Dunia Dibayangi Krisis Utang dalam 10 Tahun ke Depan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dunia sedang menghadapi krisis utang global yang akan terjadi dalam 10 tahun ke depan. Dengan total pinjaman global mencapai rekor USD307,4 triliun pada September 2023 lalu, ekonom menilai krisis utang ini tidak akan berakhir dengan baik.
Baik negara-negara berpendapatan tinggi maupun negara-negara berkembang telah mengalami peningkatan utang yang signifikan, naik sebesar USD100 triliun dibandingkan satu dekade sebelumnya, yang sebagian disebabkan oleh suku bunga yang tinggi.
"Saya memperkirakan 10 tahun ke depan akan menjadi dekade utang. Utang secara global akan mencapai puncaknya. Itu tidak akan berakhir dengan baik," kata Laffer, yang merupakan pimpinan dari penasehat investasi dan kekayaan Laffer Tengler Investments, seperti dilansir CNBC, Rabu (7/2/2024).
Sebagai bagian dari produk domestik bruto global, utang telah meningkat menjadi 336%. Hal ini sebanding dengan rata-rata rasio utang terhadap PDB sebesar 110% pada tahun 2012 di negara-negara maju, dan 35% di negara-negara berkembang. Angka tersebut mencapai 334% pada kuartal keempat tahun 2022, menurut laporan pemantauan utang global terbaru oleh Institute of International Finance.
Untuk memenuhi pembayaran utang, diperkirakan sekitar 100 negara harus memotong belanja infrastruktur sosial penting termasuk kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Negara-negara yang berhasil memperbaiki situasi fiskalnya dapat memperoleh manfaat dengan menarik tenaga kerja, modal, dan investasi dari luar negeri. Sementara negara-negara yang gagal memperbaiki situasi fiskalnya, kata Laffer, akan kehilangan sumber daya manusia, pendapatan – dan banyak lagi.
"Saya memperkirakan beberapa negara besar yang tidak mengatasi masalah utang mereka akan mengalami kematian fiskal secara perlahan," ujar Laffer.
Dia menambahkan, beberapa negara berkembang bisa saja mengalami kebangkrutan. Pasar negara maju seperti AS, Inggris, Jepang dan Perancis bertanggung jawab atas lebih dari 80% penumpukan utang pada paruh pertama tahun lalu. Sementara di negara-negara berkembang, China, India, dan Brasil mengalami peningkatan paling besar.
Ekonom tersebut memperingatkan bahwa pembayaran utang akan menjadi masalah yang lebih besar karena populasi di negara-negara maju terus menua dan pekerja menjadi semakin langka. "Ada dua cara utama untuk mengatasi masalah ini: menaikkan pajak atau menumbuhkan perekonomian Anda lebih cepat daripada menumpuknya utang," katanya.
Komentar Laffer muncul setelah keputusan Federal Reserve AS untuk mempertahankan suku bunga tidak berubah pada bulan Januari, dan menghilangkan harapan penurunan suku bunga pada bulan Maret.
Baik negara-negara berpendapatan tinggi maupun negara-negara berkembang telah mengalami peningkatan utang yang signifikan, naik sebesar USD100 triliun dibandingkan satu dekade sebelumnya, yang sebagian disebabkan oleh suku bunga yang tinggi.
"Saya memperkirakan 10 tahun ke depan akan menjadi dekade utang. Utang secara global akan mencapai puncaknya. Itu tidak akan berakhir dengan baik," kata Laffer, yang merupakan pimpinan dari penasehat investasi dan kekayaan Laffer Tengler Investments, seperti dilansir CNBC, Rabu (7/2/2024).
Sebagai bagian dari produk domestik bruto global, utang telah meningkat menjadi 336%. Hal ini sebanding dengan rata-rata rasio utang terhadap PDB sebesar 110% pada tahun 2012 di negara-negara maju, dan 35% di negara-negara berkembang. Angka tersebut mencapai 334% pada kuartal keempat tahun 2022, menurut laporan pemantauan utang global terbaru oleh Institute of International Finance.
Untuk memenuhi pembayaran utang, diperkirakan sekitar 100 negara harus memotong belanja infrastruktur sosial penting termasuk kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Negara-negara yang berhasil memperbaiki situasi fiskalnya dapat memperoleh manfaat dengan menarik tenaga kerja, modal, dan investasi dari luar negeri. Sementara negara-negara yang gagal memperbaiki situasi fiskalnya, kata Laffer, akan kehilangan sumber daya manusia, pendapatan – dan banyak lagi.
"Saya memperkirakan beberapa negara besar yang tidak mengatasi masalah utang mereka akan mengalami kematian fiskal secara perlahan," ujar Laffer.
Dia menambahkan, beberapa negara berkembang bisa saja mengalami kebangkrutan. Pasar negara maju seperti AS, Inggris, Jepang dan Perancis bertanggung jawab atas lebih dari 80% penumpukan utang pada paruh pertama tahun lalu. Sementara di negara-negara berkembang, China, India, dan Brasil mengalami peningkatan paling besar.
Ekonom tersebut memperingatkan bahwa pembayaran utang akan menjadi masalah yang lebih besar karena populasi di negara-negara maju terus menua dan pekerja menjadi semakin langka. "Ada dua cara utama untuk mengatasi masalah ini: menaikkan pajak atau menumbuhkan perekonomian Anda lebih cepat daripada menumpuknya utang," katanya.
Komentar Laffer muncul setelah keputusan Federal Reserve AS untuk mempertahankan suku bunga tidak berubah pada bulan Januari, dan menghilangkan harapan penurunan suku bunga pada bulan Maret.
(fjo)