Potensi Inharmonisasi, RUU Pertanahan Harus Ditunda

Sabtu, 03 Agustus 2019 - 16:45 WIB
Potensi Inharmonisasi, RUU Pertanahan Harus Ditunda
Potensi Inharmonisasi, RUU Pertanahan Harus Ditunda
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan masih banyak hal yang perlu diperjelas, terutama dalam konteks/substansi dan potensi inharmonisasinya dengan banyak kebijakan perundangan lainnya. Belum lagi potensi "kegaduhan" yang mungkin timbul dari ketidakjelasan dalam taraf implementasi nantinya.

“Kami menilai saat ini ada kesan terburu-buru karena draft UU pertanahan yang ada terkesan mengabaikan semua hal di atas dan berpotensi menyebakan terjadinya inharmonisasi. Padahal kita tahu UU pertanahan ini akan bersinggungan langsung dengan banyak UU. Jadi sebaikanya ditunda saja pengesahannya,” ujar Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Dr. Rudianto Amirta menanggapi polemik RUU Pertanahan, Sabtu (3/8/2019).

Rudianto mengaku, sangat setuju bila RUU Pertanahan ditunda pengesahanya periode DPR saat ini. Sebagaimana yang telah disampaikan dirinya dan rekan-rekan pimpinan perguruan tinggi kehutanan (FOReTIKA) lainnya, pihaknya tidak setuju dan menyampaikan keberatan jika draft UU Pertanahan ini disahkan dalam waktu dekat.

Bahkan, FOReTIKA menyerukan agar DPR dapat menunda dan memberi waktu yang lebih panjang serta keterlibatan para pihak terkait, termasuk dari akademisi guna memberikan pandangan profesional akan berbagai hal yang akan diatur di dalam UU ini.

Menurut Rudianto, seharusnya hadirnya UU baru mempertimbangkan faktor harmonisasi dari semua elemen yang ada, sehinga dapat menjamin tidak terjadinya pertentangan (konflik); kontradiksi substansi (pertentangan dengan peraturan hukum lainnya); ketumpangtindihan dalam kewenangan/pelaksanaan; inkonsistensi (keteraturan azas); kesenjangan hukum; ketidaklayakan penerapan (incompatible).

Sejumlah aturan atau UU yang dinilai bertabrakan dengan RUU Pertanahan lanjut Rudianto, seperti UU Pemda, UU Perseroan, UU BUMN, UU lingkungan hidup, UU Kehutanan, UU yang mengatur kompetensi peradilan di indonesia, UU Pesisir dan juga aturan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat serta UU terkait pidana.

"Selain itu ada juga yang secara substansial kami khawatirkan terkait dengan keberadaan kawasan hutan yaitu yang tertuang pada pasal 154. Ada kekhawatiran pasal ini dapat menjadi titik masuk dari "prose pembenaran/pemutihan" atas usaha perkebunan dan lainnya yang masuk ke dalam kawasan hutan, yang pada akhirnya akan berpotensi menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan,” papar Rudianto yang menyelesaikan Ph.D pada program Applied Life Science di Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Jepang

Diakui Rudianto, dirinya dan rekan rekan akademisi kehutanan sangat kaget karena dalam pembahasan, ternyata sangat miskin keterlibatan dari matra kehutanan, termasuk di dalamnya peran Akademisi kehutanan yang seharusnya seharusnya secara substansial juga diminta masukan, kritisasi dan pendapat profesionalnya atas UU tersebut.

Secara substansi pihaknya juga menilai bahwa draft UU Pertanahan ini belum secara jelas memuat isu-isu penting yang menyangkut peran ekologis dari hutan sebagai "darah dan nyawa" bagi kehidupan.

“Kami khawatir jika hal penting ini terabaikan hanya karena peran dan muatan ekonomi semata yang diprioritaskan, maka hal itu akan sangat mengancam keberadaan hutan yang kita miliki saat ini,” katanya

Pada bagian akhir penjelasnanya, Rudianto sekali lagi mengajak DPR dan Pemerintah untuk membahas kembali, telaah dan kritisi kembali draft ini agar dapat diterima dan memberikan yang terbaik bagi bangsa ini, khusunya kelestarian hutan untuk saat ini dan juga masa mendatang. “Beri ruang lebih luas kepada para pihak yang terkait dan berkompeten untuk terlibat dalam pembahasannya,” tambah Rudianto.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3253 seconds (0.1#10.140)