Industri Additive Manufacturing Mulai Marak di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Industri Additive Manufacturing (AM) di Indonesia menunjukkan perkembangan yang menggembirakan setelah melalui tahap uji coba. Saat ini, pasar AM di Indonesia mencapai 5% dari total pasar AM di ASEAN. Hal ini tak terlepas dari semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap teknologi inovatif ini.
Hal tersebut merupakan salah satu fakta penting dalam proses adopsi AM di Indonesia sebagaimana dipaparkan dalam hasil studi yang berjudul “Additive Manufacturing: Adding Up Growth Opportunities for ASEAN” (“Additive Manufacturing: Meningkatkan Potensi Pertumbuhan di ASEAN”), yang baru-baru ini diluncurkan oleh Thyssenkrupp, salah satu perusahaan raksasa global di bidang engineering.
“Sebagaimana diperlihatkan hasil penelitian kami, additive manufacturing berpotensi besar untuk mengubah kawasan ASEAN dan meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor vital,” kata Jan Lueder, CEO Thyssenkrupp Regional Headquarters Asia Pacific.
Studi ini juga memperoleh dukungan dan pelibatan para ahli serta mitra dari berbagai bidang termasuk pemimpin industri pencetakan 3D global EOS GmbH dan National Additive Manufacturing Innovation Cluster (NAMIC) asal Singapura. Studi ini memaparkan prospek cerah untuk AM di kawasan ASEAN sebagaimana terlihat dari perkembangan adopsi AM terkini di 10 negara anggota ASEAN.
Berdasarkan studi tersebut, saat ini sudah ada sejumlah produsen printer 3D di Indonesia seperti UGM dan CentraLab. Selain itu terdapat distributor printer 3D global bermerek internasional di antaranya EOS, Leapfrog, UP, XYZ dan Jinhua WanHao. Hasil studi juga memaparkan terdapat peningkatan investasi untuk memperbaiki infrastruktur AM di Indonesia, salah satunya adalah melalui rencana UGM yang akan memproduksi 1.000 printer dengan harga terjangkau per tahun dalam waktu dekat.
Inspira Academy juga mengumumkan komitmen mereka untuk meningkatkan infrastruktur lokal dengan membangun pabrik printer 3D dengan nilai investasi lebih dari US$6 juta. Rencana ini diharapkan dapat menurunkan harga printer 3D. Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah meluncurkan program ‘Making Indonesia 4.0’ untuk mendorong perkembangan teknologi laser (IR technologies) di Indonesia.
Bahkan ada cerita keberhasilan terkait bahan cetak berkelanjutan/daur ulang ketika Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan pencetakan 3D filamen dari tutup botol daur ulang pada 2018. Inisiatif baru lainnya datang dari GE Additive yang menggunakan AM secara lokal untuk memproduksi suku cadang pesawat terbang dan sepeda motor. Rencananya mereka juga akan mengembangkan produk suku cadang untuk industri otomotif dan mesin.
Sejalan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia juga ikut aktif dalam mendorong adopsi teknologi AM. Mereka menyadari potensi AM dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan ini.
Di sisi lain, hasil penelitian juga mengungkapkan potensi besar bagi pasar ASEAN dalam memanfaatkan AM untuk berkontribusi pada output manufaktur global. Pasar AM juga diperkirakan menghasilkan nilai tambah hingga sekitar USD100 miliar pada 2025. Hal ini berdampak pada perkiraan nilai GDP ASEAN sebesar 1,5-2%.
“Additive manufacturing akan menjadi solusi inovatif untuk lebih mendorong pertumbuhan di ASEAN, sepanjang para pemangku kepentingan bekerja sama untuk terus membangun kesadaran serta ekosistem yang mendukung proses adopsi dan pengembangan additive manufacturing. Keberadaan Additive Manufacturing TechCenter Hub kami di Singapura mencerminkan komitmen kami menghadirkan inovasi transformatif yang lebih dekat ke kawasan Asia Pasifik untuk memenuhi kebutuhan pelanggan kami," paparnya.
Hal tersebut merupakan salah satu fakta penting dalam proses adopsi AM di Indonesia sebagaimana dipaparkan dalam hasil studi yang berjudul “Additive Manufacturing: Adding Up Growth Opportunities for ASEAN” (“Additive Manufacturing: Meningkatkan Potensi Pertumbuhan di ASEAN”), yang baru-baru ini diluncurkan oleh Thyssenkrupp, salah satu perusahaan raksasa global di bidang engineering.
“Sebagaimana diperlihatkan hasil penelitian kami, additive manufacturing berpotensi besar untuk mengubah kawasan ASEAN dan meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor vital,” kata Jan Lueder, CEO Thyssenkrupp Regional Headquarters Asia Pacific.
Studi ini juga memperoleh dukungan dan pelibatan para ahli serta mitra dari berbagai bidang termasuk pemimpin industri pencetakan 3D global EOS GmbH dan National Additive Manufacturing Innovation Cluster (NAMIC) asal Singapura. Studi ini memaparkan prospek cerah untuk AM di kawasan ASEAN sebagaimana terlihat dari perkembangan adopsi AM terkini di 10 negara anggota ASEAN.
Berdasarkan studi tersebut, saat ini sudah ada sejumlah produsen printer 3D di Indonesia seperti UGM dan CentraLab. Selain itu terdapat distributor printer 3D global bermerek internasional di antaranya EOS, Leapfrog, UP, XYZ dan Jinhua WanHao. Hasil studi juga memaparkan terdapat peningkatan investasi untuk memperbaiki infrastruktur AM di Indonesia, salah satunya adalah melalui rencana UGM yang akan memproduksi 1.000 printer dengan harga terjangkau per tahun dalam waktu dekat.
Inspira Academy juga mengumumkan komitmen mereka untuk meningkatkan infrastruktur lokal dengan membangun pabrik printer 3D dengan nilai investasi lebih dari US$6 juta. Rencana ini diharapkan dapat menurunkan harga printer 3D. Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah meluncurkan program ‘Making Indonesia 4.0’ untuk mendorong perkembangan teknologi laser (IR technologies) di Indonesia.
Bahkan ada cerita keberhasilan terkait bahan cetak berkelanjutan/daur ulang ketika Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan pencetakan 3D filamen dari tutup botol daur ulang pada 2018. Inisiatif baru lainnya datang dari GE Additive yang menggunakan AM secara lokal untuk memproduksi suku cadang pesawat terbang dan sepeda motor. Rencananya mereka juga akan mengembangkan produk suku cadang untuk industri otomotif dan mesin.
Sejalan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia juga ikut aktif dalam mendorong adopsi teknologi AM. Mereka menyadari potensi AM dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan ini.
Di sisi lain, hasil penelitian juga mengungkapkan potensi besar bagi pasar ASEAN dalam memanfaatkan AM untuk berkontribusi pada output manufaktur global. Pasar AM juga diperkirakan menghasilkan nilai tambah hingga sekitar USD100 miliar pada 2025. Hal ini berdampak pada perkiraan nilai GDP ASEAN sebesar 1,5-2%.
“Additive manufacturing akan menjadi solusi inovatif untuk lebih mendorong pertumbuhan di ASEAN, sepanjang para pemangku kepentingan bekerja sama untuk terus membangun kesadaran serta ekosistem yang mendukung proses adopsi dan pengembangan additive manufacturing. Keberadaan Additive Manufacturing TechCenter Hub kami di Singapura mencerminkan komitmen kami menghadirkan inovasi transformatif yang lebih dekat ke kawasan Asia Pasifik untuk memenuhi kebutuhan pelanggan kami," paparnya.
(akr)