Kinerja Investasi Migas Belum Memuaskan
A
A
A
JAKARTA - Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai kinerja investasi migas di Indonesia masih belum memuaskan. Hingga semester I-2019, realisasi investasi migas baru mencapai USDD5,21 miliar atau 35% target 2019 sebesar USD14,79 miliar.
Padahal investasi migas merupakan syarat mutlak untuk dapat meningkatkan produksi migas nasional, memperkuat ketahanan energi nasional dan sekaligus menambah sumber penerimaan negara.
Peneliti Indef, Abra Talattov, mengatakan sejak tahun 2014, investasi hulu migas selalu mengalami penurunan. Sementara itu, realisasi investasi migas sepanjang 2018 tercatat tumbuh 14,9% menjadi USD12,69 miliar. Namun masih jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014.
"Rendahnya realisasi investasi migas tersebut menjadi anomali ditengah suburnya terobosan kebijakan yang telah ditelurkan pemerintah. Salah satunya seperti skema gross split yang digadang-gadang dapat meningkatkan keuntungan yang lebih besar bagi investor," ujarnya di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Melalui skema gross split, pemerintah menjanjikan simplifikasi proses bisnis, prosedur dan administrasi dalam melaksanakan kegiatan operasi perminyakan sehingga diharapkan mampu mendorong investor untuk lebih giat berinvestasi. Namun nyatanya hanya ada 14 blok yang berhasil dilelang dengan skema gross split dalam 2 tahun terakhir.
"Hal yang sangat penting dan menjadi perhatian investor justru adalah soal stabilitas hukum dan politik, bukan sekadar insentif yang dijanjikan pemerintah," imbuhnya.
Abra melanjutkan, investasi migas merupakan investasi jangka panjang sehingga wajar jika isu utama yang mesti diantisipasi oleh investor adalah potensi gejolak politik yang berujung pada perombakan kebijakan, baik secara minor apalagi yang bersifat mayor. Untuk itu, setiap perubahan kebijakan mesti dilakukan dengan smooth, melalui dasar kajian yang kredibel dan proses dialog yang terbuka dan setara dengan stakeholders.
"Pemerintah harus bisa berkomitmen dan meyakinkan investor dalam mengurangi risiko instabilitas hukum dan politik. Di sisi lain juga dapat menunjukkan potensi keuntungan kepada investasi di sektor migas," jelasnya.
Ekonom Senior Indef, Faisal Basri, mengatakan pemerintah perlu meninjau kembali metode gross split. Ada baiknya menawarkan menu beragam, bukan tunggal.
"Jadi bukan sekedar perubahan PSC cost recovery ke PSC gross split, tapi menawarkan menu beragam. Ladang minyak kita beragam tingkat kesulitannya, juga beragam potensinya. Berilah keleluasaan untuk setiap equity migas yang kita miliki," ungkapnya.
Menurut Faisal, akibat menu tunggal, penerapan sistem gross split dapat menghambat investasi di sektor hulu migas.
"Penerapan sistem gross split menyebabkan persentase proyek yang tidak ekonomis (uneconomic) meningkat dari 17% menjadi 18% untuk proyek minyak bumi. Sementara ketidakekonomisan proyek gas bumi dari sistem ini meningkat dari 35% menjadi 45%," tandasnya.
Padahal investasi migas merupakan syarat mutlak untuk dapat meningkatkan produksi migas nasional, memperkuat ketahanan energi nasional dan sekaligus menambah sumber penerimaan negara.
Peneliti Indef, Abra Talattov, mengatakan sejak tahun 2014, investasi hulu migas selalu mengalami penurunan. Sementara itu, realisasi investasi migas sepanjang 2018 tercatat tumbuh 14,9% menjadi USD12,69 miliar. Namun masih jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014.
"Rendahnya realisasi investasi migas tersebut menjadi anomali ditengah suburnya terobosan kebijakan yang telah ditelurkan pemerintah. Salah satunya seperti skema gross split yang digadang-gadang dapat meningkatkan keuntungan yang lebih besar bagi investor," ujarnya di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Melalui skema gross split, pemerintah menjanjikan simplifikasi proses bisnis, prosedur dan administrasi dalam melaksanakan kegiatan operasi perminyakan sehingga diharapkan mampu mendorong investor untuk lebih giat berinvestasi. Namun nyatanya hanya ada 14 blok yang berhasil dilelang dengan skema gross split dalam 2 tahun terakhir.
"Hal yang sangat penting dan menjadi perhatian investor justru adalah soal stabilitas hukum dan politik, bukan sekadar insentif yang dijanjikan pemerintah," imbuhnya.
Abra melanjutkan, investasi migas merupakan investasi jangka panjang sehingga wajar jika isu utama yang mesti diantisipasi oleh investor adalah potensi gejolak politik yang berujung pada perombakan kebijakan, baik secara minor apalagi yang bersifat mayor. Untuk itu, setiap perubahan kebijakan mesti dilakukan dengan smooth, melalui dasar kajian yang kredibel dan proses dialog yang terbuka dan setara dengan stakeholders.
"Pemerintah harus bisa berkomitmen dan meyakinkan investor dalam mengurangi risiko instabilitas hukum dan politik. Di sisi lain juga dapat menunjukkan potensi keuntungan kepada investasi di sektor migas," jelasnya.
Ekonom Senior Indef, Faisal Basri, mengatakan pemerintah perlu meninjau kembali metode gross split. Ada baiknya menawarkan menu beragam, bukan tunggal.
"Jadi bukan sekedar perubahan PSC cost recovery ke PSC gross split, tapi menawarkan menu beragam. Ladang minyak kita beragam tingkat kesulitannya, juga beragam potensinya. Berilah keleluasaan untuk setiap equity migas yang kita miliki," ungkapnya.
Menurut Faisal, akibat menu tunggal, penerapan sistem gross split dapat menghambat investasi di sektor hulu migas.
"Penerapan sistem gross split menyebabkan persentase proyek yang tidak ekonomis (uneconomic) meningkat dari 17% menjadi 18% untuk proyek minyak bumi. Sementara ketidakekonomisan proyek gas bumi dari sistem ini meningkat dari 35% menjadi 45%," tandasnya.
(ven)