Jasamarga Bali Tol Jelaskan Skema Bisnis Jalan Tol ke Delegasi Lesotho
A
A
A
JAKARTA - PT Jasamarga Bali Tol (JBT), salah satu anak usaha PT Jasa Marga (Persero) Tbk, pengelola Jalan Tol Bali Mandara yang menghubungkan antara Benoa, Ngurah Rai Tuban dan Nusa Dua sepanjang 12,7 Km, turut mendukung pelaksanaan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID) 2019 yang berlangsung pada 20-21 Agustus 2019.
Salah satu delegasi Lesotho, Director General of the Roads Directorate Seboka Thamae tertarik dengan skema bisnis jalan tol di Indonesia yang bersandingan dengan jalan nasional yang dikelola oleh pemerintah.
Dalam pertemuannya dengan PT JBT, Thamae menjelaskan bahwa jalan nasional yang ada di Lesotho saat ini sudah tidak dapat menampung kendaraan yang terus tumbuh.
"Inilah penyebab utama kepadatan yang terjadi di jalan nasional Lesotho. Kepemilikan kendaraan di Lesotho terus tumbuh tetapi jumlah jalan nasional tidak bertambah signifikan. Salah satu faktornya adalah karena kami masih menggunakan anggaran negara untuk membuat jaringan jalan nasional sehingga pembangunan terbatas," jelas Thamae.
Direktur Utama PT JBT Enkky Sasono didampingi oleh Corporate Secretary PT JBT Drajad Hari Suseno serta jajaran General Manager PT JBT turut memberikan pemaparan bagaimana skema bisnis jalan tol di Indonesia, khususnya Jalan Tol Bali-Mandara, dapat diaplikasikan.
"Saat ini di Indonesia, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) berwenang untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan tol yang meliputi pengaturan, pengusahaan dan pengawasan terhadap Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). BPJT akan membuka lelang untuk jalan tol baru dan Jasa Marga sebagai holding perusahaan kami dapat ikut proses lelang tersebut," ujar Enkky, Kamis (22/8/2019).
Selain itu, Drajad menjelaskan dalam pembangunan jalan tol juga diperlukan pertimbangan ekonomi dan finansial sebagai acuan dalam investasi jalan tol.
"Terdapat beberapa skema bisnis pembangunan jalan di Indonesia. Untuk jalan nasional, jelas menggunakan anggaran negara. Untuk proyek jalan tol yang layak dari segi ekonomi maupun finansial, maka terbuka bagi para investor untuk menanamkan modal melalui BUJT. Nah, yang satu lagi adalah konsep hybrid untuk jalan tol yang layak dari segi ekonomi namun tidak layak secara finansial tetapi tetap harus dibangun karena akan meningkatkan konektivitas, dapat didanai oleh investor dan anggaran negara secara bersamaan," jelas Drajad.
Mendapatkan penjelasan komprehensif dari PT JBT, Thamae mengaku telah mendapatkan pencerahan mengenai konsep bisnis jalan tol di Indonesia yang kemungkinan besar dapat diterapkan di negaranya, seperti pembebasan lahan oleh Pemerintah, skema penetapan tarif awal, masa konsesi, serta penyesuaian tarif setiap dua tahun.
"Dalam konsep pengusahaan jalan tol di Indonesia, investor masih disupervisi oleh pemerintah bahkan turut terlibat dalam proses evaluasi business plan hingga menetapkan besaran tarif dan masa konsesi untuk investor tersebut. Ini sangat menarik, ini merupakan salah satu konsep yang akan kami ajukan ke parlemen Lesotho," jelas Thamae.
Di akhir pertemuan, Thamae berencana untuk mengundang Jasa Marga untuk dapat membantu membuat pra studi kelayakan dan studi kelayakan, termasuk jika Jasa Marga berminat untuk investasi di Lesotho, maupun di Afrika secara global.
Tidak hanya membahas skema bisnis jalan tol, Thamae juga mendapatkan kesempatan untuk melihat pengoperasian jalan tol secara langsung dengan mengunjungi pool ruas dan Gerbang Tol Benoa, serta melihat beberapa fasilitas penunjang jalan tol seperti wind speed/alat pengukur kecepatan angin dan Traffic Information Center PT JBT.
Diketahui, IAID 2019 merupakan tindak lanjut dan upaya memelihara momentum Indonesia-Africa Forum (IAF) pada 2018. IAID 2019 dihadiri sekitar 700 pemimpin bisnis, pembuat kebijakan, pejabat senior pemerintah bahkan sejumlah menteri, dan para pemangku kepentingan lainnya dari Indonesia dan Afrika.
Para peserta membahas upaya konkrit yang dapat dilakukan dalam bidang industri strategis dan diplomasi ekonomi, konektivitas, infrastruktur sosial dan pariwisata, energi dan pertambangan, skema pembiayaan, kerja sama perdagangan, dan kerja sama pembangunan.
Salah satu delegasi Lesotho, Director General of the Roads Directorate Seboka Thamae tertarik dengan skema bisnis jalan tol di Indonesia yang bersandingan dengan jalan nasional yang dikelola oleh pemerintah.
Dalam pertemuannya dengan PT JBT, Thamae menjelaskan bahwa jalan nasional yang ada di Lesotho saat ini sudah tidak dapat menampung kendaraan yang terus tumbuh.
"Inilah penyebab utama kepadatan yang terjadi di jalan nasional Lesotho. Kepemilikan kendaraan di Lesotho terus tumbuh tetapi jumlah jalan nasional tidak bertambah signifikan. Salah satu faktornya adalah karena kami masih menggunakan anggaran negara untuk membuat jaringan jalan nasional sehingga pembangunan terbatas," jelas Thamae.
Direktur Utama PT JBT Enkky Sasono didampingi oleh Corporate Secretary PT JBT Drajad Hari Suseno serta jajaran General Manager PT JBT turut memberikan pemaparan bagaimana skema bisnis jalan tol di Indonesia, khususnya Jalan Tol Bali-Mandara, dapat diaplikasikan.
"Saat ini di Indonesia, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) berwenang untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan tol yang meliputi pengaturan, pengusahaan dan pengawasan terhadap Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). BPJT akan membuka lelang untuk jalan tol baru dan Jasa Marga sebagai holding perusahaan kami dapat ikut proses lelang tersebut," ujar Enkky, Kamis (22/8/2019).
Selain itu, Drajad menjelaskan dalam pembangunan jalan tol juga diperlukan pertimbangan ekonomi dan finansial sebagai acuan dalam investasi jalan tol.
"Terdapat beberapa skema bisnis pembangunan jalan di Indonesia. Untuk jalan nasional, jelas menggunakan anggaran negara. Untuk proyek jalan tol yang layak dari segi ekonomi maupun finansial, maka terbuka bagi para investor untuk menanamkan modal melalui BUJT. Nah, yang satu lagi adalah konsep hybrid untuk jalan tol yang layak dari segi ekonomi namun tidak layak secara finansial tetapi tetap harus dibangun karena akan meningkatkan konektivitas, dapat didanai oleh investor dan anggaran negara secara bersamaan," jelas Drajad.
Mendapatkan penjelasan komprehensif dari PT JBT, Thamae mengaku telah mendapatkan pencerahan mengenai konsep bisnis jalan tol di Indonesia yang kemungkinan besar dapat diterapkan di negaranya, seperti pembebasan lahan oleh Pemerintah, skema penetapan tarif awal, masa konsesi, serta penyesuaian tarif setiap dua tahun.
"Dalam konsep pengusahaan jalan tol di Indonesia, investor masih disupervisi oleh pemerintah bahkan turut terlibat dalam proses evaluasi business plan hingga menetapkan besaran tarif dan masa konsesi untuk investor tersebut. Ini sangat menarik, ini merupakan salah satu konsep yang akan kami ajukan ke parlemen Lesotho," jelas Thamae.
Di akhir pertemuan, Thamae berencana untuk mengundang Jasa Marga untuk dapat membantu membuat pra studi kelayakan dan studi kelayakan, termasuk jika Jasa Marga berminat untuk investasi di Lesotho, maupun di Afrika secara global.
Tidak hanya membahas skema bisnis jalan tol, Thamae juga mendapatkan kesempatan untuk melihat pengoperasian jalan tol secara langsung dengan mengunjungi pool ruas dan Gerbang Tol Benoa, serta melihat beberapa fasilitas penunjang jalan tol seperti wind speed/alat pengukur kecepatan angin dan Traffic Information Center PT JBT.
Diketahui, IAID 2019 merupakan tindak lanjut dan upaya memelihara momentum Indonesia-Africa Forum (IAF) pada 2018. IAID 2019 dihadiri sekitar 700 pemimpin bisnis, pembuat kebijakan, pejabat senior pemerintah bahkan sejumlah menteri, dan para pemangku kepentingan lainnya dari Indonesia dan Afrika.
Para peserta membahas upaya konkrit yang dapat dilakukan dalam bidang industri strategis dan diplomasi ekonomi, konektivitas, infrastruktur sosial dan pariwisata, energi dan pertambangan, skema pembiayaan, kerja sama perdagangan, dan kerja sama pembangunan.
(ven)