pelayaran, saat ini sudah banyak dermaga dan terminal di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dikolaborasikan dengan sejumlah perusahaan pelayaran yang dikenal dengan istilah dedicated terminal.
Adapun terkait integrasi pelabuhan dan kawasan industri, menurut Saut, sudah diupayakan di berbagai pelabuhan baik di Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Sehingga, apabila ketiga variabel ini menjadi satu kesatuan, maka lebih berpotensi memberi dampak tidak hanya secara komersial, namun juga memberikan manfaat secara operasional.
Daerah pun akan semakin berkembang secara ekonomi. Saut optimistis, Trilogi Maritim minimal memberikan triple efek yaitu terhadap pelabuhan itu sendiri, lalu pelayaran dan industri atau entitas pemilik barang serta wilayah ekonomi di sekitar lokasi pelabuhan (hinterland dan foreland).
“Jadi orientasinya tidak hanya untuk kepentingan profit secara internal bagi operator pelabuhan, namun juga bagi kepentingan dan manfaat industri pelayaran serta industri produsen dan pengolah barang. Jadi secara kolektif memberikan manfaat bagi ekosistem terkait jasa kepelabuhanan nasional,” kata Saut.
Meski begitu, ujar Saut, wacana Trilogi Maritim tetap memiliki tantangan yaitu cara pandang para pelaku usaha jasa kepelabuhanan yang cenderung fokus pada kepentingan entitasnya saja. Selain itu ada potensi resistensi internal untuk berinteraksi antar pelaku usaha untuk bersama-sama memberikan nilai tambah ekonomi secara bersama.
“Saya kira, usaha untuk melakukan kolaborasi antara operator pelabuhan (termasuk layanan stevedoring di internal BUP dan PBM), pelayaran dan pemilik barang harus diusahakan, baik oleh berbagai usaha BUMN maupun swasta, juga BUMD,” paparnya.
“Pemerintah perlu lebih aktif mendorong adanya sinergi dan kolaborasi ketiga unsur yang ada dalam konsep trilogi maritim yaitu standarisasi pelabuhan, aliansi pelayaran, dan industri yang terakses baik dengan pelabuhan,” ujar Pakar Kemaritiman dari ITS Saut Gurning dalam keterangan persnya kemarin.
Menurutnya, selain itu pemerintah juga perlu lebih berpartisipasi dalam hal finansial dengan mengeluarkan kebijakan fiskal di bidang jasa kepalabuhanan serta penganggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara bagi wilayah jasa yang non-komersial partisipasi pemerintah perlu aktif dan hadir dalam urusan penyediaan biaya kapital bagi insfrastruktur dermaga, peralatan bongkar-muat, sumber daya manusia (SDM), hingga armada kapal serta infastruktur.
“Ke depannya, usaha menstimulasi pendanaan daerah lewat BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) serta perbankan daerah perlu dilakukan guna mengeksplorasi kepentingan daerah, dengan memberikan manfaat langsung bagi pengembangan usaha jasa kepelabuhanan di daerah,” ujar Saut.
Lebih jauh dia menjelaskan, konsep trilogi maritim yang diusulkan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II/IPC Elvyn G Masassya merupakan ide dan pola yang baik guna meningkatkan kinerja pengelola kepelabuhanan, pelaku industri pelayaran, serta dunia usaha yang berorientasi ekspor. Jika direalisasikan, kata Saut, ide Trilogi Maritim akan menekan biaya logistik nasional, sehingga bisa lebih bersaing dengan sejumlah negara tetangga.
"Sebenarnya dari tiga parameter yang diusulkan tidak ada yang baru. Namun karena ketiga faktor tersebut menjadi satu paket usulan, maka ketiga variabel yang diusulkan menjadi menarik, yaitu standarisasi (kinerja dan fasilitas) pelabuhan, kolaborasi dengan pelayaran, serta aksesibilitas bagi kawasan industri,” katanya.
Menurut Saut, standardisasi pelabuhan telah diinisiasi pemerintah, khususnya terkait kinerja operasi pelabuhan. Terkait aliansi dengan pelayaran, saat ini sudah banyak dermaga dan terminal di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dikolaborasikan dengan sejumlah perusahaan pelayaran yang dikenal dengan istilah dedicated terminal.
Adapun terkait integrasi pelabuhan dan kawasan industri, menurut Saut, sudah diupayakan di berbagai pelabuhan baik di Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Sehingga, apabila ketiga variabel ini menjadi satu kesatuan, maka lebih berpotensi memberi dampak tidak hanya secara komersial, namun juga memberikan manfaat secara operasional.
Daerah pun akan semakin berkembang secara ekonomi. Saut optimistis, Trilogi Maritim minimal memberikan triple efek yaitu terhadap pelabuhan itu sendiri, lalu pelayaran dan industri atau entitas pemilik barang serta wilayah ekonomi di sekitar lokasi pelabuhan (hinterland dan foreland).
“Jadi orientasinya tidak hanya untuk kepentingan profit secara internal bagi operator pelabuhan, namun juga bagi kepentingan dan manfaat industri pelayaran serta industri produsen dan pengolah barang. Jadi secara kolektif memberikan manfaat bagi ekosistem terkait jasa kepelabuhanan nasional,” kata Saut.
Meski begitu, ujar Saut, wacana Trilogi Maritim tetap memiliki tantangan yaitu cara pandang para pelaku usaha jasa kepelabuhanan yang cenderung fokus pada kepentingan entitasnya saja. Selain itu ada potensi resistensi internal untuk berinteraksi antar pelaku usaha untuk bersama-sama memberikan nilai tambah ekonomi secara bersama.
“Saya kira, usaha untuk melakukan kolaborasi antara operator pelabuhan (termasuk layanan stevedoring di internal BUP dan PBM), pelayaran dan pemilik barang harus diusahakan, baik oleh berbagai usaha BUMN maupun swasta, juga BUMD,” paparnya.
(don)