McKinsey Peringatkan Bahaya Utang di Negara-negara Asia

Selasa, 20 Agustus 2019 - 19:05 WIB
McKinsey Peringatkan...
McKinsey Peringatkan Bahaya Utang di Negara-negara Asia
A A A
NEW YORK - Krisis ekonomi di Asia yang terjadi pada 1997, telah mengubah wajah ekonomi dan politik di Benua Kuning. Krisis keuangan itu bermula dari membengkaknya utang.

Perusahaan konsultan manajemen global McKinsey & Company mengingatkan negara-negara Asia untuk mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997, seiring meningkatnya tingkat utang luar negeri dan risiko perlambatan ekonomi global imbas perang dagang Amerika Serikat dan China.

"Utang yang meningkat, tekanan dalam membayar pinjaman, rentannya kreditur, dan praktik shadow banking cukup mengkhawatirkan untuk mengulang krisis dua dekade lalu," tulis Joydeep Sengupta dan Archana Seshadrinathan dalam laporan bertajuk "Sign of Stress in The Asian Financial System", seperti dilansir Bloomberg, Selasa (20/8/2019).

McKinsey memperingatkan perlambatan ekonomi global akan menekan pendapatan perusahaan-perusahaan Asia, dimana perusahaan menggunakan keuntungannya untuk membayar utang. Adapun perang dagang AS-China membuat para investor pemberi utang menjadi lebih berisiko.

Menghadapi ini, Moody's Investors Service menyarankan negara-negara Asia melakukan kebijakan moneter dan fiskal dalam mengimbangi dampak perlambatan ekonomi global.

Dalam laporannya, McKinsey memeriksa neraca keuangan lebih dari 23.000 perusahaan di 11 negara-negara Asia Pasifik pada periode 2007-2017. Hasilnya, sebagian besar perusahaan di Asia Pasifik mengalami tekanan signifikan dalam kewajiban membayar utang. Bahkan, China dan India, dua negara ekonomi besar Asia, tekanan perusahaan untuk membayar utang terus meningkat sejak 2007.

Menurut perusahaan yang berbasis di New York itu, utang perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik memiliki rasio cakupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Dan posisi ICR ini sangat rawan, karena perusahaan harus menggunakan mayoritas keuntungannya untuk membayar utang.

Indonesia sendiri, bersama China dan India, sejak 2017, lebih dari 25% utang jangka panjang perusahaan dalam bentuk valuta asing memiliki rasio cakupan bunga 1,5 kali.

Utang ini kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol) dengan porsi 62%, disusul sektor energi 11% dan bahan mentah dengan porsi 10%.

McKinsey memperingatkan untuk sektor utilitas di India dan Indonesia berpotensi memicu persoalan karena kemampuan untuk membayar utang tidaklah mudah.

Nah, untuk Indonesia, tingkat utang berdenominasi dolar Amerika Serikat mencapai 50% dari porsi utang yang ada, lebih tinggi dari rata-rata kawasan Asia sebesar 25%.

Meski pemerintah beranggapan bahwa aliran dana asing terus meningkat (capital inflow), namun kebanyakan berupa portofolio dan utang valas. Jika tidak dikelola dnegan baik, déjà vu seperti tahun 1997.

"Regulator (pemerintah) harus ketat menerapkan pengamanan untuk mencegah terulangnya krisis Asia. Pemicu potensial dari krisis perlu dipantau, termasuk gagal bayar dalam pembayaran utang, masalah likuiditas, dan fluktuasi besar dalam nilai tukar mata uang," tulis McKinsey.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0983 seconds (0.1#10.140)