Sepertiga Miliarder IT Berasal dari Keluarga Migran
A
A
A
NEW YORK - Miliarder yang memiliki bisnis di bidang teknologi ternyata memiliki kisah menarik karena mereka justru adalah seorang migran atau keluarga migran yang pindah ke Amerika Serikat (AS). Lebih dari sepertiga petinggi dan pemilik perusahaan teknologi di AS ternyata orang kelahiran di luar Negeri Paman Sam tersebut.
Mereka berjuang dan berusaha keras untuk menggapai kesuksesannya. Cerita mereka pun mendorong banyak migran berlomba-lomba datang ke AS untuk mewujudkan American Dream. Sama seperti kebanyakan migran, banyak miliarder teknologi AS mengalami kendala bahasa hingga keuangan sebelum mencapai kesuksesan yang luar biasa.
Sergei Brin merupakan salah satu miliarder yang mengalami banyak kesulitan pada awal-awal di AS. Pendiri Google itu berusia enam tahun ketika keluarganya bermigrasi dari Uni Soviet dan tinggal di Maryland. “Kenangan pertamanya tentang AS adalah dia duduk di kursi belakang mobil dan terkagum-kagum dengan mobil-mobil besar di jalanan tol,” ujar ibu Brin, Eugenia Brin, kepada Moment Magazine.
Ibu Sergei Brin juga mengungkapkan bagaimana putranya berjuang keras untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Dia mengalami kesulitan berbahasa Inggris dengan aksen Soviet yang sangat kuat. Tahun pertamanya di AS merupakan tahun yang sangat sulit baginya.
“Kita terus konsisten berdiskusi tentang fakta yang kita hadapi bahwa anak-anak itu seperti sepon, di mana mereka bisa belajar bahasa dengan cepat dan tidak menghadapi masalah,” kata Eugenia Brin.
Akhirnya, Sergei Brin pun belajar bahasa Inggris. Dia pun kuliah hingga PhD di Stanford mengambil jurusan ilmu komputer. Di sana, dia bertemu Larry Page dan mendirikan Google. Kini, Google merupakan perusahaan bernilai USD366 miliar. Kekayaan bersih Brin kini mencapai USD30 miliar.
Sementara miliarder teknologi yang merupakan migran adalah Elon Musk. Dia lahir di Afrika Selatan dan kemudian pindah ke Kanada untuk kuliah dan mendapatkan kewarganegaraan Kanada pada 1989. Dia sering bercerita mengenai masa kecilnya di Afrika Selatan dan perjuangannya tumbuh besar di komunitas tersebut.
Dia meraih gelar sarjananya di Universitas Queen di Ontario dan dulu harus berjuang hidup dengan biaya hanya USD1 per hari. Kemudian, dia pindah ke Universitas Pennsylvania dan mendapatkan dua gelar. Dia mendirikan perusahaan pertamanya, Zip2 Corporation, pada 1995. Dia mendapatkan kewarganegaraan AS pada 2002. Pada tahun yang sama, dia menghasilkan satu miliar pertamanya ketika PayPal diakuisisi oleh eBay senilai USD1,5 miliar. Kemudian, otak kreatifnya bermain untuk mendirikan Tesla dan SpaceX. Kini, kekayaannya mencapai USD19,7 miliar.
Sementara itu, Sundar Pichai awalnya ketika bermigrasi ke AS justru sangat minim mendapatkan ponsel, komputer, dan sulit mendapatkan sinyal internet. Sekarang, dia adalah CEO Google. Melansir CNN, Sundar Pichai tumbuh besar di kota miskin dan kecil di India sebelum bermigrasi ke AS untuk kuliah.
Pichai menceritakan ketika keluarganya di India pertama kali memiliki ponsel. “Keluarga langsung menghubungi anak-anaknya,” katanya kepada CNN. Menurut dia, itu menunjukkan kekuatan bagaimana banyak hal memungkinkan dengan teknologi.
Pichai berkuliah di Stanford dengan beasiswa penuh dan mendapatkan gelar MBA dari Wharton School di Universitas Pennsylvania. Dia kemudian bekerja di Applied Materials dan McKinsey sebelum bergabung dengan Google pada 2004. Pada 2015m, dia menjadi CEO Google.
Merasa bangga dengan latar belakangnya sebagai migran, Pichai berani berkonflik dengan Presiden AS Donald Trump tentang kebijakan imigrasi dan larangan bepergian. “Sangat penting bahwa kita tidak akan membuat tentang isu teknologi melawan isu negara,” kata Pichai pada Januari 2018 ketika ditanya tentang isu imigrasi.
Kisah menarik selanjutnya adalah Max Levchin, pendiri PayPal. Pria kelahiran Ukraina itu bermigrasi ke AS pada usia 16 tahun. Pendiri PayPal yang merupakan pria kelahiran Ukraina itu bermigrasi ke AS pada usia 16 tahun. Levchin mengungkapkan, keluarganya dalam kondisi miskin ketika tiba di AS pada 1991.
Meski lancar berbahasa Inggris, dia mengalami kesulitan beradaptasi budaya AS di sekolah. Untuk membantu asimilasi budaya, dia pun sering menonton pertunjukan di televisi. “Itulah kenapa saya kehilangan aksen saya yang dulu. Saya belajar tentang budaya pop Amerika,” katanya kepada Silicon Valley Business Journal. Setelah tinggal tujuh tahun di Chicago, pada 1998, dia mendirikan PayPal bersama Peter Thiel dan Elon Musk.
Kemudian, Chamath Palihapitiya lahir di Sri Lanka dan pindah ke Kanada pada usia enam tahun. Saat itu, ayahnya masih berstatus pengangguran dan keluarganya bergantung pada jaminan sosial.
Dia terobsesi menjadi orang kaya berdasarkan daftar miliarder yang dikeluarkan setiap tahun oleh Forbes. Dia pun bekerja keras. Dia belajar rajin dan meraih gelar sarjana teknik listrik dari Universitas Waterloo. Dia pun menjadi pemimpin teknologi sukses pada usia yang sangat muda.
Mimpinya pun menjadi kenyataan. Dia pernah menjadi Vice President di AOL pada usia 26 tahun, dia juga pernah bekerja di Facebook dan menjadi eksekutif senior. Namun, dia memilih mundur dengan mendirikan firma capital di Silicon Valley pada 2011. (Andika Hendra M)
Mereka berjuang dan berusaha keras untuk menggapai kesuksesannya. Cerita mereka pun mendorong banyak migran berlomba-lomba datang ke AS untuk mewujudkan American Dream. Sama seperti kebanyakan migran, banyak miliarder teknologi AS mengalami kendala bahasa hingga keuangan sebelum mencapai kesuksesan yang luar biasa.
Sergei Brin merupakan salah satu miliarder yang mengalami banyak kesulitan pada awal-awal di AS. Pendiri Google itu berusia enam tahun ketika keluarganya bermigrasi dari Uni Soviet dan tinggal di Maryland. “Kenangan pertamanya tentang AS adalah dia duduk di kursi belakang mobil dan terkagum-kagum dengan mobil-mobil besar di jalanan tol,” ujar ibu Brin, Eugenia Brin, kepada Moment Magazine.
Ibu Sergei Brin juga mengungkapkan bagaimana putranya berjuang keras untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Dia mengalami kesulitan berbahasa Inggris dengan aksen Soviet yang sangat kuat. Tahun pertamanya di AS merupakan tahun yang sangat sulit baginya.
“Kita terus konsisten berdiskusi tentang fakta yang kita hadapi bahwa anak-anak itu seperti sepon, di mana mereka bisa belajar bahasa dengan cepat dan tidak menghadapi masalah,” kata Eugenia Brin.
Akhirnya, Sergei Brin pun belajar bahasa Inggris. Dia pun kuliah hingga PhD di Stanford mengambil jurusan ilmu komputer. Di sana, dia bertemu Larry Page dan mendirikan Google. Kini, Google merupakan perusahaan bernilai USD366 miliar. Kekayaan bersih Brin kini mencapai USD30 miliar.
Sementara miliarder teknologi yang merupakan migran adalah Elon Musk. Dia lahir di Afrika Selatan dan kemudian pindah ke Kanada untuk kuliah dan mendapatkan kewarganegaraan Kanada pada 1989. Dia sering bercerita mengenai masa kecilnya di Afrika Selatan dan perjuangannya tumbuh besar di komunitas tersebut.
Dia meraih gelar sarjananya di Universitas Queen di Ontario dan dulu harus berjuang hidup dengan biaya hanya USD1 per hari. Kemudian, dia pindah ke Universitas Pennsylvania dan mendapatkan dua gelar. Dia mendirikan perusahaan pertamanya, Zip2 Corporation, pada 1995. Dia mendapatkan kewarganegaraan AS pada 2002. Pada tahun yang sama, dia menghasilkan satu miliar pertamanya ketika PayPal diakuisisi oleh eBay senilai USD1,5 miliar. Kemudian, otak kreatifnya bermain untuk mendirikan Tesla dan SpaceX. Kini, kekayaannya mencapai USD19,7 miliar.
Sementara itu, Sundar Pichai awalnya ketika bermigrasi ke AS justru sangat minim mendapatkan ponsel, komputer, dan sulit mendapatkan sinyal internet. Sekarang, dia adalah CEO Google. Melansir CNN, Sundar Pichai tumbuh besar di kota miskin dan kecil di India sebelum bermigrasi ke AS untuk kuliah.
Pichai menceritakan ketika keluarganya di India pertama kali memiliki ponsel. “Keluarga langsung menghubungi anak-anaknya,” katanya kepada CNN. Menurut dia, itu menunjukkan kekuatan bagaimana banyak hal memungkinkan dengan teknologi.
Pichai berkuliah di Stanford dengan beasiswa penuh dan mendapatkan gelar MBA dari Wharton School di Universitas Pennsylvania. Dia kemudian bekerja di Applied Materials dan McKinsey sebelum bergabung dengan Google pada 2004. Pada 2015m, dia menjadi CEO Google.
Merasa bangga dengan latar belakangnya sebagai migran, Pichai berani berkonflik dengan Presiden AS Donald Trump tentang kebijakan imigrasi dan larangan bepergian. “Sangat penting bahwa kita tidak akan membuat tentang isu teknologi melawan isu negara,” kata Pichai pada Januari 2018 ketika ditanya tentang isu imigrasi.
Kisah menarik selanjutnya adalah Max Levchin, pendiri PayPal. Pria kelahiran Ukraina itu bermigrasi ke AS pada usia 16 tahun. Pendiri PayPal yang merupakan pria kelahiran Ukraina itu bermigrasi ke AS pada usia 16 tahun. Levchin mengungkapkan, keluarganya dalam kondisi miskin ketika tiba di AS pada 1991.
Meski lancar berbahasa Inggris, dia mengalami kesulitan beradaptasi budaya AS di sekolah. Untuk membantu asimilasi budaya, dia pun sering menonton pertunjukan di televisi. “Itulah kenapa saya kehilangan aksen saya yang dulu. Saya belajar tentang budaya pop Amerika,” katanya kepada Silicon Valley Business Journal. Setelah tinggal tujuh tahun di Chicago, pada 1998, dia mendirikan PayPal bersama Peter Thiel dan Elon Musk.
Kemudian, Chamath Palihapitiya lahir di Sri Lanka dan pindah ke Kanada pada usia enam tahun. Saat itu, ayahnya masih berstatus pengangguran dan keluarganya bergantung pada jaminan sosial.
Dia terobsesi menjadi orang kaya berdasarkan daftar miliarder yang dikeluarkan setiap tahun oleh Forbes. Dia pun bekerja keras. Dia belajar rajin dan meraih gelar sarjana teknik listrik dari Universitas Waterloo. Dia pun menjadi pemimpin teknologi sukses pada usia yang sangat muda.
Mimpinya pun menjadi kenyataan. Dia pernah menjadi Vice President di AOL pada usia 26 tahun, dia juga pernah bekerja di Facebook dan menjadi eksekutif senior. Namun, dia memilih mundur dengan mendirikan firma capital di Silicon Valley pada 2011. (Andika Hendra M)
(nfl)